Mongabay.co.id

‘Buah Manis’ Kala Petani Tungkal Benahi Tata Kelola Kebun Sawit

Petani mendapatkan banyak manfaat setelah berupaya mengelola kebun sawit dengan baik. Mereka juga peroleh sertifikasi RSPO. Foto: Fahmi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Sepatu boots, dan helm putih melengkapi aktivitas Faozatu La Gea, sehari-hari saat turun ke kebun sawit. Hari itu, dia sedang membersihkan pelepah sawit tua. Tangan dengan cekatan menancapkan dodos kemudian menghentakkan ke bawah.

Bruk.” Bunyi pelepah jatuh satu persatu.

“Ini pelepah sawit hanya tiga helai saja boleh di bawah tandan. Untuk menopang, kalau banyak nutrisi diserap pelepah tandan kurang produktif”, kata pria 45 tahun ini sembari menyusun pelepah. Dia tumpuk pelepah pada sisi tanah miring.

Pelepah ini, katanya, bisa untuk pupuk dan penahan tandan sawit agak tak meluncur ke bawah.

Gea, petani sawit di Dusun II Desa Taman Raja, Kecamatan Tungkal Ulu, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Dia bergabung dalam kelompok tani dusun sejak 2016.

Kemudian pada 2018, dia bersama 289 petani yang tergabung dalam 11 kelompok tani membentuk Asosiasi Petani Berkah Mandah Lestari (APBML) dan mengurus sertifikasi roundtable on sustainable palm oil (RSPO).

Gea merasa banyak manfaat kala tergabung dalam APBML terlebih setelah mengantongi sertifikat RSPO.

Dia mengikuti banyak pelatihan hingga berkebun sawit tidak asal-asalan. Produktivitas kebun sawit pun meningkat.

“Rata-rata sekali panen bisa 800 kilogram sampai satu ton, dulu hanya 500-600 kg. Kami juga mendapatkan akses pupuk dengan harga lebih murah,” katanya.

Sebelum berkebun sawit, Gea bekerja di perusahaan kayu olahan PT Sumatera Timber Utama Damai. Dia bekerja sejak 1992, berhenti pada 2009. Perusahaan itu bangkrut.

“Sebelum berhenti, saya juga sudah mulai membeli tanah dan menanami dengan sawit,” katanya.

 

Aktivitas Gea sehari-hari di kebun sawtinya. Foto: Fahmi/ Mongabay Indonesia

 

Gea setiap hari mengatur waktu kerja di kebun sawit. Berangkat pagi sekitar pukul 08: 00 WIB, pulang sore hari. Agenda itu rutin tiap hari.

Sumaryanto, rekan Gea, dulu juga pekerja di perusahaan kayu olahan. Dia sekarang berkebun sawit sembari mengurus Asosiasi Petani Berkah Mandah Lestari.

Sumaryanto asli Solo. Merantau ke Tanjung Jabung Barat dan menemukan jodoh hingga menetap di Desa Pematang Tembesu, Tungkal Ulu.

“Dulu, selepas dari sekolah pertanian, saya sebenarnya sempat test kerja di bank. Cuma tiga bulan, ga mau karana ijazah ditahan. Sekarang, alhamdulillah, adek saya yang dokter sempat iri dengan penghasilan petani ini,” ceritanya.

Ardiansyah, Ketua APBML juga cerita. Dia bilang, dulu tak percaya dengan sertifikasi RSPO pada petani.

Bahkan, dulu, konflik warga memanas dengan perusahaan sawit, PT Dasta Anugrah Sejati (Asian Agri group).

Konflik berlangsung sejak 1998. Tawaran berasosiasi ini pun sempat mereka anggap akal-akalan perusahaan agar berdamai dengan masyarakat.

Setelah enam bulan pendampingan oleh Yayasan Setara Jambi, Ardiansyah mencoba membuka diri. Dia mendapatkan dukungan Sumaryanto.

“Awalnya, saya berpikir, Setara ini perpanjangan tangan perusahaan. Pada 2016, saya ikut seminar tentang sawit berkelanjutan. Saya ajak beberapa warga namun tidak ada yang berminat. Sampai Mas Maryanto mendukung saya pada 2017. Mas Imron mendukung saya.” Kini, mereka mulai memberikan pelatihan kepada petani.

Tantangan terberat ketika pertama kali membentuk kelompok adalah agen dan tengkulak. Selama ini, katanya, petani menjual hasil tandan buah segar kepada agen. Kekhawatiran agen berhasil diatasi dengan mengajak mereka bekerjasama.

“Agen-agen itu malah sekarang sudah bergabung di APBML. Ketakutan mereka, kami akan memotong rantai pasar tidak terbukti.”

