Mongabay.co.id

UU Cipta Kerja Melegalkan Deforestasi dan Degradasi Hutan

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRRI, Supratman Andi Agtas  dalam laporannya pada Rapat Paripurna (5 Oktober 2020) menyetujui RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Salah satunya dia menyampaikan materi pengaturan baru terkait perkebunan masyarakat di kawasan hutan.

Supratman menyampaikan bahwa perihal  keterlanjuran perkebunan masyarakat di kawasan hutan masyarakat akan dapat memiliki kepastian pemanfaatan atas lahan dalam kawasan hutan. Menurutnya lagi lahan masyarakat yang berada di kawasan konservasi, masyarakat  tetap dapat memanfaatkan hasil perkebunan dengan pengawasan dari pemerintah.

Penjelasan ini agak membingungkan.  Pertama kali disebut kawasan hutan, namun selanjutnya disebut kawasan konservasi. Kawasan hutan atau kawasan konservasi?

Namun setidaknya dari penjelasan itu dapat disimpulkan: Pertama, UU Cipta Kerja mengatur  dan mengakui keberadaan  perkebunan masyarakat yang terlanjur berada dalam kawasan hutan (atau konservasi?). Kedua, masyakat  tetap dapat memanfaatkan hasil perkebunan tersebut dengan pengawasan dari Pemerintah.  Namun benarkah demikian pengaturannya?

Baca juga: RUU Cipta Kerja Ketok Palu, Lonceng Bahaya bagi Lingkungan Hidup?

 

Lahan dan sumberdaya hutan akan semakin gencar menjadi obyek investasi di era UU Cipta Kerja. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Konsepsi Kawasan Hutan

Menurut UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Berdasarkan statusnya hutan terdiri dari  hutan negara  dan hutan hak. Hutan negara dapat berupa hutan adat. Pemerintah menetapkan status hutan adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah (Pasal 5).

Berdasarkan fungsinya hutan terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Pasal 6). Ketika jenis hutan tersebut  termasuk dalam arti kawasan hutan. Pertanyaannya kemudian kebun masyarakat di kawasan mana yang dimaksud diberikan kepastian pengaturannya untuk tetap bisa dimanfaatkan apakah di semua kawasan hutan atau hanya di hutan konservasi saja?

Persoalannya kemudian,  saya mencoba menyisir seluruh pasal dalam RUU Cipta Kerja yang telah disetujui DPR menjadi UU tersebut yang terdiri dari 15 bab dan 186 pasal, namun sama sekali tak menemukan pasal atau ayat yang mengatur secara eksplisit tentang kebun masyarakat di kawasan hutan atau hutan konservasi dimaksud.

Memang dalam RUU Cipta Kerja di antara Pasal 29 dan Pasal 30 UU Kehutanan disisipkan 2 (dua) pasal baru yakni Pasal 29A dan Pasal 29B. Pasal 29A mengatur pemanfaatan Hutan Lindung dan Hutan Produksi dapat dilakukan kegiatan Perhutanan sosial yang dapat diberikan kepada perseorangan,  kelompok tani hutan dan koperasi.

Selanjutnya Pasal 29B mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal ini secara tegas menyebut hutan lindung dan hutan produksi, tidak semua kawasan hutan namun tidak juga dimaksud dengan hutan konservasi.

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan dan Kehutanan No. P.83 tahun 2016, Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahterahannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan.

Dengan demikian memang pengaturan tentang Perhutanan Sosial sebenarnya sudah ada sebelumnya. Namun secara tegas belum mengatur tentang keberadaan kebun masyarakat dalam kawasan hutan atau hutan konservasi. Pasal 28A dan pasal 28B di atas tidak juga secara eksplisit pula mengatur tentang masalah tersebut justru sekedar menguatkan tentang konsep Perhutanan Sosial.

Sementara salah satu permasalahan krusial saat ini adalah keberadaan lahan perkebunan ilegal yang berada dalam kawasan hutan, terutama hutan konservasi. Sebagai contoh adalah perkebunan tidak berizin di kawasan Taman Nasional (TN) Tesso Nilo di provinsi Riau dan banyak kawasan konservasi lainnya.

Menurut Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), perkebunan tidak berizin tersebut masuk ke dalam hutan ekosistem Taman Nasonal Tesso Nilo. Ada 474 perusahaan kebun di Riau, 127 tidak berizin. Perambahan lahan tersebut digunakan sebagai lahan kelapa sawit. Hal itu melihat tingginya kebutuhan pabrik pengolahan kelapa sawit. (Kontan.co.id, 05 Maret 2018).

Menurut Hariadi juga pada kawasan ekosistem TN Tesso Nilo terdapat 58 pabrik pengolahan kelapa sawit. Pabrik tersebut mendapatkan pasokan bahan baku dari perkebunan sekitarnya termasuk yang terdapat pada areal ekosistem TN Tesso Nilo.

Sementara itu berdasarkan penelitian Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, menyebutkan seluas 2,8 juta hektar kebun sawit berada di kawasan hutan, 35 persen dikuasai masyarakat, 65 persen pengusaha.  Selain itu temuan juga menyebutkan Izin pelepasan dan izin pinjam pakai kawasan hutan pun pada beberapa kasus tak melalui skema perizinan reguler atau ilegal.

Budiadi, Dekan Fakultas Kehutanan UGM mengatakan, kebun di kawasan hutan jadi status ilegal. Hasil olahan data mereka mencatat dari jumlah itu, sekitar 35 persen merupakan kebun masyarakat, sisanya, dikelola perusahaan (Mongabay, 4/11/2018).

