Mongabay.co.id

Banyak Sorotan dari Pemerhati, Menteri KKP Sukacita Sambut UU Cipta Kerja

 

Kehadiran Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang baru disahkan oleh DPR RI pada Senin (5/10/2020) disambut suka cita oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Walau mendapat penolakan dari banyak pihak, namun KKP gembira karena UU baru tersebut akan membantu banyak persoalan di sektor kelautan dan perikanan (KP).

Saat menyampaikan keterangan resmi dilaksanakan Kementerian Koordinator Perekonomian RI, Rabu (7/10/2020), Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan bahwa UU yang dikenal publik sebagai Omnibus Law adalah peraturan yang selama ini sangat ditunggu oleh pelaku usaha di sektor KP.

“Tentang perizinan kapal sebagai misal, walaupun sebelum Omnibus Law keluar sudah mulai banyak perbaikan, tapi dengan Omnibus Law lah paling besarnya mengamankan para pelaku usaha, dari yang besar sampai yang kecil,” ungkap dia dalam jumpa pers virtual bersama 11 menteri itu.

Tak hanya itu, Edhy menyebutkan bahwa pihak yang nantinya akan paling banyak diuntungkan dengan kehadiran UU Cipta Kerja, tidak lain adalah masyarakat nelayan itu sendiri. Mereka tidak akan merasa ketakutan lagi saat sedang menangkap ikan atau menjalankan usaha mereka.

Dia mencontohkan, sebelum ada Omnibus Law para nelayan harus berkejaran dengan rasa takut karena kepastian usaha tidak mereka dapatkan. Kemudian, kepastian perizinan juga tidak kunjung mereka peroleh karena disebabkan banyak faktor yang menghambat mereka.

“Kekhawatiran mereka dikriminalisasi di tengah laut, maupun di pantai-pantai,” ucapnya.

baca : Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

 

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas menyampaikan laporan Baleg tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada Ketua DPR RI Puan Maharani di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Foto : dpr.go.id

 

Edhy kemudian memberi contoh bagaimana kepastian usaha menjadi hal yang paling menakutkan bagi nelayan. Menurut dia, kisah tentang kisah petambak udang yang dinilai berhasil dan sukses secara material bisa menjadi pembelajaran yang banyak.

Petambak tersebut sukses secara materi, namun kemudian nasibnya berubah hanya dalam hitungan sebulan saja menjadi kekurangan materi. Bahkan, nasib petambak tersebut semakin terpuruk karena harus merasakan jeruji penjara atas kasus yang dialaminya.

Kan itu tidak hal yang tidak lucu. Banyak kasus- kasus yang sama di situ,” jelas dia.

Dengan adanya UU Cipta Kerja, maka seluruh birokrasi yang dirasa menyulitkan nelayan dan pelaku usaha, tidak akan ada lagi. Hal itu, karena dari 21 peraturan yang ada dan sebelumnya harus menjadi pedoman acuan, kini disederhanakan menjadi hanya satu saja.

“Jadi cukup satu pemberitahuan saja,” tegas dia.

 

Penyederhanaan

Meski demikian, walau disederhanakan menjadi satu saja, Edhy memastikan bahwa itu tidak akan mengurangi penertiban terhadap kegiatan pengamanan lingkungan yang selama ini sudah dilakukan. Misalnya saja, kegiatan pengawasan terhadap kegiatan analisis mengenai dampak terhadap lingkungan (Amdal).

“Itu semua ada, termasuk bahan-bahan yang berbahaya (untuk lingkungan),” tegas dia.

Edhy menambahkan, sebagai peraturan baru yang akan menaungi banyak kegiatan, Omnibus Law diklaim menjadi peraturan yang ditunggu oleh para nelayan. Peraturan tersebut dinanti karena diharapkan bisa menyelesaikan banyak persoalan yang menerpa mereka, seperti perizinan untuk kapal perikanan.

baca juga : Kiara : UU Cipta Karya, Perampok Kedaulatan Masyarakat Pesisir

 

Kapal huhate penangkap ikan cakalang milik nelayan Pulau Pemana, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, dalam lima tahun terakhir ini nelayan dan pelaku usaha kesulitan untuk mendapatkan perizinan kapal perikanan mereka. Kondisi itu menyebabkan banyak operasional kapal berhenti dan produksi ikan menjadi turun sampai titik terendah.

“Kemudian, matinya industri perikanan dari Sabang sampai Merauke,” tambah dia.

Berhentinya industri perikanan tersebut, mengakibatkan kerugian tidak sedikit di seluruh Indonesia. Selama lima tahun terakhir, walau belum ada perhitungan secara detail dan resmi, namun Edhy berani mengatakan bahwa nilai investasi yang ada di Indonesia mencapai Rp300 triliun.

“Dan itu tidak berjalan (investasinya),” tegas dia.

Selain tentang perizinan seperti disebutkan di atas, Edhy juga menyinggung tentang zonasi laut yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Tentang hal tersebut KKP harus bersinggungan dengan banyak lembaga pemerintah lainnya.