Setelah terbentuk 2018, pada November 2019, mereka mendapatkan serfitikasi untuk delapan kelompok tani di enam desa dengan 218 petani, seluas 707 hektar.

Proses pengusulan RSPO, katanya, lebih mudah dibandingkan meyakinkan petani agar mengelola sawit berkelanjutan yang membawa manfaat bagi mereka.

Ardiansyah bilang, dalam pengurusan RSPO terutama kejelasan lahan, tak boleh ada di kawasan hutan. Petani juga wajib memperhatikan keselamatan kerja, lingkungan, dan aspek sosial.

Dia contohkan, dalam pembukaan lahan tanpa bakar, pengawasan penggunaan pupuk kimia, hingga ketentuan membuka lahan di sempadan sungai.

Petani swadaya juga harus berkelompok membentuk asosiasi dan memiliki batas maksimal lahan di bawah 50 hektar.

Sertifikasi ini, katanya, untuk tandan buah segar, hingga nanti TBS masuk pasar setifikasi RSPO.

 

Kondisi perkampungan warga. Foto: Fami/ Mongabay Indonesia

 

***

Di jalan masuk menuju Pasar Taman Raja, beberapa anak berjalan beriringan. Berseragam putih. Ada kopiah. Ada yang berkerudung. Tawa dan senda gurau terdengar di tengah terik mentari. Sebuah truk besar membawa TBS sawit melaju. Sedikit mendaki, tiba di hamparan kebun sawit tepat di pinggir jalan.

Bunyi raungan motor terdengar kencang. Alexander Saragih, menancap gas kendaraan bermotor menaiki sela-sela tanaman sawit. Di belakang ada keranjang rotan melintang terbagi dua, sisi kanan dan kiri penuh tandan sawit segar. Berwarna merah marun, di ujung tandan terlihat kekuningan.

Alexander tersenyum menyambut rombongan Asosiasi Petani Berkah Mandah Lestari. Dia terburu-buru memarkirkan motor, lalu mengambil kait kecil yang melengkung. Menurunkan satu per satu tandan buah sawit dari keranjang.

Alexander, senang bergabung dalam APBML. Dia menikmati panen melimpah dari kebun sawit yang dulu tidak begitu banyak.

Sekali panen bisa satu ton per hektar, dulu hanya 500-600 kilogram. Belajar bertani yang benar melalui pelatihan yang diselanggarakan asosiasi berbuah manis.

Walau begitu, dia ada keluhan soal air sungai mengering di sekitar perkebunan sawitnya. Kalau harus memupuk dan lain-lain, Alexander membawa air dari rumah yang berjarak 5 kilometer dari kebun.

“Air ini yang perlu mendapatkan perhatian serius. Kami ini sudah kekeringan, air ini sumber kehidupan. Harus dicarikan solusi juga ini.”

Sebagai Sekretaris Desa Taman Raja, Ardiansyah bilang, kalau mereka sudah membuat embung desa untuk mengatasi kekurangan air di sekitar desa. Embung ini juga berfungsi bagi pertanian lain seperti padi dan sayuran di sekitar desa.

Menurut dia, dalam kewajiban lingkungan sebagai petani yang memiliki sertifikasi RSPO, harus memenuhi beberapa persyaratan. Tak boleh penyemprotan total, pakai obat parakuat (herbisida), dan tak boleh menanam di sekitar sungai minimal 50 meter dari bibir sungai.

“Kita juga dengan pihak desa mendorong peraturan desa, lubuk larangan di Desa Lubuk Bernai dan Lubuk Rawas. Ini sudah selesai rancangannya, tinggal pengesahan. Dalam waktu dekat perdes itu sudah terealisasi,” katanya.

 

Sertifikasi dan tata kelola kebun sawit

Tak hanya berkebun sawit, sebagian petani juga tanam padi. Mahyudin, tanam benih padi pada sepetak sawah. Satu pompa air menyedot air got lebar 10 meter di pinggir sawah. Luas persawahan ini hanya satu hektar. Kiri dan kanan sudah ditanami sawit. Sawah ini dibangun 2018, bantuan dari Dinas Pertanian untuk membangun sistem pengairan sendiri dengan menggali parit di pinggirnya.

Mahyudin, sudah lima kali panen. Selama setahun, dia panen dua kali. Hasil panen untuk keperluan pangan keluarga.

Alhamdulillah, untuk kebutuhan beras keluarga, kami dak beli lagi. Cukup dengan sawah sepetak ini,” katanya.

Tak hanya Mahyudin, ada enam petani lain punya sawah di sana. Mereka rata-rata memiliki kebun sawit selain sawah.

