Mongabay.co.id

Kala Dedaunan jadi Motif dan Pewarna Alami Kain

Dedaunan menjadi motif dan pewarna utama kain ecoprint Syamila. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Matahari bersinar cerah siang itu, akhir September lalu. Jalanan berpaving terapit hutan bambu ini menuju rumah Siti Jamilatul Khoiriyah. Guru yang tinggal di Dusun Tengger, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Pamekasan, Madura ini membuat motif dan warna di kain dari dedaunan, atau kain ecoprint.

Ceritanya, dia dapat undangan dari Dinas Koperasi Pamekasan pada 2019.   Di sana, ada pelatihan buat karya berbahan alami. “Tapi saya tidak hadir karena waktu itu bersamaan acara pawai anak. Saya pantau dari postingan teman, kok kayaknya unik. Hanya transfer atau tempel daun pada kain. Saya lihat kok bagus. Caranya kayak mudah. Lalu tanya lewat telepon. Tenyata itu buat ecoprint,” katanya.

Dalam sharlenebohr.com dijelaskan, ecoprint ini teknik tanaman, daun dan bunga meninggalkan bentuk, warna, dan bekas pada kain. Bahan tanaman dibundel di kain, lalu dikukus atau direbus untuk melepaskan pewarna secara alami di dalam tanaman. Ini membuat cetakan kontak berbentuk daun atau bunga. Cetakan kontak ini disebut “cetakan ramah lingkungan.”

Dia mencoba mencari di internet soal ecoprint. Syamila pun mempelajari metode pembuatan kain ecoprint secara otodidak.

Seperti batik tulis, pewarnaan kain ecoprint pakai bahan-bahan alami seperti kayu-kayuan, dedaunan atau biji-bijian. Satu hal yang mempengaruhi perbedaan warna yakni tanin atau senyawa yang keluar dari daun. Setiap daun itu mengeluarkan warna berbeda-beda dan tidak bisa sama antara satu daun dengan yang lain.

 

Syamila dengan salah satu kain ecoprint karyanya. FotoL Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana bikin kain ecoprint?

Kain untuk ecoprint yakni katun dan sutera dari serat alam. Proses pembuatan mulai dengan perendaman kain selama sekitar satu jam dengan larutan tertentu untuk menghilangkan efek kimia.

“Kemudian kita rebus kain, didiamkan semalam. Dikeringkan. Setelah kering siap untuk menggunakan (teknik) ecoprint,” kata Syamila.

Setelah kain diproses, perlu plastik untuk alas kain. Daun ditata sesuai kebutuhan, misal, pakai daun kecil, besar, dan ditempel pada lembar kain dengan jumlah menyesuaikan kebutuhan atau selera. Setelah tertata, alasi daun lagi dengan plastik. Atas-bawah, jadi kain ada alas plastik.

Kain digulung, diikat, lalu dikukus selama dua jam. Lalu, gulungan kain dibuka dan diangin-anginkan serta tidak boleh terkena sinar matahari langsung supaya warna lebih kuat. Kain lalu didiamkan beberapa hari bahkan seminggu agar daun lebih kuat menempel di kain.

Setelah itu, baru proses akhir fiksasi untuk mengunci pewarna alam tadi. Untuk fiksasi, katanya, perlu larutan tertentu. Bisa cuka, tawas, tunjung, sesuai kebutuhan. Masing-masing larutan itu, katanya, akan menghasilkan warna sendiri.

“Setelah proses fiksasi, kita bilas kain jemur lagi, diangin-anginkan lagi. Setelah kering, baru siap digunakan. Proses pembuatan ecoprint mulai dari awal hingga akhir memakan waktu sekira tujuh hari.”

Dia biasa pakai kain lebar 1,5 meter dan panjang dua meter lebih beberapa sentimeter. Namun, katanya, lebar kain itu tidak memiliki batasan. Makin panjang kain, katanya, makin besar alat pengukusan.

Syamila kukus dengan kompor gas agar api stabil. Untuk membuka serat kain, katanya, karena belum punya bahan yang sesuai, dia masih pakai detergen.

