Mongabay.co.id

Derita dan Asa Nelayan Sulsel di Tengah Pandemi COVID-19 (bagian 1)

 

Corona Virus Disease (COVID-19) yang merebak di hampir seluruh dunia sejak akhir 2019 dan pertama kali merambah Indonesia pada Maret 2020, mengukir sejarah yang tidak akan lekang oleh waktu pada perjalanan kehidupan manusia.

Pandemi ini tidak hanya mengakibatkan krisis kesehatan tetapi juga memukul keras perekonomian dunia. Berimbas pada sektor perdagangan dunia yang terseok-seok, sektor pariwisata lumpuh total hingga minimnya pemenuhan pangan penduduk dunia.

Bagi segelintir orang, pandemi COVID-19 mungkin tidak begitu terasa dalam pemenuhan pangannya, tetapi tidak demikian dengan warga pesisir dan pulau dengan segala keterbatasannya.

Fenomena ini sangat kontradiksi dengan posisi nelayan sebagai penyedia protein terbesar untuk melengkapi nutrisi yang sangat penting dibutuhkan oleh tubuh di masa pandemi agar tidak gampang terjangkit virus mematikan itu.

Di tengah kebutuhan nutrisi protein bagi penduduk Indonesia agar stamina tetap terjaga dan sehat, nyatanya nelayan sebagai pemasok protein berada dalam kondisi tidak sehat dari segi ekonomi dan pemenuhan pangannya sendiri.

Mayoritas berprofesi sebagai nelayan, warga pulau dan pesisir di Indonesia menjadi pihak yang paling merasakan dampak dari krisis kesehatan akibat pandemi.

Akses yang sudah cukup sulit dari kehidupan warga pulau semakin diperparah dengan batasan sosial di tengah pandemi sebagai kebijakan pemerintah dalam melindungi kesehatan warganya.

Imbauan menghindari kerumunan dan penjagaan ketat arus keluar-masuk pulau berdampak pada pemenuhan kebutuhan mereka. Jika sebelum pandemi bebas melakukan penyeberangan ke darat, pada masa pandemi ini dibatasi sesuai luas kapal penumpang hingga 1/3 dari muatan normalnya.

Lebih dari itu, sulitnya pengiriman, harga hasil laut yang anjlok hingga tidak memiliki nilai jual mengakibatkan masyarakat pesisir dan kepulauan kesulitan melengkapi kebutuhan hidup sehari-hari.

baca : Terdampak COVID-19, Nelayan Harus Diberi Perhatian Khusus

 

Jejeran perahu nelayan yang disebut Jolloro bertengger di bibir pantai Pulau Barrang Caddi Makassar. Foto : Nur Suhra Wardyah/Mongabay Indonesia

 

Inilah beberapa alasan yang diutarakan nelayan asal Pulau Barrang Caddi Kota Makassar, Sulawesi Selatan bernama Ansar. Ia yang mencari penghidupan di laut lepas dengan sistem perangkap “buu” merasa sangat menderita sejak terjadi pandemi COVID-19

“Selama pandemi corona, itu merugikan nelayan karena harga menurun di pasaran. Ada juga hasil tangkap tidak dibeli, jadi tangkapan itu untuk dimakan saja. Makanya nelayan sangat betul-betul menderita,” kata Ansar yang ditemui akhir Agustus.

Penduduk di Pulau Barrang Caddi memang kebanyakan bertindak sebagai nelayan tangkap untuk produk ekspor dari hasil laut, sayangnya beberapa waktu terakhir daya beli dan pengiriman diakui menurun drastis.

Misalnya biasa harga ikan ekspor seperti sunu dan kerapu dihargai Rp800 ribu per kg, kini menurun hingga 75 persen menjadi Rp200 ribu hingga ada juga yang hanya dijual dengan harga Rp100 ribu dan Rp90 ribu.

Keadaan seperti ini kerapkali memupus asa nelayan untuk kembali melaut menjamah birunya laut. Apalagi ongkos yang harus digelontorkan terbilang lebih besar dari hasil penjualan yang diperoleh.

Mahalnya bahan bakar minyak seperti solar dan ketersediaan sandang pangan menjadi hal mutlak yang harus terpenuhi selama melaut, mencari rezeki di laut luas agar asap dapur di rumah para nelayan tetap mengepul.

