Mongabay.co.id

Model Perizinan Berbasis Resiko yang “Penuh Resiko” dalam UU Cipta Kerja

Kontroversi yang ditimbulkan oleh Omnibus Law UU Cipta Kerja belum juga kunjung reda. Salah satunya adalah mencuatnya respon publik dikarenakan pengesahannya yang mendadak beberapa hari lalu. Belakangan ini telah muncul isu mengenai pertanahan, ketenagakerjaan, dan juga UMKM. Namun, ada salah satu unpopular issue, yakni terkait perizinan.

Perubahan mendasar perizinan yang dicanangkan melalui UU ini adalah perombakan paradigma perizinan di Indonesia, utamanya perizinan berusaha. Perubahan tersebut dari model berbasis izin biasa (license approach) menjadi perizinan berbasis resiko (risk-based licensing). Tujuannya untuk menyederhanakan perizinan berusaha di Indonesia.

Singkatnya, pendekatan seperti ini membuat pemerintah memberikan izin berdasarkan tingkatan resiko dan ancaman lingkungan eksternal dari suatu kegiatan usaha. Konsekuensinya, pemerintah memberikan kepercayaan kepada tiap pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha sesuai standar risiko yang telah ditetapkan pemerintah.

Padahal, kita tidak bisa menjamin standar resiko yang ditetapkan pemerintah apakah sudah sesuai atau belum. Yang penting sih investor datang, bukankah begitu agenda pemerintah belakangan ini?

 

Foto udara kondisi Sungai Citarum, Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang diambil pada tahun 2018. Tampak airnya menghitam bercampur limbah. Dengan deregulasi perizinan dalam UU Ciptaker apakah kondisi lingkungan akan semakin memburuk? Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mari Tengok Dulu Negara Lain

Risk-based licensing bukanlah hal yang baru di dunia ini. Inggris menerapkan model ini dengan menyertakan sebuah risk assessment terhadap suatu usaha. Hal ini dinyatakan oleh Philip Hampton dalam laporannya pada tahun 2005 yang berjudul Reducing Administrative Burdens: effective inspection and enforcement.

Untuk menilai dan melakukan asesmen tersebut, terdapat lembaga The Financial Services Authority nantinya melakukan sebuah inspeksi (on-site visits) terhadap kegiatan usaha.

Lain cerita, Australia menerapkan risk-based licensing oleh Environment Protection Authority (EPA) terhadap resiko lingkungan. EPA mengeluarkan sebuah licensing guidelines yang menentukan tingkat resiko beserta rekomendasi penggunaan izinnya.

Namun, EPA juga menerapkan beberapa standard conditions yang wajib dipenuhi bagi semua pemegang izin, salah satunya adalah laporan tahunan dari pemegang izin jika terdapat insiden yang mengancam lingkungan.

Terdapat dua kondisi yang ditentukan, yakni kewajiban untuk memenuhi standard conditions dan dilaksanakan assessment lanjutan terkait risiko terhadap lingkungan.

Indonesia perlu melakukan kajian perbandingan penerapan dengan negara lain, khususnya kedua negara di atas. Indonesia perlu menerapkan risk assesment berbasis penilaian lapangan seperti yang dilakukan oleh Inggris untuk mempertimbangkan dengan tepat sifat bisnis serta semua faktor eksternal yang dapat mempengaruhi risiko kegiatan perusahaan.

Indonesia juga perlu mengadaptasi skema standard conditions seperti di Australia. Skema ini akan memberikan persamaan hukum bagi seluruh pemohon izin dan bertujuan memberikan proteksi untuk meminimalisir resiko pelanggaran, bahkan bagi kegiatan usaha dengan tingkat resiko paling kecil sekalipun.

Baca juga: Dua Perusahaan Cemari DAS Citarum Kena Hukum Rp16,26 Milyar

 

Pengaturan Perizinan Berbasis Risiko dalam UU Cipta Kerja

Penerapan Perizinan Berbasis Risiko ditekankan pada perizinan berusaha. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 6 – 12 UU Cipta Kerja (Dokumen Final Paripurna DPR, Oktober 2020). Perizinan berbasis risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat resiko kegiatan usaha meliputi kegiatan usaha berisiko rendah, menengah, dan tinggi.

Kategori Rendah, hanya memerlukan Nomor Izin Berusaha (NIB) saja sebagai legalitas pelaksanaan izin berusaha. Kategori menengah, memerlukan NIB dan Sertifikat Standar.