Saat ini, dia sudah menjual karya dalam bentuk kain dan kerudung. Dia jual kain langsung ke pembeli juga lewat online. “Kain ecoprint sudah sampai ke Kalimantan dan Jakarta maupun Sumatera.” Mereka memesan melalui kontak di internet.

“Pemesan dari lokal ada, tapi gak banyak. Mungkin karena gak tahu juga.”

Untuk harga, katanya, bervariasi dari Rp150.000 sampai Rp800.000 per lembar. Dia bilang, harga tergantung kain dan motif.   “Omset, ya alhamdulillah lumayan. Setidaknya bisa membantu perekonomian keluarga. Menjual barang hasil kulakan dan karya sendiri itu membuat kesan berbeda. Lebih terkesan jual hasil karya sendiri.”

Dia lupa sudah menjual berapa banyak kain ecoprint, “Saya sampai lupa jumlahnya yang terjual. Mereka pesan lewat internet. Yang dari Jakarta dan Kalimantan itu bahkan langganan.”

 

Dedaunan di pekarangan rumah dan sekitar untuk motif dan warna alami kain ecoprint. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Awalnya, Syamila hanya pakai daun jati dan daun lanang. Kini, berkat sering ikut pelatihan dan mencari di internet, dia tahu kalau hampir semua daun bisa jadi bahan pembuatan ecoprint.

Baginya, daun jati tidak ingkar janji.Tanpa kukus saja, daun jati sudah mengeluarkan warna. Kalau dikukus, daun jati akan hasilkan warna lebih cerah. Dia juga pakai kayu secang untuk pewarna selain daun. Kayu ini biasa untuk bahan pewarna alami dalam pembuatan kain batik.

Dalam sekali bikin, dia menghasilkan 10-20 lembar kain. Proses dari awal sampai siap jual memakan waktu sekitar satu minggu.

Syamila juga bergabung bersama Komunitas Muslim Craft Center (MCC) di Pamekasan. Dia bercerita, komunitas itu pernah sampai mengundang pemateri dari Surabaya dan menggelar pelatihan di Pendopo Budaya di Kantor Wakil Bupati Pamekasan pada 2019 selama dua hari. Dia bersyukur bisa tinggal di desa dengan sumber dedaunan begitu banyak.

Dia terbuka bagi siapapun yang mau belajar pembuatan kain ecoprint selama ada kesempatan. Dia juga sering diundang mengisi pelatihan melalui MCC oleh Dinas Koperasi dan pemerintah desa dalam beberapa kesempatan.

 

 

Syamila juga mengajarkan pembuatan kain ecoprint ini kepada siswanya. Dia mengalokasikan waktu di luar jam sekolah agar tak mengganggu jam pelajaran.

“Ya, siswa hanya belajar saat itu saja. Saya lihat tidak ada yang praktik di rumahnya. Padahal, ini bisa dimanfaatkan. Syukur misal ada yang sampai menerima orderan,” katanya.

Dai bilang, ecoprint bukan batik. Dua karya itu, katanya, punya nama dan ciri tersendiri. Beberapa ciri yang membedakan ecoprint dari batik adalah proses daun ditempel untuk menghasilkan motif. Pewarnaan batik, katanya, biasa dengan memakai canting. “Itu untuk batik tulis. Batik ada juga yang menggunakan metode cetakan.”

Nurul Farid, pemuda Dusun Tengger, Desa Polagan, Galis, Pamekasan mengatakan, kain ecoprint karya Syamila bagus dan indah.

“Kelihatan sejuk, bagus. Warna alami. Ya, mungkin karena model daun macam-macam,” katanya. Dia pernah belajar ecoprint dari Syamila juga.

Dia pun jadi sadar kalau daun-daun yang biasa jadi makanan kambing dan ternak lain di kampung, bisa jadi karya luar biasa. “Masyarakat tidak tergantung atau pakai produk-produk dari luar daerah saja atau buatan luar negeri. Karya ecoprint Syamila ini unik dan alami. Insyallah gak kalah saing.”

 

Keterangan foto utama:  Dedaunan menjadi motif dan pewarna utama kain ecoprint Syamila. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Syamila dengan beragam karya ecopirnt-nya. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version