- Sejak 2003, perusahaan sawit masuk Desa Rukam. Kini, Desa Rukam, tak seperti dulu lagi. Datuk Rafi’i, warga Desa Rukam, mengenang masa lalu. Dulu, bisa menangkap ikan di sepanjang anak-anak sungai dan danau sekitar tanggul. Kini, hanya purun yang hidup di sepanjang tanggul dan pemukiman desa. Anak sungai dan danau tak ada lagi.
- PT Erasakti Wira Forestama (EWF) membuat tanggul dengan mengeruk tanah dari sungai alami pada 2009. Sungai alami hilang. Perusahaan lalu bikin kanal. Kondisi ini menyebabkan, ancaman kekeringan dan banjir lebih sering. Tanah-tanah jadi lebih cepat retak dan mengeras.
- Dulu, sebagian besar warga Desa Rukam, nelayan. Kini, sungai dan danau menyusut, ikan tangkapan pun berkurang. Sebagian warga jadi buruh kebun sawit. Amran, warga Desa Rukam mengatakan, kalau dulu hasil tangkapan bisa disimpan sekarang habis makan sehari. Dulu, kalau musim kemarau bau ikan asin akan menguap di sepanjang Desa Rukam. Ikan melimpah, mereka olah menjadi ikan asin dan asap. Kini, hanya beberapa orang nelayan yang menjemur ikan sepat di depan rumah.
- Air bersih pun jadi masalah bagi warga. Dalam lima tahun terakhir, warga mulai membeli air kemasan galon minimal empat galon seminggu. Yani, warga Rukam, ngomel karena kemarau baru semingu air sumur sudah kering. Dia pun rutin beli ari galon untuk keperluan air bersih sehari-hari.
Tanggul setinggi delapan meter berdiri kokoh memisahkan Desa Rukam, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, dengan perkebunan sawit milik PT Erasakti Wira Forestama (EWF).
Dua orang berseragam berjaga-jaga di tanggul. “Benteng’ kebun sawit itu terbangun pada 2009.
Kini, Desa Rukam, tak seperti dulu. Datuk Rafi’i, warga Desa Rukam, mengenang masa lalu. Dulu, dia bisa menangkap ikan di sepanjang anak-anak sungai dan danau sekitar tanggul. Kini, hanya purun yang hidup di sepanjang tanggul dan pemukiman desa.
Baca juga: Nasib Warga Mrbau dan Rukam yang Hidup di Sekitar Kebun Sawit Perusahaan
Sebelum ada tanggul, lahan Rafi’i biasa tergenang karena berad di pinggir Sungai Batanghari. “Sejak ada tanggul ini, paling terasa kalau sedikit saja hujan cepat sekali banjir. Kalau kemarau sebentar saja, sumur-sumur langsung kering ” katanya.
Datang banjir tak menentu dan kekeringan kala kemarau menyebabkan warga Desa Rukam susah bertanam padi. Kalau dulu, mereka punya tradisi baselang (tanam padi serentak). Tradisi ini terhenti sejak kehadiran perusahaan sawit pada 2003.
“Kita ada sistem pelarian, gotong royong menanam padi saat baselang. Biasa Mei kita mulai tanam padi bersama, sekarang kering. Tanah pecah-pecah, mau nanam tak bisa lagi. Jangankan padi, jagung saja susah. Bentar kering, bentar banjir,” kata Rafi’i.
Desa Rukam berdiri pada 1832 dengan luas 12.900 hektar. Desa ini ada lahan gambut dengan kedalaman dua sampai lima meter, terutama di pinggiran Sungai Batanghari. Desa Rukam, berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Teluk Raya dan Ramin, Manis Mato dan Desa Sekumbug.
EWF membuat tanggul dengan mengeruk tanah dari sungai alami pada 2009. Sungai alami hilang. Perusahaan lalu bikin kanal. Kondisi ini menyebabkan, ancaman kekeringan dan banjir lebih sering. Tanah-tanah jadi lebih cepat retak dan mengeras.
Air bersih pun jadi masalah bagi warga. Dalam lima tahun terakhir, warga mulai membeli air kemasan galon minimal empat galon seminggu.
Yani, warga Rukam, ngomel karena kemarau baru semingu air sumur sudah kering. Dia pun rutin beli ari galon untuk keperluan air bersih sehari-hari.
Sejak menikah dan menetap di Desa Rukam pada 2001, sampai beberapa tahun lalu tak pernah sumur mengering dan tak pernah pula beli air galon.
“Panas saja sedikit, langsung kering tu lah sumur kami,” katanya.