Ardiansyah bilang, rata-rata 70% warga di Kecamatan Tungkal Ulu dan Kecamatan Batang Asam, berkebun sawit. Sebagian besar tak memiliki legalitas, bahkan dalam kawasan hutan.

 

Selain berkebun sawit, sebagian petani juga punya sawah. Foto: Fahmi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, luas kebun anggota yang tergabung dalam asosiasi sebenarnya sekitar 1.700 hektar. “Namun 1.000-nya (hektar) itu belum ber-RSPO karena terkendala legalitas.”

Agusrizal, Kepala Dinas Kehutanan Jambi, mengatakan, dengan ada sertifikasi bagi petani berkelanjutan sebenarnya membantu penyelesaian konflik lahan yang cukup tinggi di Jambi.

Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), wajib dari pemerintah Indonesia, katanya, agak berbeda dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Namun, kata Agusrizal, kedua sertifikasi ini bertujuan menekan laju pengurangan tutupan hutan, mengurangi emisi gas rumah kaca dari alih fungsi lahan dan kepatuhan terhadap persyaratan hukum. “Yang berujung pada minimalisir konflik.”

Di Jambi, provinsi dengan luas perkebunan sawit 1.134.640 hektar. Data Dinas Perkebunan Jambi, seluas 66,6% merupakan sawit rakyat, 30,33% swasta dan 3,01% perusahaan negara.

Kurun waktu 2017-2019, baru tiga kelompok petani swadaya bersertifikat ISPO, yakni, KUD Mutiara Bumi, Gapoktan Muji Makmur, dan Gapoktan Catur Manunggal.

“Melalui APBD tiap tahun Rp500 juta menyiapkan fasilitator daerah, dari penyuluh senior dan pensiunan. Satu asosiasi per tahun.”

Dia bilang, beberapa manfaat petani dengan sertifikasi ISPO adalah bermitra dengan pabrik, mendapatkan harga baik dan peroleh berbagai pelatihan peningkatan kapasitas petani.

“Petani ini bermitra dengan pabrik, ada kejelasan pasar dan harga juga sesuai standard. Itu selisihnya dengan harga pasaran Rp200-Rp300 per kilogram.”

Tidak hanya petani swadaya, kata Agusrizal, semua perusahaan sawit wajib memiliki ISPO sebagai bentuk ketaatan hukum, kejelasan izin dan komitmen pada lingkungan serta sosial.

“Kita melakukan penilaian kebun perusahaan setiap tiga tahun sekali. Mulai perizinan, konflik lahan, lingkungan, kerjasaama plasma dan inti, kelola lingkungan, CSR (tanggung jawab sosial).”

Setiap obyek penilaian memiliki skoring, dan kewenangan itu tidak hanya di Dinas Perkebunan Jambi juga kabupaten. Menurut Agus, dari 12 perusahaan yang jadi kewenangan provinsi dapat penilaian baik.

 

Manfaat

Herlina, petani di Desa Pematang Tembesu Kecamatan Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, duduk bersama Soimah di teras rumah.

Herlina baru pulang memantau dua pekerja harian lepas yang megurus kebunnya. Sudah satu tahun suaminya meninggal, Herlina sendirian mengurus kebun. Dia punya kebun sawit 10 hektar, enam hektar sudah dia daftarkan di APBML dan mendapatkan sertifikat RSPO.

Dia bilang, punya seorang puteri berkuliah di Kota Bengkulu. Berkebun sawit jadi pemasukan andalan untuk kuliah anak semata wayangnya itu.

Herlina bersyukur, dengan tergabung di APBML, dia tahu banyak tentang merawat sawit. “Dulu, waktu nanam saya sendiri yang turun tanpa bantuan orang lain. Dengan pengetahuan seadanya. Sekarang, tenaga tidak sanggup lagi jadi cuma ikut memantau. Tapi tidak bisa dikecoh, karena ilmu sudah ada. Ikut pelatihan.”

Dia setiap hari memantau kebun. Pekerja dia upah Rp140.000-Rp150.000 setiap hari. Pekerja juga warga sekitar yang tak memiliki kebun. Ada juga punya kebun, namun belum menghasilkan.

Herlina bilang, mendapatkan akses pupuk lebih mudah saat bergabung dengan APBML. “Saya bisa mengurangi penggunaan pupuk juga dengan memanfaatkan jangkos sebagai pupuk, itu didapat semua pengetahuan dari pelatihan.”

Menurut dia, satu batang sawit perlu 1-2 kilogram pupuk. Dalam satu hektar perlu 10 karung pupuk seberat 50 kilogram. Harga pupuk di pasaran beragam, mulai Rp40.000-Rp500.000 per kilogram.

Dengan ada akses pupuk murah dari asosiasi, mereka terbantu menekan ongkos produksi.