Untuk melaut selama tiga hari memakan biaya sekitar Rp2 juta untuk solar dan bensin, bekal pangan dan rokok. Sementara hasil melaut tidak mampu mencukupi modal.

baca juga : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Dari Penggantian Wali Kota hingga Belitan ‘Patron Client’ Perikanan  [Bagian 1]

 

Seorang nelayan bernama Ansar asal Pulau Barrang Caddi, Makassar Sulsel memperlihatkan hasil tangkapannya di perairan Sulawesi. Foto : Nur Suhra Wardyah/Mongabay Indonesia

 

Kesulitan ekonomi juga dirasakan warga pesisir bernama Kahar, berdomisili di Dusun Biringkassi Dalam, Desa Bulu Cindea, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan dengan profesi sebagai nelayan kepiting rajungan.

Nilai beli kepiting rajungan sangat dikeluhkan karena menurun hingga 50 persen, sementara Kahar mengaku harus menghidupi istri dan kedua anaknya. Terlebih ia tidak memiliki sumber penghidupan lain.

Jika kepiting rajungan biasanya terjual seharga Rp35-40 ribu lebih per kilogram sebelum pandemi, kini hanya mampu dijual dengan harga Rp22 ribu/kg.

Bukan hanya pengiriman, daya beli masyarakat yang sangat menurun selama pandemi juga berpengaruh pada penghasilan nelayan kepiting rajungan. Sehingga dalam pemenuhan pangan, keluarga Kahar sangat kesulitan. Jika biasanya membeli beras 10 liter, kini hanya 2 liter sesuai kemampuannya

 

Hasil tangkapan menurun

“Sudah jatuh tertimpa tangga pula” dalam menggambarkan kehidupan nelayan di Pulau Barrang Caddi, Kota Makassar dan warga Pesisir Bulu Cindea Kabupaten Pangkep.

Ini karena menurunnya harga jual yang semakin diperparah dengan hasil tangkap yang juga terus menurun, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Mulai dari kepiting rajungan, ikan tangkap dan gurita.

“Tahun-tahun sebelumnya itu saya bisa mendapat kepiting hingga 5-10 kg per hari dan harganya normal, sekarang hanya 2 – 3 kg dan bahkan juga tidak bisa terjual karena sedikit sekali yang ditangkap,” kata Kahar.

Hasil sedikit itu, tidak menyurutkan langkahnya terus mencari rezeki yang bergantung pada asinnya air laut, menggantungkan asa kepada pemilik rezeki untuk mendapat hasil lebih banyak di hari-hari selanjutnya. Apalagi tidak ada mata pencaharian lain selain menjadi nelayan.

perlu dibaca : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Tak Lagi Dapat Bantuan, Warga Pulau Barrang Caddi Anggap Pemerintah Sudah bangkrut [Bagian 3]

 

Seorang nelayan bernama Ansar asal Pulau Barrang Caddi, Makassar Sulsel memperlihatkan hasil tangkapannya berupa gurita di perairan Sulawesi. Foto : Nur Suhra Wardyah/Mongabay Indonesia

 

Ansar dari Pulau Barrang Caddi mengemukakan hal senada, kalau penghasilan dari laut semakin hari semakin menurun dibanding tahun-tahun lalu. Menurutnya, ada pergeseran atau perubahan yang terjadi di area dirinya mengadu nasib.

Pendapatan yang fluktuatif menjadi lumrah di kalangan nelayan, tetapi perbedaan hasil tangkap nelayan di pulau ini dinilai sangat drastis penurunannya. Bisa mendapat hasil tangkapan lima ekor, malah ada kosong sama sekali.

Jika tahun lalu selalu ada meski kadang sedikit, itu dinilai Ansar masih lebih mending dibanding tahun sekarang, karena pernah menangkap ikan tidak untuk dijual tetapi hanya cukup untuk dikonsumsi saja.

Dugaan adanya tambang pasir yang melakukan pengerukan menjadi penyebab rendahnya hasil tangkapan warga pulau di Makassar. Terdapat hampir 10 pulau di Makassar, seperti Pulau Kodingareng, Pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi, Pulau Lumu-lumu, Pulau Laikang, Pulau Samalona, Pulau Gusung Bonetambu dan lainnya.

