Mongabay.co.id

Totalitas Widodo Ramono untuk Badak Sumatera

 

 

Nama Widodo Sukahadi Ramono tidak akan bisa dipisahkan dari konservasi badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis].

Menjabat Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia [YABI] sejak 1 Agustus 2009, Pak Wid biasa disapa, paham betul segala permasalahan satwa bercula dua. Terlebih, masa depan badak sumatera yang berada di Suaka Rhino Sumatera [Sumatran Rhino Sanctuary, SRS], Taman Nasional Way Kambas, Lampung.

Sebagai manusia, kita harus memahami pentingnya kehadiran satwa liar di kehidupan. “Begitu juga peranan badak sumatera, yang saat ini jumlahnya di hutan belantara tidak lebih 80 individu,” tuturnya, mengawali perbincangan.

Menangkarkan badak adalah pekerjaan super sulit, sebagaimana yang dilakukan di SRS Way Kambas. Di sini terdapat 7 individu, rinciannya 4 betina [Ratu, Bina, Rosa, dan Delilah], dan 3 jantan [Andalas, Harapan, dan Andatu].

Badak sumatera betina dewasa [mulai usia 7 tahun] tidak setiap waktu mau ditemui badak jantan dewasa [mulai usia 8-9 tahun]. Bila memang bukan waktunya untuk kawin, mereka berkelahi.

“Patut diketahui, jarak kelahiran anak badak sekitar 4-5 tahun. Sementara, bila badak betina dewasa tidak melakukan perkawinan, akan ada masalah pada organ reproduksinya, seperti tumor pada uterus.”

“Produktivitas yang lambat ini tentu saja harus menjadi kepedulian kita bersama,” lanjut lelaki kelahiran Blora, 4 April 1945.

Baca: Menolak Punah Badak Sumatera, Sumatran Rhino Sanctuary Diperluas [Bagian 1]

 

Widodo Ramono, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia [YABI], yang paham betul kondisi badak sumatera. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Widodo menuturkan, pembangunan SRS yang dimulai 1996 baru menunjukkan hasil tahun 2012, ditandai kelahiran Andatu. Berikutnya, 4 tahun berselang lahir Delilah yang memastikan bertambahnya populasi badak sumatera.

“YABI melakukan penangkaran dengan pendekatan semi in situ, agar badak cukup mendapatkan aneka pakan dan bisa dipantau kesehatannya. Tentunya, badak tetap berada di habitat alaminya.”

Untuk konsep penangkaran, menurut Widodo, awalnya ada yang berpandangan sebaiknya badak lebih baik hidup di hutan, rumah aslinya. Ini dikarenakan, pengalaman sebelumnya menunjukkan, penangkaran badak melalui upaya ex situ di sejumlah kebun binatang tidak berhasil. Tercatat, hanya Cincinnati Zoo, Ohio, Amerika Serikat, yang sukses membiakkan badak sumatera, lahirnya Andalas dan Harapan yang keduanya kini berada di SRS.

“Ternyata, kita bisa melakukannya. Terbukti, dua anak badak lahir di SRS Way Kambas dari pasangan yang sama, Andalas dan Ratu.”

Baca: Menolak Punah Badak Sumatera, Lampung Siap Menjadi Benteng Terakhir [Bagian 2]

 

Kepakaran Widodo Ramono terhadap konservasi badak sumatera tidak perlu diragukan lagi. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Tantangan

Bagaimana tantangan perlindungan badak sumatera mendatang?

Widodo melanjutkan, kita harus berpegang teguh pada Rencana Aksi Darurat [RAD] Badak Sumatera yang telah ditetapkan Dirjen KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] Nomor: SK.421/KSDAE/SET/KSA.2/12/2018, pada 6 Desember 2018.

Rencana ini harus dilakukan dengan tetap melakukan evaluasi. Harus ada sinergi antara pemerintah dengan semua pihak yang terlibat.

“Berkurangnya populasi jelas terjadi, berpacu dengan waktu. Selain menyempit dan rusaknya habitat yang cocok untuk badak dan ancaman perburuan liar, kehidupan badak itu sendiri yang terpisah dalam populasi kecil adalah faktor utama penyelamatan yang harus dilakukan.”

Baca: Menolak Punah Badak Sumatera, Kalimantan Timur Deklarasi Aksi Penyelamatan [Bagian 3]

 

Pengalaman Widodo Ramono terhadap dunia konservasi di Indonesia, telah ia jalani 50 tahun lebih. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Badak sumatera yang statusnya Kritis [Critically Endangered] hanya ditemukan di Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Way Kambas, serta di Kutai Barat dan Mahakam Ulu, Kalimantan Timur.

“Kita harus bergerak cepat, masih ada badak betina yang dapat memberikan keturunan. Kawasan konservasi untuk kehidupan badak sumatera dan satwa liar lainnya harus kita pertahankan, disertai pembinaan habitat,” papar ayah tiga putra, Rabu [7 Oktober 2020].

