Mongabay.co.id

Petani Jeruk dan Kopi Kintamani Menyemangati Diri di Tengah Pandemi

 

Berkendara ke arah Kintamani pada musim panen jeruk memesona mata dan jiwa. Di kanan dan kiri jalan, kebun-kebun dengan pohon jeruk terlihat merunduk keberatan menyangga gelantungan jeruk.

Ni Wayan Suni sumringah menyapa pengunjung warung jeruknya di jalan raya Denpasar-Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Ia sudah mulai panen puluhan kilogram sampai puncak panen September-Oktober ini.

Jeruk adalah hasil pertanian yang membuat Kopi Kintamani mendapat sertifikat indikasi geografis sebagai kopi khas bercitarasa jeruk. Jeruk dan kopi ditanam di lahan yang sama.

Dengan ramah, Suni menunjukkan tiga jenis jeruk yang ditanam dan dijualnya, Siam Kintamani, Keprok, dan Slayer. Warungnya berlokasi di pinggir jalan raya. Sementara rumah dan kebunnya ada di belakang warung. Siam terasa lebih manis dibanding dua lainnya, kulitnya lebih tipis berwarna kuning-oranye. Sementara dua jenis lainnya sedikit lebih asam dengan kulit luar lebih tebal. Slayer berwarna lebih cerah, kemerahan, namun daging buahnya lebih sedikit.

baca : Begini Mitigasi Dampak Pandemi ala Desa Tembok Buleleng Bali

 

Aneka jenis Jeruk Kintamani yang panen raya September. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Suni mengatakan walau masa pandemi, ia masih berharap bisa menjual hasil panen sampai luar Bali. Saat ini ia sedang membuat gudang untuk packing dan meningkatkan kualitas sortiran.

Ia menunjukkan calon gudangnya. Wayan Ariana, suaminya sedang mengawasi tukang usai membersihkan kebun. Keduanya mempersilakan melongok kebun.

Jenis jeruk Siam yang paling banyak ia tanam bersama suaminya di lahan sekitar satu hektar. Mereka memperkirakan hasil tahun ini sekitar 25 ton. Dalam satu tahun, bisa dua kali panen, akhir tahun dan awal tahun berikutnya. Jumlah pohon jeruknya sekitar 9.000 tegakan, selang-seling dengan pohon kopi sebanyak 3.000.

Jarak pohon satu sama lain sekitar 3 meter, agar tanaman mendapat cukup sinar matahari. Jeruk tumbuh lebih tinggi dibanding kopi, namun dahannya tidak terlalu lebat, jadi seperti penaung.

Ariana mengingat, sebelum memiliki armada truk, ia adalah supir truk Jawa-Bali untuk menjual hasil panen sekitar desanya ke luar Bali, seperti ke Jakarta, Cilacap, dan Malang.

Ia menyebut persaingan komoditas jeruk cukup baik. Terlebih jeruk Lumajang yang juga disukai pasar tidak panen bersamaan dengan Kintamani. “Jeruk Lumajang habis bulan tujuh, kita puncak panen bulan sembilan,” serunya. Pesaing lain menurutnya jeruk Pontianak.

Seiring bertambahnya pengetahuan soal komoditas dan pasar jeruk, pria tengah baya ini hendak meningkatkan hasil panen jeruk Kintamani. Salah satunya dengan menambah porsi pupuk organik. Ia mendapat subsidi pupuk organik dari kelompok tani, ditambah dengan kotoran kambing beli dari Bondowoso.

Menurutnya kotoran kambing lebih bagus untuk meningkatkan kualitas tumbuh pohon. Rata-rata dari satu pohon hasilnya 30 kilogram. “Susah kalau ada serangan lalat buah, perlu pestisida. Kalau pupuknya cukup organik,” keluhnya.

Lalat terlihat cukup banyak beterbangan di kebun. Di sudut lain, ada onggokan buah-buah jeruk yang terlalu matang di gundukan kebun.

Beberapa pohon mau tumbang saking beratnya jeruk yang bergantungan di dahannya. Arjana menopangnya dengan tiang-tiang bambu.

baca juga : Rizal Fahreza, Pemuda yang Bangga Menjadi Petani Jeruk

 

Pohon jeruk hampir tumbang saking berat bebannya dan harus disangga bambu. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Jeruk mulai berbuah saat pohon berusia empat tahun, dan produktif sampai 15 tahun. Ketika pohon jeruk berusia sekitar 8 tahun, ia menanami kopi. Alasannya, ketika pohon jeruk mulai tak produktif atau mati, maka kopi sudah besar dan siap jadi cadangan hasil taninya.