Dugaan tersebut bukan tanpa alasan, kondisi air laut saat ini dinilai tidak lagi jernih seperti sebelumnya.

Di area tangkap nelayan, air laut kerapkali terlihat keruh dan dampaknya mengakibatkan nelayan tidak bisa fokus melakukan penangkapan khususnya dengan sistem tangkap. Dipastikan pula berpengaruh terhadap jarak pandang ikan yang lebih dekat karena keruhnya air laut.

“Satu hari murni bersih lalu sehari kemudian keruh lagi di tengah laut. Jadi bagaimana bisa nelayan fokus melihat karena air di laut tidak bagus,” katanya.

baca juga : Aksi Penolakan Nelayan dan Sengkarut Tambang Pasir Laut di Makassar

 

Nelayan menarik perahunya setelah melaut di perairan Pulau Barrangcaddi, Kota Makassar. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Pinjaman membengkak

Masa pandemi COVID-19 yang berimbas pada penurunan pendapatan nelayan mengakibatkan pinjaman warga nelayan dan pesisir pun membengkak, sebab pemasukan tidak sebanding pengeluaran.

Tidak sedikit nelayan khususnya buruh kapal harus meminjam melalui punggawa (pengepul ikan), mengambil uang lebih dulu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ada juga yang sebelumnya meminjam di toko-toko sebelum melaut. Aktivitas ini seolah menggadaikan hidup dan pekerjaannya tanpa tahu hasil yang akan diperoleh.

Seorang punggawa asal Pulau Barrang Caddi bernama Haji Nanring mengaku selama pandemi sangat paceklik sehingga ia juga harus lebih bijak menyalurkan modal ke buruh kapal, termasuk memberi pinjaman.

Jika sebelumnya nelayan itu bisa memperoleh uang pinjaman sekitar Rp1 juta dari punggawa sebelum melaut dan akan ditebus setelah memperoleh hasilnya, kini dibatasi hanya sekitar Rp200 ribu lebih saja.

“Selesai dari luar mencari ikan, nanti kalau sudah ada hasil baru dibayar. Kita tinggal berusaha saja sambil menunggu harga kembali normal. Daripada berdiam diri padahal kebutuhan untuk makan harus tetap ada,” ujarnya.

Tidak sampai di situ, keluarga nelayan banyak yang menggadaikan harta bendanya sebagai upaya pemenuhan kebutuhan. Pulau yang dihuni 1.830 jiwa itu, banyak dari mereka yang harus menggadaikan emasnya untuk bertahan hidup.

Emas yang dianggap sebagai investasi harus direlakan untuk digadai demi menutupi penghasilan para nelayan yang menurun selama pandemi. Ditambah lagi sekolah online yang ditetapkan pemerintah membuat keluarga nelayan merogoh kocek lebih dalam untuk memenuhi kuota internet anaknya. Ini juga menjadi keluhan warga.

Terbatasnya berbagai jaringan seluler serta mahalnya kuota internet yang ditawarkan para operator jaringan seluler untuk menjangkau internet mengakibatkan pengeluaran di masa pandemi semakin meningkat, harga kuota Rp5000 untuk pemakaian sehari.

baca : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Potret Pulau Lae-Lae, Lesunya Perdagangan Ikan Hingga Sepinya Papalimbang [Bagian 2]

 

Seratusan nelayan dari Pulau Kodingareng Makassar menggunakan perahu tradisional ketinting atau cadik melakukan pengadangan kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis. Foto: Walhi Sulsel

 

Ekspor hasil laut

Kepala Bidang Pengembangan Perdagangan Luar Negeri Dinas Perdagangan Provinsi SulSel Dewa Nyoman Mahendra mengemukakan keluhan yang dirasakan masyarakat pesisir dan pulau terhadap penjualan berbagai komoditi laut bisa dipahami karena hal tersebut seiring dengan ekspor hasil laut yang juga menurun hingga 10 persen di Sulsel

Dinas Perdagangan Sulawesi Selatan melansir bahwa ekspor hasil laut pada periode Januari-Juli 2020 dari segi nilai mengalami penurunan 10,07 persen dibanding tahun 2019 pada periode yang sama.