Baca juga: RUU Cipta Kerja Bahas Lingkungan dan Kehutanan, Berikut Masukan Para Pakar

 

Illegal logging dan perambahan di TN Leuser di Aceh. UU Cipta Kerja akan semakin melegalkan aktivitas keterlanjuran yang terjadi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Melegalkan Deforestasi dan Degradasi Hutan

Bila dicermati lebih jauh ternyata UU Cipta Kerja juga memuat aturan baru maupun perubahan pasal yang memperlonggar bahkan cenderung memberikan ruang bagi bagi pengurangan (deforestasi) dan penghancuran  kawasan hutan  (degradasi).

Pertama, dihilangkannya kewajiban mempertahankan kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai.

Sebelumnya kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur bahwa Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.

Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Namun kemudian dalam RUU Cipta Kerja angka minimal 30 persen tersebut tidak lagi disebut dalam pasal perubahannya. Sehingga Pasal 18 Ayat (2) hanya berbunyi Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan/atau pulau.

Kemudian menambahkan Ayat (3) yang menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Kedua,  dihapusnya kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan alih fungsi/perubahan kawasan hutan. Sebelumnya melalui Pasal 19  UU Kehutanan diatur bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.

Perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Namun dalam RUU Cipta Kerja  persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis tidak lagi disebutkan, semuanya cukup dengan penelitian terpadu yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Ketiga, potensi eksploitasi kawasan lindung dan peminggiran akses masyarakat setempat atas hutan lindung. RUU Cipta Kerja membuka ruang bagi badan usaha untuk mendapatkan izin berusaha pada kawasan hutan lindung.

Sebelumnya dalam kawasan hutan lindung untuk pemanfaatan kawasan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu hanya diperbolehkan untuk perseorangan dan koperasi  sebagaimana diatur dalam pasal 26 – 27 UU Kehutanan.

Namun perubahan pasal tersebut kemudian juga memberikan ruang bagi badan usaha baik badan usaha milik negara/daerah maupun badan usaha swasta untuk mendapatkan izin pemanfaatan kawasan lindung maupun untuk memungut hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung.

Artinya masyarakat setempat harus pula berkompetisi atau bersaing dengan badan usaha yang sudah pasti padat modal dibanding perseorangan anggota masyarakat atau koperasi yang minim permodalan.

Lagipula dengan izin usaha yang diberikan kepada pemilik modal sudahlah pasti potensi kerusakan dan degradasi hutan lindung akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan apabila izin hanya diberikan kepada perseorangan atau koperasi.

Baca juga:  Menyoal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Perlindungan Masyarakat Marjinal dalam RUU Cipta Kerja

 

Salah satu dampak dari degradasi dan deforestasi hutan adalah kebakaran hutan dan lahan. Tampak pada foto salah satu bentuk karhutla yang terjadi di Bontang, Kalimantan Timur. Foto: Ahmad Yani/Wapena

 

Uji Materil

Dengan perubahan UU Kehutanan dalam UU Cipta Kerja ini akan sangat berpotensi memberikan peluang yang lebih besar terjadinya deforestasi.

Kita tidak tahu pasti apakah maksud pasti Pemerintah dengan UU Cipta Kerja ini, dengan mempermudah perizinan sekaligus juga mempercepat konversi kawasan hutan menjadi perkebunan [sawit] karena faktanya dari data perkebunan di kawasan TN Tesso Nilo  di atas dan temuan Fakultas Kehutanan UGM, ia menunjukkan bahwa sebagian besar perkebunan di kawasan hutan dikuasai kalangan pengusaha dan  sebagian kecil saja milik masyarakat.

Apalagi untuk perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan tak lagi perlu meminta persetujuan DPR dan hilangnya kewajiban Pemerintah untuk mempertahankan kawasan hutan minimal 30 persen dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS).

Maka tidak ada jalan lain bagi kita yang masih berkomitmen untuk menahan laju deforestasi dan degradasi hutan selain melakukan uji materi UU Cipta Kerja ini ke Mahkamah Konstitusi, khususnya menyangkut pengaturan bidang  kehutanan.

Berharap pada Pemerintah tak mungkin lagi. Pemerintah selama ini sudah gagal menahan laju deforestasi dan degradasi hutan. Dengan adanya UU Cipta Kerja sepertinya Pemerintah justru ingin melegalkan kegagalannya tersebut, agar tak terus-terusan disebut melanggar hukum.

 

Referensi:

Kajian UGM: 2,8 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan, 65% Milik Pengusaha, Solusinya?  Mongabay.co.id, 4 November 2018.

Laporan Badan Legislasi DPRRI Dalam rangka pembicaraan tingkat II/Pengambilan keputusan Hasil Pembahasan RUU tentang cipta kerja yang telah diselesaikan oleh Badan Legislasi Dalam Rapat Paripurna DPR RI, 5  Oktober 2020.

Masih banyak perkebunan tak berizin di kawasan hutan, Kontan.co.id,5 Maret 2018.

RUU Cipta Kerja diklaim akan melindungi usaha masyarakat di sekitar hutan, Kontan.co.id, 3 Oktober 2020.

RUU Cipta Kerja Hasil Rapat Paripurna DPR RI, 5 Oktober 2020.

 

* Zenwen Pador, penulis adalah Advokat, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI). Artikel ini adalah opini penulis

 

 

Exit mobile version