Di ujung rumah Yani, berdiri tegak ‘benteng’ EWF. Ratusan meter di belakang rumahnya, Sungai Batanghari mengalir tenang.
Jejeren rumah warga membelakangi sungai. Air tampak kuning semacam bercampur lumpur. Kapal tongkang batu bara sesekali lewat menuju hilir.
Sungai Batanghari, bagian dari kehidupan Desa Rukam. Dulu, ia nadi warga Rukam, kala padi dan ikan melimpah. Hampir 90% warga Rukam sebagai nelayan dan bertani. Saat perusahaan hadir, kehidupan perlahan berubah. Sebagian besar warga jadi buruh di kebun sawit.
“Kami mau berkebun, tapi lahan sudah tidak ada lagi. Yang tersisapun sudah jadi bongkahan tanah kering. Tidak bisa ditanami.”
Buruh perusahaan dan kenangan masa lalu
Amran, warga Rukam, seorang nelayan. Dia keluarga nelayan, sudah turun menurun. Hari itu, Amran bawa ikan hasil tangkapan. Ada beberapa baung, dan lima betutu berukuran besar. Dini hari, Amran biasa sudah mendayung perahu kecil miliknya.
“Hasilnya makin hari makin sulit, tidak sama seperti dulu.”
Amran pun kini membuka warung kelontong dan tekwan di depan rumah untuk tambahan pendapatan.
Kalau mengandalkan hasil tangkapan, dia tak sanggup mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Sebelum ada tanggul, rata-rata tangkapan ikan hampir satu kwintal, setelah ada tanggul, dan pencemaran air, rata-rata cuma dapat 5-6 kg perhari,” katanya.
Kehadiran tanggul dengan menutup sungai pelimer dan danau, membuat tangkapan ikan perairan gambut berkurang. Bahkan ada ikan tak ada lagi. Nelayan pun merana.
Sebelum EWF datang, Amran bercerita ketika kecil mudah mencari uang. Dia cukup cari ikan botia di sekitar anak sungai dan danau di hutan gambut di belakang pemukiman.
Botia sangat sensitif kondisi lingkungan . Kalau tercemar dan kotor, botia mudah sakit dan mati.
“Ngumpulin duit ratusan ribu , gampang be dulu. Jual ikan hias botia ni. Nyarinya di danau gambut. Biasa botia akan makan ulat-ulat di sekitar gambut,” katanya.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengajak Universitas Jambi membuat studi di Rukam. Mereka menemukan nilai perekonomian penduduk menghilang 90% pasca kemunculan kebun EWF. Nilai keuntungan dicetak dari sektor perikanan saja mencapai Rp26 miliar per tahun.
Gambut kering ketika membuka sawit. Siklus air alami dikendalikan lewat kanal dan pompa air raksasa. Ketakutan Amran kalau Rukam tak adalagi nelayan berubah jadi buruh perusahaan.
“Kalau dulu hasil tangkapan bisa disimpan sekarang habis makan sehari lah. Sekolah anak dari warung ini.”
Amran bilang, kalau musim kemarau bau ikan asin akan menguap di sepanjang Desa Rukam. Ikan melimpah, mereka olah menjadi ikan asin dan asap. Kini, hanya beberapa orang nelayan yang menjemur ikan sepat di depan rumah. Kini, kemarau dan hujan tak lagi menjadi berkah di Rukam.
Murlia baru selesai turun ke Sungai Batanghari. Dia membawa ember berisi pakaian baru selesai icuci. Sudah dua tahun ini Murlia jadi buruh di EWF. Hari ini dia libur. Murlia punya dua anak. Anak pertama sudah menikah. Kini, si bungsu melanjutkan sekolah menengah atas di Jambi.
Suaminya jadi nelayan. Dia memutuskan bekerja di perusahaan karena rata-rata tetangga juga buruh. Murlia baru delapan bulan pindah pada buruh pupuk. Sebelumnya, dia merawat dan membersihkan kebun dan penanaman.
Murlia rata-rata dibayar per minggu Rp300.000-Rp400.000. Dia biasa memupuk 14 baris setiap hari, dibayar Rp4.400 setiap baris tanaman sawit. Satu baris berisi 32 tanaman. Dia tidak sendiri, pemupukan dengan tim berkisar 12-14 orang.
Buruh pupuk dan semprot mendapatkan perlakuan istimewa dari perusahaan. Mereka mendapatkan layanan jasa kapal dan mobil gratis untuk ke lokasi. Bayaran juga jauh lebih mahal. Kalau tenaga buruh lain seperti tanam dan pemeliharaan hanya Rp4.000 per baris.