Dalam kondisi sekarang, pembangunan penangkaran badak seperti di SRS Way Kambas, sangat penting, sebagai tindak lanjut RAD Badak Sumatera. Sebagai catatan, Suaka Badak Kelian, di Kutai Barat, Kalimantan Timur telah dibangun dan ada badak betina Pahu sebagai penghuni pertama. Juga, pembangunan SRS di Aceh Timur, Aceh, tengah dilakukan.

“Kita harus bisa menghasilkan anak badak sebanyaknya dalam lingkungan yang aman, mengingat ancaman kepunahan jelas di depan mata.”

Baca: Menolak Punah Badak Sumatera, Aceh Terapkan Qanun Perlindungan Satwa [Bagian 4]

 

Urusan konservasi badak harus melibatkan banyak pihak, sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab bersama. Foto: Dok. Widodo Ramono

 

Dunia konservasi

50 tahun lebih berkiprah dalam dunia konservasi, merupakan jalan panjang yang dinikmati dan ditekuni Widodo.

“Kalau ingat masa SMP tahun 1958, rasanya baru kemarin.”

Saat itu, Widodo remaja main ketapel di belakang rumahnya, di Blora, Jawa Tengah. Ketika melihat burung sikatan, tanpa sengaja ketapelnya mengenai jenis itu, mati.

“Lalu saya kuburkan. Dari kejadian ini, saya ikut kegiatan Kepanduan, yang sekarang Pramuka, sebagai cara mencintai satwa dan lingkungan.”

Tamat SMP, Widodo melanjutkan sekolah ke SKMA [Sekolah Kehutanan Menengah Atas] di Bogor, Jawa Barat, pada 1961. Setelah lulus, Widodo muda bekerja di Taman Nasional Ujung Kulon sebagai penjaga hutan, Juni 1964. Di sini, dia banyak belajar bagaimana hidup di belantara dan bersosialisasi dengan masyarakat, termasuk juga bertemu Ir. Hasan Basyarudin Nasution, Direktur Pembinaan Hutan, yang saat itu mendampingi Dr. L.M.Talbot. Karir berkembang, Widodo ditarik ke Bagian Perlindungan Pengawetan Alam [PPA] di Bogor, sebagai Kepala Rayon.

Baca: Opini: Kelahiran Badak Sumatera yang Sungguh Membanggakan

 

Badak Harapan yang perkembangannya selalu diperhatikan di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Periode 1970, Widodo tercatat menemani Prof. Rudy Schenkel dan istrinya Dr. Lotte Schenkel Hulliger ke Ujung Kulon. Tentu saja terkait penelitian badak jawa. Saat itu jabatannya sudah Kepala Seksi PPA Ujung Kulon.

“Untuk badak, urusan utama yang harus dilakukan adalah perlindungan dan pengelolaan habitat,” kenang lelaki yang hobi mancing ini. “Tanpa perlindungan “menerus” sebagaimana ucapan Prof. Schenkel, peneliti badak dunia, badak tidak akan selamat,” lanjutnya.

Baca: Harapan, Badak Sumatera yang Patut Kita Banggakan

 

Andatu di masa mendatang diharapkan tumbuh menjadi badak sumatera yang tangguh. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Widodo pun tidak pernah lupa pengalaman luar biasanya bertemu pemburu badak di Ujung Kulon. Medio Oktober 1971, dia memimpin sebuah tim [4 orang] untuk menghitung jejak tapak badak jawa.

Hingga pada sore hari, saat di pinggir muara Sungai Cibanowoh sembari memantau situasi, mereka melihat Sarman dan Bisrun yang membawa senjata api. Sarman santer dikenal kebal peluru dan senjata tajam.

“Saat di sungai itu, kami sergap mereka. Situasi mendebarkan, karena ada perkelahian. Mereka kami tundukkan dan proses hukum dilakukan. Masing-masing mendapat hadiah pidana 5 tahun penjara,” ujarnya.

Dari kejadian itu, timbul kepercayaan diri para penjaga hutan Ujung Kulon, untuk tidak takut dengan pemburu. Terlebih pada Murjai yang paling ditakuti, terbukti bisa diamankan juga.

“Perburuan badak di Ujung Kulon pada 10 tahun berikutnya tidak terdengar lagi, karena komplotannya sudah dibasmi. Keamanan yang terjamin, pada masa itu juga meningkatkan cacah jiwa badak dua kali lipat.”

Baca juga: Andatu dan Delilah, Badak Sumatera yang Kian Mencuri Perhatian di Way Kambas

 

 

 

Jejak badak sumatera

Tahun 1984, Widodo Ramono pindah tugas, menjadi Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] II Tanjung Karang, Lampung, yang meliputi 4 provinsi.

Di Way Kambas, dia sempat melihat tapak badak. Bukan hanya itu, ada juga bekas kotoran dan urine. Dasar ini, telah dipelajarinya selama di Ujung Kulon.

