Mongabay.co.id

Kiara : UU Cipta Karya, Perampok Kedaulatan Masyarakat Pesisir

 

Penolakan atas pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU yang dilakukan DPR RI pada Senin (5/10/2020) terus terjadi. Khusus untuk sektor kelautan dan perikanan, UU tersebut dinilai hanya akan menjadi bencana besar di kemudian hari.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, UU yang baru disahkan tersebut menjadi penanda bahwa investasi akan muncul di di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

“Itu akan semakin masif ditemui di lapangan. Itu ditandai dengan eksploitasi sumber daya alam,” jelas dia, Selasa (6/10/2020).

Saat investasi berlangsung di mana-mana, di saat yang sama masyarakat pesisir akan semakin terancam ruang hidupnya. Mereka yang terancam itu terdiri dari nelayan tradisional/skala kecil, perempuan nelayan, pembudi daya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat.

Menurut Susan, pembahasan UU tidak berjalan transparan karena tidak melibatkan masyarakat yang akan terkena dampaknya, terutama mereka yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Bahkan, tidak jarang UU tersebut dalam pembahasannya dilakukan tanpa diketahui publik.

Di mata Susan, pengesahan UU Cipta Kerja menjadi penanda bahwa Pemerintah Indonesia dan DPR RI telah mengkhianati amanat UU Dasar 1945 karena tidak mengikuti mandat untuk menciptakan kesejahteraan bersama, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Sebaliknya, melalui UU ini Pemerintah dan DPR RI akan menciptakan ketidakadilan, krisis sosial, dan krisis lingkungan hidup semakin parah,” papar dia.

baca : Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan

 

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas menyampaikan laporan Baleg tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada Ketua DPR RI Puan Maharani di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Foto : dpr.go.id

 

Bagi kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, UU ini adalah ancaman besar karena investor mendapatkan kemudahan investasi tanpa adanya persyaratan sosial, ekologis, dan budaya. Dengan kata lain, UU tersebut akan menghancurkan keberlanjutan ekosistem di sana.

“Itu berarti, ruang hidup masyarakat pesisir terancam akan hilang. Ini adalah perampokan terhadap kedaulatan masyarakat bahari,” tegas dia.

Selain KIARA, kecaman atas pengesahan UU Cipta Kerja juga disuarakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL). Menurut mereka pada Rabu (7/10/2020), UU tersebut hanya akan mengesahkan upaya penenggelaman nelayan kecil dan tradisional di Indonesia.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengungkapkan, penolakan UU baru tersebut harus dilakukan, karena tidak sesuai dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Juga, karena substansi dari UU tersebut yang dinilai bisa mengancam keberlanjutan sumber daya kelautan.

Alasan lain kenapa UU tersebut harus ditolak, karena tidak ada partisipasi publik dalam proses penyusunannya. Padahal, partisipasi publik bisa menjamin UU disusun demi kepentingan rakyat, dan bukan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Hak masyarakat untuk dilibatkan dan mendapatkan informasi mengenai kebijakan publik dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945 dan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jo. UU Nomor 15/2019.

“Akan tetapi, pembentukan UU ini dilakukan secara tergesa-gesa dengan partisipasi publik yang minimal, baik di tahap penyusunan maupun pembahasan. Padahal, UU ini mengatur banyak sekali aspek yang akan mempengaruhi kehidupan banyak orang,” jelas dia.

baca juga : LBH: Omnibus Law Perparah Kerusakan di Laut dan Pesisir

 

Suasana foto bersama Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI M. Azis Syamsuddin, yang menyepakati pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Foto : dpr.go.id

 

Dampak Negatif

Lebih rinci Afdillah menyebutkan tujuh poin yang bisa memicu dampak negatif untuk sektor kelautan dan perikanan setelah pengesahan UU Cipta Kerja. Pertama, sentralisasi kewenangan ke Pemerintah Pusat dapat mengurangi fungsi kontrol terhadap tingkat eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan serta melemahkan esensi otonomi daerah.

Contoh dari sentralisasi, adalah kewenangan untuk menetapkan potensi perikanan yang sebelumnya berada pada Menteri Kelautan dan Perikanan berpindah ke Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden.

Padahal, Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga teknis yang mumpuni dan berwenang dalam hal pengelolaan perikanan. RUU Cipta Kerja tidak memberikan kepastian siapa atau lembaga apa (dalam ranah Pemerintah Pusat) yang akan memegang kewenangan ini.

Kedua, perizinan disederhanakan untuk kepentingan investor dan pelaku usaha besar. Simplifikasi perizinan yang diatur oleh RUU Cipta Kerja dapat mendorong ekspansi usaha besar-besaran di daerah pesisir dan ruang laut tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem.

Ketiga, terdapat indikasi bahwa operasi kapal asing untuk menangkap ikan di ZEE Indonesia akan dibuka pasca- RUU Cipta Kerja. RUU Cipta Kerja mempertahankan ketentuan mengenai kapal asing yang ada pada UU Perikanan, tetapi.

Selain itu, RUU Cipta Kerja menghapuskan kewajiban penggunaan anak buah kapal (ABK) Indonesia sebanyak 70 persen per kapal dalam satu kapal ikan asing yang menangkap di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

“Padahal, sumber daya perikanan di Indonesia seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagai amanat dari Pasal 33 (3) UUD 1945,” jelas dia.

perlu dibaca : Penyederhanaan Peraturan Pengelolaan Laut dalam Omnibus Law, Salah Kaprah?