Mereka harus keluarkan biaya Rp10.000 untuk sewa kapal pulang-pergi. “Kalau yang lain sewa ketek (perahu kecil) dewekanlah. Ke lokasi berjalan dewekan. Bayaran paling mahal untuk nyemprot, Rp72.000 per hari. Mereka begawe cuma delapan baris,” katanya.
Murlia dan teman-teman lain sesama buruh, berangkat dari Desa Rukam sekitar pukul 8.00 pagi, dan menunggu di camp hingga peralatan mereka datang, seperti, pupuk , herbisida, dan tanaman.
Mulai memupuk, biasa di tengah hari, berkisar pukul 12:00 WIB. Mereka akan kembali ke desa sore hari.
Murlia bercerita, biasa memikul karung 50kg bersama empat teman lain. Dia belum mendapatkan kartu BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Kalau sakit, perusahaan ganti berobat Rp40.000-Rp50.000.
Ada 200 warga Desa Rukam menjadi buruh di EWF.
Rafi’i, warga Desa Rukam, masih ingat bagaimana warga dihasut demo malam-malam ke rumahnya. Mereka meminta Rafi’i yang saat itu sebagai kepala desa menyetujui tawaran ganti rugi lahan oleh perusahaan.
“Pada 2006, saya ingat demo itu. Warga terprovokasi meminta ganti rugi. Saya berjuang untuk sistem plasma. Hingga kapanpun perusahaan masih di Rukam, kita masih bisa merasakan hasilnya. Warga tidak mau, mau ganti rugi. Perusahaan pun pintar menggelontorkan saat mau Lebaran,” katanya.
Rafi’i pernah mengucap kalau mereka bakal menyesal menjual lahan ke perusahaan.
“Kalau kamu dak percayo, kamu jadi kuli semua pada 2010. Kalian bisa kencingi kebun sayo, kalau saya mati. Kalau sistem PIR menguntungkan kita.” Begitu katanya kala itu.
Dia pun dianggap musuh perusahaan. “Saya tidak masalah. Dicaci asal tetap menegakkan kebenaran. Tanggung jawabnya dunia akhirat.”
Kini ucapannya terbukti. Sebagian warga jadi buruh perusahaan.
Bahan berbahaya?
Untuk kebun sawit, pakai herbisida seperti Penta Up 2, prima kuat, dan Kenlon. Buruh ada yang mengaku sempat dilarikan ke puskesmas terdekat karena gangguan pernapasan, mata dan kulit.
Najib, Humas PT EWF bilang, perusahaan sudah pakai peptisida sesuai standar berlaku.
Gindo Tampubolon, dosen Fakultas Pertanian Universitas Jambi, mengatakan, penggunaan herbisida, bahan kima untuk memberantas gulma tak disarankan dalam standar ISPO dan RSPO.
“Merek-merek yang disebutkan tadi berbahaya, menimbulkan kerusakan tanah, efek residu dan membunuh mikro organisme dalam tanah,” katanya.
Dia sarankan, sebaiknya dilakukan beringan, dengan menebas tumbuhan penggangu secara manual, tebas selayang sistem basmi gulma. “Hanya 15 cm dari tanah yang diterbas.”
Selain kerusakan pada tanah dan lingkungan, herbisida juga berbahaya pada pekerja.
“Jika pun harus digunakan, harus diperhatikan APD lengkap. Jangan melawan arah angin, dan tidak diperbolehkan jika ada angin kencang masih menyemprot. Ulat aja mati kok, pasti berbahayalah,” katanya.
Warga Rukam juga mengeluh saat hujan, EWF mengeluarkan air dari kanal mereka dengan pompa menuju sungai. Air berbau dan berbusa. Kemungkinan pupuk ikut terlarut di sekat kanal hingga membuat air terkontaminasi.
Gindo bilang, seharusnya air ini tidak boleh masuk ke badan sungai.
Masih bisa masuk sungai, katanya, kalau Biochemical Oksigen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) di bawah 100 mg per liter. Kalau di atas itu, katanya, biota sungai bisa mati. “Pada kesehatan masyarakat juga seperti penyakit kulit dan lain-lain.” Dia bilang, mengukur keutuhan oksigen biologis harus ke laboratorium yang dirujuk.
Najib, Humas EWF merespon berbagai persoalan itu. Dia bilang, soal kerugian dampak lingkungan seperti pembuatan tanggul, perusahaan sudah memberikan ganti rugi pada masyarakat Desa Rukam berbentuk sumur bor untuk sumber air bersih, tambak ikan, dan lahan persawahan.
“Tiga poin ini sudah disepakati, namun masih belum bisa diaplikasikan karena terhalang hibah lokasi,” katanya.