“Keyakinan saya terbukti. Tahun 1987, tim dari Inggris yang tengah penelitian melihat badak di tepi Sungai Way Kanan. Dari sini, orang percaya bahwa badak sumatera masih ada di Way Kambas.”

Tahun 1989, Widodo pindah ke Jakarta sebagai Kepala Sub Direktorat Kawasan Konservasi Jenis, Direktorat Pelestarian Alam, dengan tugas utama mengurus konservasi jenis satwa. Dia banyak berhubungan dengan rekan-rekan dari CITES dan juga IUCN Species Group.

Demi kepentingan membantu penyelamatan Ekosistem Leuser dan hutan di Aceh, Widodo pun dipercaya menjadi Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, pada 12 Mei 1996. Kemudian, menjabat Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Aceh, tahun 1997.

Berikutnya pada 1999, dia dipercaya sebagai Sekretaris Direktoral Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam [PKA] dan tahun 2001, menjadi Direktur Taman Nasional dan Konservasi Kawasan [TN-KA].

Sejak 2003 hingga pensiun 2005, Widodo menjabat Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati di Kementerian Kehutanan yang sekarang kita kenal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

Widodo Ramono saat peresmian SRS II di Way Kambas, Lampung, 30 Oktober 2019. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

“Ada inspirasi penting yang saya dapatkan sewaktu mengikuti pendidikan “School of Environment and Conservation Management” di Bogor tahun 1979, yang masih relevan hingga sekarang,” ucapnya.

Saat itu, Widodo muda mengenal teori pertumbuhan satwa liarnya Aldo Leopold, peneliti yang juga ahli manajemen satwa liar asal Amerika. Pakar ini menyatakan, pertambahan populasi satwa sama dengan potensi biotik [kemampuan biotik untuk berkembang biak] dikurangi krisis lingkungan.

Krisis lingkungan dapat berbentuk perilaku satwa, pengaruh lingkungan [panas atau dingin], pengaruh habitat yang baik atau buruk, juga faktor manusia [perburuan, pembakaran hutan, dan perubahan habitat].

“Ternyata bila dilihat saat ini, ilmu tersebut dapat diterapkan dalam kondisi lingkungan kita. Termasuk, dalam hal menjaga kehidupan badak sumatera.”

 

Delilah terus dipantau kesehatannya yang diharapkan di masa mendatang dapat memberikan keturunan. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Kepakaran Widodo terhadap badak sungguh diakui dunia internasional. Tahun 1991, Widodo mendapatkan gelar Knight of the Golden Ark dari Golden Ark Foundation pimpinan Prince Bernhar.

Pada 2014, Widodo memperoleh penghargaan Fred M. Packard International Parks Merit dari IUCN World Commission on Protected Areas, atas perannya sebagai ahli badak dan keberhasilannya menjalankan Rhino Protection Unit [RPU].

Setahun berselang, September 2015, Widodo dianugerahi Sir Peter Scott Award for Conservation Merit dari IUCN Species Survival Commission. Penghargaan tertinggi bidang konservasi ini disematkan atas pengabdiannya menyelamatkan badak jawa dan badak sumatera dari kepunahan.

Dari dalam negeri, Widodo mendapat bintang Satyalencana Wira Karya dari Pemerintah Republik Indonesia, atas komitmennya menyelamatkan badak dari ancaman kepunahan. Penghargaan yang diberikan langsung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, pada 17 Agustus 2017, di Manggala Wanabakti, Jakarta.

 

Suaka Rhino Sumatera, Way Kambas, Lampung, ini dipagar dan dialiri listrik. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Puaskah Widodo terhadap capaian prestasi itu? Tentu saja tidak. Atas nama cinta dan tanggung jawab, Widodo akan terus bergerak, melindungi satwa langka pemalu itu dari segala belenggu.

Lalu, apa manfaat badak sumatera bagi kita semua? “Ini jawaban logisnya,” ungkapnya.

Pertama, alangkah ruginya Bangsa Indonesia bila tidak bisa melindungi satwa liar kebanggaannya. Kedua, dari segi lingkungan badak sangat berguna, karena dari kotorannya akan tumbuh benih baru di hutan yang otomatis meregenerasi pepohonan. Buktinya, sekitar 12-15 jenis tanaman tumbuh dari kotoran badak yang ada di SRS Way Kambas, Lampung.

Cara makan “cafetaria” badak, yaitu berjalan sambil memangkas ranting dengan gigi seri beserta merundukkan pohon pakan, terbukti menghasilkan tunas-tunas baru. Metode ini, sungguh bermanfaat untuk peremajaan hutan.

Ketiga, kita diapresiasi skala global bila mampu melestarikan badak sumatera, yang tidak ada di manapun di dunia kecuali di Indonesia.

Cukup jelas?

 

 

Exit mobile version