Nilai ekspor perikanan hingga Juli tahun 2020 sebesar 94,583,927.81 sedangkan nilai ekspor tahun 2019 sebesar 105,177,242.72 sehingga mengalami penurunan sebesar 10.07 persen.

Penurunan ekspor bukan hanya dari segi nilai, tetapi juga volume ekspor perikanan dari 58.219,73 ton pada 2019 sementara 50.625,66 ton di tahun 2020. Sehingga penurunannya mencapai 13,04 persen.

“Sebenarnya situasional saja, kalau biasanya produk perikanan kita bagus, kadang-kadang periode ini turun kemudian nanti bisa naik lagi, karena tergantung permintaan sih,” katanya.

Adapun komoditi perikanan ekspor Sulsel periode Januari-Juli 2020 yakni cumi-cumi, gurita, ikan laut segar, ikan terbang, kepala udang, kepiting hidup, kulit kerang, lumut laut, rumput laut, sirip ikan hiu, telur ikan terbang, teripang, tulang cumi-cumi dan udang segar.

Sementara lima komoditi ekspor perikanan terbesar seperti rumput laut, udang segar, gurita, telur ikan terbang dan ikan laut segar. Negara tujuannya yakni Amerika, Jepang, Cina, Korea Selatan dan di Eropa ialah Belanda.

Hanya saja, Nyoman Mahendra menepis bahwa penurunan yang terjadi akibat sulitnya pengiriman ke luar negeri di masa pandemi COVID-19.

Hal itu kata dia, terbukti dari pertumbuhan ekspor Sulsel secara keseluruhan pada Januari – Juni mengalami pertumbuhan 4,30 persen dengan total nilai Rp10,76 triliun atau 742,16 juta dollar Amerika.

baca juga : Menggali Potensi Ekonomi di Kepulauan Makassar dan Pangkep Saat Pandemi

 

Lalulintas komoditas hasil perikanan ekspor melalui BKIPM Makassar pada semester 1 tahun 2020. Sumber : BKIPM Makassar

 

Ia mengemukakan bahwa pemerintah tidak melakukan pembatasan ekspor ke luar negeri, kecuali komoditas tertentu seperti yang dilarang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sedangkan pada jenis biota laut yang selama ini dikirim dan diekspor di Sulsel dipastikan tidak mengalami hambatan begitu pula untuk negara utama tujuan ekspor.

“Jadi lancar saja. Selama pandemi ini tidak ada kendala, cuma permintaannya saja yang menurun dan bukan karena penjualannya tetapi permintaan dari negara tersebut memang menurun,” kata dia.

Penurunan permintaan banyak terjadi di cina, hingga Amerika, ini disebut situasional karena jika volumenya sudah mencukupi maka permintaan tentu harus ditahan terlebih dahulu dan ketika stoknya mulai berkurang maka barulah mulai akan minta produk impor lagi.

“Karena pandemi ini menghasilkan krisis global jadi menyebabkan daya beli masyarakat juga menurun, jadi permintaan dari negara-negara yang menurun,” sambungnya.

 

Nantikan peran pemerintah

Masyarakat khususnya warga pulau dan pesisir mulai menanti upaya kebijakan pemerintah pada upaya perbaikan ekonomi. Pemerintah diharapkan lebih bijak menentukan program untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, pasca pandemi COVID-19

Nelayan di kedua wilayah ini berharap permintaan semakin meningkat dan daya beli masyarakat kembali seperti semula dengan tatanan hidup baru yang kini mulai diberlakukan pemerintah di tengah aktivitas masyarakat.

“Biarkan pemerintah yang bergerak, karena kita tidak sampai di sana kalau bukan orang dari atas (pemerintah) yang turun langsung naikkan harga hasil laut,” kata Ansar.

Asa yang sama juga disampaikan Kahar selaku warga pesisir Pangkep. Menurutnya tidak kalah penting ialah peran pemerintah melakukan inovasi dalam membantu para nelayan dengan mengembalikan harga komoditi hasil laut.