Sedangkan terhadap Kategori Tinggi barulah memerlukan NIB dan izin. Izin tersebut merupakan persetujuan Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.

Artinya, pemerintah juga harus membuat indikator dan sekaligus klasifikasi usaha. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam Catatan Terhadap Wacana Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (2020) menyatakan pengaturan perizinan berbasis resiko tidak dapat diterapkan dengan baik di Indonesia, karena penentuan resiko cenderung subyektif, mudah diperdebatkan, serta memerlukan banyak data dalam pemeringkatan resiko.

Lebih lanjut, terdapat beberapa ketentuan pengaturan dalam UU ini yang ditentukan akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah, Pasal 12 misalnya. Kita ketahui Peraturan Pemerintah merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah secara mandiri, tanpa adanya peran dari unsur/lembaga perwakilan rakyat.

Tentu hal ini menjadi masalah, karena tidak akan ada keterlibatan masyarakat dalam membuat keputusan.

Padahal, perizinan usaha akan sangat berdampak pada masyarakat, misalnya terkait dengan tanah dan lingkungan. Potensi konflik kepentingan juga dapat memengaruhi pembentukan peraturan pemerintah. Selain itu, dapat dilihat bahwa ada kontradiksi sebenarnya.

Satu sisi, UU ini dibuat dengan maksud untuk mengatasi banyaknya peraturan saat ini. Namun di sisi lain, UU ini malah mensyaratkan adanya berbagai aturan turunan.

Walaupun sebenarnya ada mekanisme pengujiannya ke MK dan MA jika terjadi pertentangan norma, namun itu tetap membutuhkan proses yang lama untuk menyelesaikannya. Justru hal ini akan merugikan usaha yang telah berjalan, karena harus menyesuaikan lagi dengan aturan yang baru.

Seharusnya detail pengaturan telah diletakkan dalam UU Cipta Kerja sekaligus. Hal ini untuk menjamin keterwakilan suara masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum.

Baca juga: Menyoal Penegakan Hukum Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan

 

Ilegal logging dan konversi lahan. Dalam era deregulasi aturan Omnibus Law, potensi pelanggaran terhadap izin tetap ada, bahkan justru bertambah lebih besar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dampak Terhadap Sektor Lingkungan

Perizinan berbasis resiko memiliki keterkaitan erat dengan usaha di sektor lingkungan. Tidak adanya ketentuan izin pada kategori usaha rendah dan menengah juga akan meniadakan syarat izin sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Bahkan, nomenklatur “izin lingkungan” dalam UU PPLH sejatinya telah diubah oleh Pasal 22 angka 1 UU Cipta Kerja dengan konsep Persetujuan Lingkungan. Walaupun memang, pemenuhan Amdal masih dipertahankan dalam memperoleh dasar uji kelayakan lingkungan hidup. Tetapi penyusunan dokumen Amdal pada Pasal 22 angka 5 UU Cipta Kerja sangat disederhanakan.

Amdal tidak lagi mendasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta prinsip pemberitahuan sebelum kegiatan dilaksanakan. Lebih lanjut, masyarakat yang dilibatkan hanyalah masyarakat yang terkena dampak langsung.

Padahal dalam Pasal 26 UU PPLH mengamanatkan pelibatan masyarakat pemerhati lingkungan hidup dan juga yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Artinya, penyederhanaan konsep perizinan juga mengakibatkan semakin minimnya partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup.

Selain itu, UU Cipta Kerja membuat pengelolaan izin sektor lingkungan terkesan sangat tersentralisir. Berdasarkan Pasal 22 angka 23 UU Cipta Kerja, kewenangan penetapan Amdal dan Uji Kelayakan Lingkungan dilakukan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah hanya sebagai pelaksana.

ICEL (2020) menyatakan bahwa kemampuan pemerintah pusat dari segi kuantitas dan akses ke daerah di seluruh Indonesia sangat terbatas untuk benar-benar mengetahui dan memahami kondisi lingkungan di lokasi, karena masalah lingkungan hidup sifatnya sangat site specific.

Masalah lingkungan seharusnya dipahami berdasarkan kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan, dan yang mengetahui tentu adalah unsur/lembaga yang paling dekat di daerah tersebut. Konsepsi perizinan seperti ini menderogasi makna dan semangat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terkandung dalam UU PPLH.

