Mongabay.co.id

Pandemi Corona, Nelayan Sulsel Tidak Bisa Terabaikan (bagian 2)

 

Warga pesisir dan kepulauan merupakan elemen masyarakat yang tidak dapat diabaikan di tengah merebaknya pandemi COVID-19, sebab dampaknya telah memukul telak seluruh sendi-sendi kehidupan.

Terlebih di Indonesia yang merupakan negara kepulauan, tentunya memiliki banyak penduduk yang bermukim di pesisir dan menghuni ribuan pulaunya dengan mayoritas berprofesi sebagai nelayan.

Profesi ini terus memupuk asa meski berada di tengah pandemi, nelayan menggantungkan hidup di laut lepas sebagai pemasok nutrisi protein bagi penduduk Indonesia.

Penyebaran COVID-19 hingga kini masih mengancam kesehatan dengan imun yang harus dalam kondisi tetap sehat dan prima. Lebih dari itu, dampak yang ditimbulkan jauh lebih besar terhadap sosial dan ekonomi masyarakat, khususnya bagi para nelayan.

Menurut pengamat ekonomi Universitas Hasanuddin, Abdullah Sanusi, terdapat sekitar lebih dari 6 juta orang yang terlibat dalam sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Sehingga dengan jumlah sebesar ini, sulit mengabaikan dampak yang diakibatkan virus corona kepada mereka.

“Nelayan memang salah satu yang terkena dampak paling serius dalam kondisi pandemi saat ini, pemulihan ekonomi di masa tatanan hidup baru sudah selayaknya memperhatikan mereka,” kata Abdullah yang ditemui akhir Agustus 2020.

baca : Derita dan Asa Nelayan Sulsel di Tengah Pandemi COVID-19 (bagian 1)

 

Jejeran perahu nelayan yang disebut Jolloro bertengger di bibir pantai Pulau Barrang Caddi Makassar. Foto : Nur Suhra Wardyah/Mongabay Indonesia

 

Hanya saja, pada kenyataannya pandangan pengamat ini tidak selaras dengan program pemerintah dalam mempertahankan pendapatan para nelayan di masa pandemi. Mulai dari tingkat provinsi hingga kelurahan.

Berlakunya SOP (Standar Operasional Prosedur) disebut-sebut alasan utama pemerintah seperti Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Selatan belum bisa maksimal dalam merespons dampak virus corona bagi nelayan.

Rentetan program pemerintah daerah harus disertai perencanaan seperti diusulkan dan disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga program yang telah dirumuskan DKP Sulsel dalam menanggapi dampak pandemi bagi nelayan tidak bisa direalisasikan.

Hal ini diakui oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, Sulkaf S Latif. Kata dia, pandemi COVID-19 merupakan bencana, sementara pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) serta Dinas Kelautan Perikanan tidak memiliki anggaran dalam merespons bencana tersebut, semua harus melalui perencanaan.

“Jadi semua usulan puluhan miliar rupiah di bidang perikanan tidak boleh dipakai untuk anggaran COVID-19, harus masuk di anggaran perubahan. Saya harus membantu sesuai dengan kewenangan saya,” ujarnya.

Bukan itu saja, perencanaan program yang telah dirumuskan pada tahun 2019 untuk 2020 oleh DKP seperti bantuan jaring kepada kelompok nelayan hingga kini belum juga direalisasikan. Refocusing anggaran setiap organisasi perangkat daerah (OPD) yang terus terjadi menjadi alasannya.

APBD DKP Sulsel yang sebelumnya direncanakan sekitar Rp75 miliar di tahun 2020 dialihkan untuk mengintervensi langsung dampak pandemi COVID-19 sehingga tersisa Rp25 miliar, dana ini saja masih dalam proses pengaturan pembelanjaan APBD DKP Sulsel.

Mediasi dengan pihak ke tiga menjadi jalan yang ditempuh DKP Sulsel dalam membantu meringankan beban warga pulau. Menghadirkan berbagai sponsor untuk pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan, termasuk berbagai alat pencegahan COVID-19.