Asa nelayan dengan merebaknya pandemi nyaris terkubur, tetapi di masa tatanan baru ini diharapkan pemerintah semakin memotivasi agar nelayan tidak lagi begitu kesulitan dalam melengkapi kebutuhan pangannya.

perlu dibaca : Pandemi di Pesisir Makassar : Pemkot Harus Kreatif Atasi Dampak (Bagian 5)

 

Kahar, seorang nelayan kepiting rajungan yang berdomisili di Dusun Biringkassi Dalam Desa Bulu Cindea Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan memperlihatkan jaring yang dipakai sehari-hari dalam proses menangkap kepiting. Foto : Nur Suhra Wardyah/Mongabay Indonesia

 

Sementara Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel, Sulkaf S Latif mengatakan ada dua hal yang harus terpenuhi dalam membantu nelayan yakni memenuhi kebutuhan dasar dan pasar penjualan hasil laut terbuka. Jika keduanya terpenuhi maka dianggap kesejahteraan nelayan akan mengikuti. Saat ini pelonggaran-pelonggaran mulai dilakukan pemerintah, seperti toko otak-otak sebagai panganan khas Sulsel yang berbahan dasar ikan kini kembali beroperasi.

Juga dipastikan harga ikan tenggiri segera kembali normal meski memang saat ini belum, apalagi produksi menurun. Jika di awal pandemi penurunan produksi mencapai 15 persen, sekarang sisa 3 persen.

Sulkaf mengatakan, DKP Sulsel hadir untuk memenuhi kebutuhan nelayan, seperti memperbaiki TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan seluruh sektor perikanan harus difasilitasi. Seperti perizinan dan surat-surat kapal melalui Dinas PTSP tidak boleh ada yang mempersulit nelayan.

Seluruh kebutuhan nelayan diusahakan termasuk saat pengusaha terhambat karena ekspor, maka akan menelusuri permasalahannya lalu mencari solusinya.

“Kenapa pandemi terasa karena tranportasi dan harga saja, kalau sekarang harga ikan sudah mulai kembali, tapi untuk ikan ekspor belum seperti tenggiri dan gurita. Sedangkan ikan lainnya sdh mulai menggeliat,” ujar Sulkaf.

Sangat penting bagi nelayan lanjut Sulkaf ialah terhadap pemenuhan fasilitas di lingkungannya seperti ketersediaan sekolah, puskesmas, air bersih dan sinyal telpon seluler.

 

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel, Sulkaf S Latif. Foto : Nur Suhra Wardyah/Mongabay Indonesia

 

Pemulihan ekonomi

Menurut Pengamat ekonomi Universitas Hasanuddin, Abdullah Sanusi pemulihan ekonomi pada sektor perikanan menjadi sangat penting mengingat dampak dari pandemi COVID-19 yang sangat luar biasa. Khususnya pada nelayan sebagai kelompok masyarakat yang dianggap rentan.

“Yang perlu melakukan intervensi untuk pemulihan ini tentu saja pemerintah apalagi dalam sektor penjualan dan pemasaran hasil laut. Pemerintah harus memberikan stimulus kepada nelayan, dapat dengan memberikan bantuan tunai hingga menciptakan peluang terhadap hasil laut yang dijajakan,” katanya.

Pada bagian penjualan dan pemasaran hasil laut, pemerintah dinilai sudah seharusnya memberikan dukungan, seperti menawarkan pasar tekhnologi bagi nelayan untuk mempermudah penjualannya.

Salah satunya dengan menciptakan peluang semisal mengampanyekan makanan sehat dengan konsumsi ikan atau berbagai program lainnya yang bisa menambah permintaan hasil laut.

Jika peluang tersebut telah tercipta, maka sangat dimungkinkan untuk dimanfaatkan, mendekatkan konsumen dengan nelayan. Tanpa mengabaikan kemasan, kualitas produk, hingga perhatian terhadap keberlanjutannya.

Selanjutnya memastikan aspek keamanan dan keselamatan nelayan dalam melaksanakan aktifitasnya di tengah pandemi yang belum juga melandai di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Seperti menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) dan infrastruktur kesehatan.

 

***

 

*Nur Suhra Wardyah, Jurnalis Kantor Berita ANTARA Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version