“Zonasi laut saja harus bersentuhan dengan kementerian, terutama ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral),” sebut dia.

Terakhir, dalam keterangan resminya Edhy menegaskan bahwa Omnibus Law akan membantunya untuk mengurangi pekerjaan rumah yang ada. Setelah itu, dia tinggal mengamankan dan menjalankan peraturan baru tersebut.

perlu dibaca : Penyederhanaan Peraturan Pengelolaan Laut dalam Omnibus Law, Salah Kaprah?

 

Penjual ikan melakukan transaksi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan, Jatim. Dampak yang ditimbulkan dari wabah virus COVID-19 ini yaitu harga ikan turun drastis. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Eksploitasi Sumber Daya Ikan

Disahkannya UU Cipta Karya, mendapat tanggapan luas dari berbagai pihak. Salah satunya Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim. Menurut dia, UU yang baru disahkan tersebut memang mengandung beberapa kelemahan yang bisa mengakibatkan dampak buruk di kemudian hari.

Ada tiga poin yang menjadi sorotan Halim dalam UU yang baru tersebut. Ketiganya merupakan kelemahan dari kebijakan legalisasi operasional kapal ikan asing (KIA) di wilayah perairan Indonesia.

“Pembolehan kapal ikan asing untuk ikut memanfaatkan SDI (sumber daya ikan) di ZEEI (zona ekonomi eksklusif Indonesia) merugikan kepentingan nasional,” ucap dia.

Ketiga poin yang dimaksud, pertama adalah tentang menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang baik bagi pelaku usaha perikanan di dalam negeri. Dampak tersebut akan muncul jika KIA dibolehkan menangkap ikan lagi di perairan Indonesia.

Poin kedua, masuknya kembali KIA di sub sektor perikanan tangkap akan meningkatkan kerugian Negara karena tidak dilaporkannya hasil tangkapan ikan ke pelabuhan di dalam negeri. Dampak tersebut akan memicu terjadinya praktik eksploitasi SDI.

Poin ketiga yang akan muncul jika KIA diizinkan menangkap ikan lagi, adalah membuka peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bagi tenaga kerja perikanan yang bekerja di atas kapal perikanan. Pelanggaran itu akan muncul karena akan eksploitasi jam kerja di atas kapal.

Walau menentang izin untuk KIA pada perikanan tangkap, Abdul Halim tidak menafikkan jika merujuk pada regulasi yang ada, sebenarnya KIA memang masih boleh ikut memanfaatkan SDI di wilayah ZEE Indonesia. Itu sesuai dengan Pasal 29 UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Problem-nya, pengelolaan perikanan di dalam negeri masih amburadul,” ungkap dia.

Dia mencontohkan, terkait relasi Pemerintah Pusat dan Provinsi untuk alokasi kapal yang bisa diberikan perizinan, khususnya surat izin penangkapan ikan (SIPI), sampai sekarang masih belum rapi dan tertib. Kemudian, ditambah lagi masih minimnya pengawasan Pemerintah Indonesia di wilayah laut.

“Itulah beberapa hal yang perlu diperbaiki dulu,” pungkas dia.

baca juga : Nasib Nelayan Kecil dalam Ancaman RUU Omnibus Law

 

Saat cuaca buruk awal Maret 2020, sebagian nelayan di Tuban, Jatim, memilih untuk memperbaiki kapal maupun alat tangkap mencari ikan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL), Rabu (7/10/2020), juga mengkritik pengesahan UU Cipta Kerja. Salah satu poin yang dikritik, adalah legalisasi KIA untuk beroperasi pada sub sektor perikanan tangkap di ZEE Indonesia.

Menurut KORAL, UU menghapuskan kewajiban penggunaan awak kapal perikanan (AKP) Indonesia sebanyak 70 persen per kapal dalam satu KIA yang menangkap di ZEE Indonesia. Kebijakan tersebut dinilai merugikan, karena SDI seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

“Sebagai amanat dari Pasal 33 (3) UU Dasar 1945,” kata Direktur Program Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Isna Fatimah.

Sementara, tentang penyederhanaan perizinan, itu dinilai hanya akan mendorong ekspansi usaha besar-besaran di daerah pesisir dan ruang laut, tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem. Di saat yang sama, Pemerintah Indonesia sudah menetapkan 15 kawasan ekonomi khusus (KEK) yang ada di kawasan pesisir.

Keberadaan KEK yang fokus untuk mengembangkan investasi, akan semakin berkuasa penuh setelah UU berjalan. Akibatnya, kerusakan ekosistem pesisir tidak bisa dihindarkan lagi, dan itu akan berdampak kepada jutaan nelayan yang menggantungkan ruang hidupnya pada pesisir.

“Diubahnya izin menjadi persetujuan tentunya akan mengurangi esensi pengawasan, pengendalian, dan pencegahan,” pungkasnya.

 

Exit mobile version