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok,Maumere,kabupaten Sikka,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Kemudian, Koordinator Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional Edo Rakhman menambahkan, poin keempat yang menjadi sorotan KORAL adalah perubahan sistem perizinan menjadi pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) yang tidak didukung dengan penentuan kelembagaan dan metodologi yang jelas dan kredibel.

“Saat ini, di Indonesia belum ada lembaga yang dapat dianggap siap dan berpengalaman untuk melakukan penentuan risiko secara holistik,” tutur dia.

Terlebih lagi, database di Indonesia belum dapat mendukung efektivitas risk-based approach. Sehingga, penentuan risiko dikhawatirkan dapat bersifat subjektif. Dampaknya, kegiatan usaha yang tidak dianggap berisiko tinggi tidak diwajibkan untuk memiliki izin.

“Jika penentuan risiko tidak akurat, tentunya dapat berbahaya bagi keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia,” ucap Edo.

Kelima, penghapusan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN) yang mereduksi peran sains dalam pertimbangan perumusan kebijakan. Komnas KAJISKAN merupakan lembaga independen yang berwenang mengkaji potensi perikanan di Indonesia secara ilmiah.

KORAL melihat, tanpa lembaga tersebut penentuan potensi dapat diintervensi oleh kepentingan politik dan hasil kajian tidak kredibel. Akibatnya, pengelolaan dan eksploitasi perikanan berlebih akan semakin tidak terkendali.

“Padahal saat ini pemerintah melalui Kepmen-KP 50/2017 menyatakan bahwa sebagian perikanan utama Indonesia telah mengalami overfishing,” tambah Edo.

baca juga : Nasib Nelayan Kecil dalam Ancaman RUU Omnibus Law

 

Nelayan di Lamongan sedang menangkap ikan. Selain ikan tongkol, jaring ini juga digunakan untuk menangkap ikan kembung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Nelayan Kecil

Ocean Progam Manager EcoNusa Wiro Wirani mengungkapkan, poin keenam yang menjadi sorotan KORAL adalah perubahan definisi nelayan kecil yang tidak lagi membatasi ukuran kapal dapat mengurangi esensi affirmative action terhadap nelayan kecil.

“Dengan definisi yang tidak jelas, nelayan-nelayan yang sekarang tidak tergolong sebagai nelayan kecil nantinya bisa mencuri keuntungan yang awalnya menjadi hak nelayan kecil,” ungkap dia.

Contohnya adalah subsidi nelayan kecil, dan area tangkap dekat pantai yang bisa dicuri oleh nelayan yang sekarang tidak tergolong nelayan kecil. Kemudian, kebijakan penghapusan ukuran kapal juga bisa menjadi indikator definisi nelayan kecil menciptakan persaingan yang tidak adil.

Poin ketujuh, RUU Cipta Kerja meminimalisir partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan pemanfaatan pesisir. Pelibatan masyarakat dibatasi pada tahap penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dibatasi, dan Komisi Penilai AMDAL yang bersifat multi-stakeholder dihapuskan.

“Implikasinya, pemanfaatan wilayah pesisir dapat mengesampingkan pertimbangan nasib masyarakat yang bergantung pada kelestarian ekosistem pesisir,” tegas Wiro.

 

Buruh usai melakukan sortir ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan berpendapat, Pemerintah belum pernah secara terbuka mendisuskikan substansi RUU dengan pemangku kepentingan kelautan dan perikanan.

“Hanya inisiatif civil society yang secara aktif membahas di luar parlemen. Jadi, RUU ini minim partisipasi publik,” ungkap dia.

Kemudian terkait perizinan perikanan yang disederhanakan dan meniadakan peran Pemerintah Daerah dengan alasan kemudahan, itu mempertegas bahwa UU tersebut sangat pro kepada investor. Padahal, pengelolaan pesisir dan perikanan selama ini mengusung prinsip desentralisasi, dengan mendekatkan pengelolaan kepada rakyat.

Sementara, Abdi Suhufan menilai bahwa untuk melaksanakan pengelolaan pesisir dan perikanan itu diperlukan alat manajemen dengan kontrol yang ketat. Akan tetapi, perangkat tersebut sudah tidak dipertimbangkan lagi dengan adanya UU Cipta Kerja.

“Sehingga dikhawatirkan akan terjadi ekslpoitasi SDI (sumber daya ikan) secara bablas dan tanpa kontrol,” tegas dia, Rabu kepada Mongabay.

Agar tidak terjadi hal seperti disebutkan di atas, Abdi Suhufan meminta Pemerintah untuk membuat rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang menjadi mandat dari UU Cipta Kerja. Langkah tersebut harus dikawal, agar prinsip keberlanjutan, kedaulatan rakyat dan desentralisasi pengelolaan tetap menjadi pijakan.

Terakhir, kelemahan dari UU Cipta Kerja yang baru disahkan, adalah berkaitan dengan pidana perikanan bagi korporasi. Padahal, substansi tersebut menjadi bentuk tanggung jawab Negara dalam penanggulangan penangkapan ikan secara ilegal, tidak terlaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF).

“Selama ini justru belum terakomodir dalam RUU. RUU ini kurang mendukung penegakan hukum bagi pelaku IUUF sebagai kejahatan transnasional,” pungkas dia.

 

Exit mobile version