 

Perkebunan sawit, komoditas berbasis lahan andalan Indonesia yang sering disebut sebagai penyebab deforestasi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Terkait Mekanisme Pengawasan dan Evaluasi Perizinan

Permasalahan lain dapat kita lihat pada pasal pengawasan yang diatur dalam Pasal 12, yang berbunyi: “Pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan intensitas pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7)”.

Namun pasal ini tidak memberikan tata cara yang akan dilaksanakan untuk mengawasi kegiatan usaha. Lagi-lagi, mekanisme pengawasan tentunya akan diatur dalam suatu peraturan turunan.

Ringkasnya pasal pengawasan seakan-akan pembentuk undang-undang tidak memikirkan keberlakuan dari model perizinan ini nantinya. Niat untuk memberikan izin yang mudah, tidak diimbangi dengan melakukan pengawasan yang ketat. Padahal potensi pelanggaran terhadap izin tetap ada, bahkan justru bertambah lebih besar.

Salah satu konsep pengaturan yang dimungkinkan adalah pemberian sanksi administratif atau sanksi pidana. Tentu dengan tetap mempertimbangkan prinsip pidana sebagai ultimum remidium.

Masih banyak hal sebenarnya yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah bersama DPR dalam mengesahkan UU Cipta Kerja ini. Mengingat respon penolakan dari berbagai elemen masyarakat terus ada. UU ini seharusnya menjadi momentum perbaikan kerangka hukum Indonesia di bidang kegiatan usaha, khususnya dalam meningkatkan kualitas perizinan.

Tujuan deregulasi yang disematkan dalam UU Cipta Kerja harus juga diimbangi dengan tindakan pembentuk undang-undang yang mencerminkan pertanggungjawaban terhadap deregulasi tersebut. Jangan sampai deregulasi nantinya menimbulkan pengaturan yang membingungkan, atau justru mengamanatkan peraturan-peraturan baru.

Perubahan pendekatan terhadap pengaturan perizinan dalam Hukum Indonesia tidak terlepas dari tujuan menciptakan debirokratisasi dan deregulasi perizinan. Namun, Indonesia sendiri belum pernah melakukan perombakan pengaturan semasif ini.

Penerapan Perizinan Berbasis Resiko di satu sisi dapat menjadi pionir dan terobosan hukum jika memang berhasil menjawab masalah birokrasi di Indonesia. Namun di sisi lain, pendekatan ini dapat menjadi bumerang bagi kerangka hukum perizinan dan administrasi negara. Lingkungan akan menjadi sektor yang paling terkena dampak dengan adanya konsepsi perizinan seperti ini.

Kesimpulannya, pengusaha mendapatkan keuntungan double. Pertama, bagi usaha yang memiliki dampak resiko rendah dihilangkan dari kewajiban izin, sedangkan bagi yang masih memerlukan izin dimudahkan perizinannya.

Dimudahkannya perizinan dengan tidak diimbangi pengawasan akan membuat potensi pelanggaran terhadap lingkungan hidup meningkat. Sangat disayangkan sekali usaha untuk mengundang investasi, malah mengorbankan semangat kita untuk menjaga bumi.

 

Referensi 

Ady Rhea DA, “Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Ubah Konsep Perizinan”, diakses pada 8 Oktober 2020.

Environmental Protection Authority (EPA), 2016, EPA licencing guideline: environmental risk levels, Environment Protection Authority, Sydney.

Environmental Protection Authority (EPA), “Risk-based licencing”, diakses pada 8 Oktober 2020.

Feby Ivalerina dkk, 2020, Hukum dan Kebijakan Lingkungan dalam Poros Percepatan Investasi: Catatan Terhadap Wacana Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta, hlm. 6.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), “Catatan atas RUU Cipta Kerja”, diakses pada 9 Oktober 2020.

Philip Hampton, “Reducing Administrative Burdens: effective inspection and endforcement”, The Hampton Review – Final Report, diakses pada 8 Oktober 2020.

Rancangan Undang-Undang Nomor … Tahun … Tentang Cipta Kerja (Tambahan Lembaran Negara Nomor…). Dokumen Final Paripurna DPR, Oktober 2020.

 

 

* I Wayan Bhayu Eka Pratama, penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Artikel ini adalah opini penulis

 

 
Exit mobile version