Jeruk yang mati, langsung diganti dengan bibit baru di sebelahnya. Harga kopi dan jeruk fluktuatif, tergantung pasokan dan peristiwa seperti pandemi ini. Panen jeruk setiap tahun dua kali ini cukup direspon warga Bali yang juga merayakan hari raya Galungan dan Kuningan. Warga memerlukan buah-buahan yang banyak, minimal puluhan kilogram untuk dua hari raya ini sebagai bagian dari sesajen atau persembahan.

Harga jeruk yang cukup terjangkau sekitar Rp5000-12 ribu/kg sesuai kualitas membantu warga. Selain jeruk, buah lokal lain di Bali yang jumlah panennya melimpah adalah salak, namun hasil panen salak kurang konsisten. Selain itu, biasanya warga membeli buah-buah impor seperti pir, apel, dan anggur karena warnanya cukup mencolok menambah warna-warni sesajen.

 

Nilai Tukar Petani menurun

Kepala Dinas Pertanian Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana mengatakan selama tujuh bulan pandemi ini sekitar 200 ribu KK yang bekerja di sekor pertanian di Bali terdampak dan 50% di antaranya terdampak langsung. Karena sebagian petani di Bali adalah petani penggarap dan buruh tani. “Pekerjaan sampingan juga tidak ada,” ujarnya.

Masalahnya adalah kesulitan pemasaran terutama pangan, hortikultura, dan peternakan. Sebagiannya diserap hotel, restoran, swalayan yang berkurang drastis selama pandemi. Nilai Tukar Petani yang jadi indikator kesejahteraan di bawah 100, karena daya beli turun. “Warga hanya fokus di pangan pokok seperti minyak, beras, ikan. Konsumsi sayuran dan buah turun,” lanjut Wisnu.

Menurut data BPS, Indeks Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) Provinsi Bali bulan September 2020 tercatat 93,20. NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. Menunjukkan perbandingan harga yang diterima dengan harga yang dibayar petani.

Ia menyebut solusi pemasaran yang sedang didorong adalah antar pulau karena ekspor mulai turun dan pasar gotong royong yang dihelat di tiap kantor pemerintah. Namun per 18 September, pasar ini terhenti karena kasus Covid-19 di Bali menanjak, dan kembali ada kebijakan pembatasan kegiatan. Misalnya PNS diizinkan ke kantor hanya 25% secara bergantian.

perlu dibaca : Begini Cara Petani Buah di Lamongan Berbagi Keberkahan

 

Jeruk Siam mendominasi hasil pertanian buah-buahan di Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Produksi Meningkat

Dikutip dari laporan Statistik Hortikultura Provinsi Bali 2019 oleh BPS, pada 2019 jeruk Siam merupakan buah-buahan yang tercatat paling banyak dihasilkan. Sedangkan dua tahun sebelumnya, 2017–2019, komoditas yang paling banyak dihasilkan adalah pisang.

Buah-buahan lain lima besar produksi terbanyak selama 2017-2019 adalah mangga, salak, dan durian. Produksi jeruk siam selama tiga tahun terakhir terus mengalami kenaikan. Pada 2017 produksi jeruk siam tercatat sebesar 168.387 ton.

Meningkat menjadi 224.671 ton pada 2018 dan 348.756 ton pada 2019 atau dua kali lipat dibandingkan produksi 2017. Dari 2015–2019, Kabupaten Gianyar dan Bangli menjadi penghasil jeruk siam terbesar di Bali.

Sementara itu produksi pisang pada 2019 tercatat lebih rendah dari produksi tahun 2017-2108. Produksi 2019 hanya 231.794 ton padahal dua tahun sebelumnya mencapai 238.805 ton pada 2018 dan 273.352 ton pada 2017. Sama dengan jeruk siam, buah mangga dan salak juga memiliki pola kenaikan produksi selama tiga tahun terakhir.

Produksi mangga pada 2017 tercatat 56.522 kemudian naik jadi 62.127 ton pada 2018 dan 65.693 ton pada 2019. Sementara produksi salak 2017 tercatat sebesar 22.602 ton dan terus mengalami peningkatan pada dengan produksi masing-masing sebesar 23.603 ton (2018) dan 25.640 ton (2019).

Hingga awal Oktober ini, mobil-mobil pribadi yang menjual jeruk masih terlihat banyak di pinggir jalan raya seputar Kota Denpasar. Saat puncak panen pada September, harga rata-rata yang tertulis Rp5000 per kilogram.

Jeruk Siam Kintamani memiliki rasa asam dan manis seimbang. Warna kulit luarnya lebih cerah yakni paduan kuning-jingga-merah dibanding jeruk Lumajang yang kehijauan. Kedua komoditas memiliki unggulan tersendiri. Misalnya Lumajang memiliki ukuran lebih besar dan cukup manis.

Salah satu jeruk unggulan di Bali yakni Keprok Tejakula sudah jadi masa lalu karena terserang hama. Padahal jeruk ini memiliki ciri khas rasa dan bertahan subur di dataran kering dekat pesisir laut.

 

Exit mobile version