Soimah, tetangganya, juga anggota APBML. Dia bersyukur, banyak manfaat mereka rasakan.

“Kalau saya, sering juga ke kebun. Sibuk urus anak dan jaga bengkel juga. Beberapa ilmu tentang merawat sawit sudah berani dipraktikkan di kebun sendiri,” katanya.

Dengan jadi anggota asosiasi petani, masa pandemi ada bantuan. Kemudian, ada tabungan rutin Rp10 per kg panen.

“Kalau dikumpulkan, bisa juga untuk daftar haji nanti,” katanya.

Ada Rp419 juta dana premium sharing APBML pada akhir 2019. Menurut Ardiansyah, dana itu sebagian sudah diberikan ke anggota kelompok, untuk paket sembako Rp300.000-an ketika Idul Fitri. APBML juga berikan beasiswa 35 anak dan akan cair di Desember nanti.

Meskipun begitu, pembenahan tata kelola kebun swadaya warga bukan tanpa tantangan. Ardiansyah bilang, dalam mengurus surat tanda daftar budidaya (STDB) mereka hadapi kendala, seperti ada perubahan payung hukum dengan mewajibkan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kondisi ini, katanya, terlalu memberatkan.

“Kalau BPJS Ketenagakerjaan, semua anggota sudah kita buatkan itu. Tahun depan, asosiasi yang akan bayar. Itu tidak masalah, tapi NPWP ini agak repot juga. Namun, sebagian berkas sudah masuk, mudah-mudahan bisa diurus online karena pandemi ini,” katanya.

 

Sumber: presentasi Kepala Dinas Perkebunan Jambi

 

Mereka juga hadapi konflik dengan gajah yang sering melintasi kebun warga di Desa Taman Raja, Pematang Tembesu, Lubuk Bernai dan Lubuk Rawas. “Terakhir, ada yang meninggal satu di Desa Pematang Pauh.”

Mereka biasa mengusir gajah dengan mercon sampai petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) datang. Ada juga masyarakat yang tergabung dalam tim bentukan BKSDA untuk pengamanan gajah.

Yayasan Setara, lembaga pendamping petani sawit dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan menyebutkan, ada 1.491 petani sudah mendapatkan sertifikasi RSPO di Jambi dengan luasan 2.664 hektar.

Nurbaya Zulhakim, Direktur Setara bilang, untuk peroleh RSPO, praktik budidaya kebun harus dipenuhi petani. Juga, aspek legalitas berupa prinsip kepatuhan terhadap aturan berlaku seperti surat kepemilikan lahan, STDB dan surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dalam pengurusan sertifikasi RSPO.

“Macam-macam tantangan yang dihadapi petani menuju proses sertifikasi ini, misal, untuk mendapatkan STDB dan SPPL, petani wajib memiliki NPWP dan BPJS Ketenagakerjaan. Ini agak sulit bagi petani kecil yang tinggal jauh di pelosok desa. Ada juga yang sulit mendapatkan SPPL.”

Untuk menuju sawit berkelanjutan, lewat ISPO maupun RSPO, katanya, perlu dukungan pemerintah, perusahaan, terutama pembeli TBS petani.

 

***

Kantor APBML berbentuk rumah dengan tiga kamar dan gudang tak jauh dari kantor. Di depan berjejer spanduk imbauan dari larangan membakar, menjaga satwa, sungai, hutan dan lain-lain.

Semua anggota APBML, kata Sumaryanto, sudah tak membakar lahan untuk tanam baru. APBML, katanya, akan membantu petani mendapatkan penyewaan alat berat dengan harga lebih rendah agar dapat membersihkan lahan.

Sejak tergabung dalam asosiasi, kesadaran petani pada alam, lingkungan lebih meningkat. Mereka saling mendukung termasuk untuk produktivitas dan keberlanjutan sawit yang mereka tanam.

“Semua unsur, standar di RSPO itu sebenarnya buat petani juga. Kalau kebun jelas, lingkungan terjaga, pasar jelas, semua buat petani juga kan?”

Mereka punya mimpi suatu saat akan membuat perusahaan petani.

“Kami ini petani wong cilik, yang jarang dipandang. APBML membuat saya dan teman-teman bermimpi suatu saat akan berbentuk perusahaan untuk petani. Merangkul mereka, sejahtera bersama dan jadi petani akan jadi cita-cita banyak generasi, tidak malu menjadi petani,” kata Sumaryanto.

 

 

*Fahmi, jurnalis di Ficus.Id. Artikel ini mendapat dukungan dari Mongabay Indonesia

 

Keterangan foto utama: Petani mendapatkan banyak manfaat setelah berupaya mengelola kebun sawit dengan baik. Mereka juga peroleh sertifikasi RSPO. Foto: Fahmi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version