“Kalau ada yang minta paling saya bilang ke Dinsos saja. Di sektor perikanan itu kalau normal, tanpa kita bantu pun akan ada jalan dengan sendirinya karena orang-orang tidak berhenti konsumsi ikan, hanya saja memperbaiki dari segi harga dan akses penjualannya,” jelas Sulkaf.

baca juga : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Dari Penggantian Wali Kota hingga Belitan ‘Patron Client’ Perikanan  [Bagian 1]

 

Nelayan menarik perahunya setelah melaut di perairan Pulau Barrangcaddi, Kota Makassar. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Tahun 2019, berdasarkan data statistik pendapatan nelayan di Sulsel yakni 107,62 Nilai Tukar Nelayan (NTN) dan 104,13 Nilai Tukar Pembudidaya Ikan (NTPi), yang berarti terjadi kelebihan pada pendapatan nelayan. Sedangkan jika dibanding tahun 2020, dua tolak ukur produksi tersebut terjadi penurunan mulai Januari hingga Februari ditambah lagi dampak COVID-19 dan musim ombak terjadi hingga April.

Mei hingga Juni 2020, baru terlihat peningkatan dengan tren produksi mulai membaik yakni 97,99 NTN dan NTPi berada di angka 96,24.

Program DKP malah dianggap sudah efektif sebab mulai Mei hingga Juli, sektor yang paling memberikan sumbangsih terhadap perekonomian nasional berasal dari perikanan dan ekspor ikan paling tinggi, utamanya di Sulsel.

 

Tanpa program

Bantuan dampak pandemi yang dipusatkan pada instansi tertentu seperti Dinas Sosial menjadi alasan instansi pemerintah lainnya seperti pihak kelurahan dan kecamatan tidak memiliki program dalam mengupayakan bantuan kepada nelayan untuk bertahan di masa pandemi COVID-19.

Seperti Kecamatan Sangkarrang Kota Makassar, tidak memiliki program bantuan kepada nelayan selama pandemi, refocusing anggaran juga menjadi alasannya. Terlebih pemenuhan bantuan ketahanan pangan dinilai sudah cukup berlebihan di masa krisis kesehatan ini.

“Bantuan secara spesifik tidak ada untuk nelayan. Kita tidak punya anggaran seperti itu untuk memberi bantuan kepada nelayan. Kecamatan tidak punya, dan sekarang anggaran semua dipangkas,” kata Camat Sangkarrang Firnandar.

Meski demikian, Pemerintah Kecamatan Sangkarrang tidak tinggal diam dengan mengupayakan bantuan dari berbagai pihak.

Seperti berusaha mencari sumbangan dari Pelindo berupa sembako, PKK Sulsel hingga ke Wali Kota Makassar ditambah bantuan dari dinas sosial.

“Kecamatan Sangkarrang itu lumayan banyak bantuan yang masuk, ada juga dari Kejaksaan. Banyak bantuan yang masuk selama pandemi ini,” tambah Sitti Subaedah, Sekretaris Kecamatan Sangkarrang Makassar.

perlu dibaca : Menakar Ketahanan Pangan di Pulau Kodingareng dan Pajjenekang di Masa Pandemi Corona

 

Seorang nelayan Pulau Langkai, Makassar, Sulsel yang pendapatannya menurun drastis terdampak pandemi COVID-19 Kini mereka bergantung pada pencarian ikan telur terbang yang hanya bisa diusahakan oleh nelayan berkapal besar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Bukan hanya warga pulau, warga pesisir yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan juga merasakan dampak pandemi COVID-19. Sebab tentu ini mempengaruhi pendapatan masyarakat setempat. Seperti warga di Desa Bulu Cindea Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan.

Warga Desa Bulu Cindea lebih banyak mengadu nasib ke laut lepas sebagai petani tambak, nelayan tangkap ikan dan nelayan kepiting rajungan.

Banyak dari mereka mengeluhkan sulitnya penjualan dan terbatasnya pengiriman sehingga ini dipastikan mempengaruhi pembelian hasil laut oleh para nelayan.

Menanggapi hal itu, Pemerintah Desa Bulu Cindea menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebanyak Rp300 juta untuk 166 rumah tangga selama tiga bulan dengan jumlah Rp600 ribu setiap bulannya.

“Kita hanya bisa memberikan bantuan dari pemerintah berupa BLT. Alhamdulillah bantuan ini efektif, sangat bermanfaat bagi mereka. Ada juga bantuan dari Dinas Kelautan berupa alat tangkap,” kata Pjs Kepala Desa Bulu Cindea, Haji Muhammad Ali.

Alat tangkap itu diberikan kepada lima kelompok sekitar sebulan lalu. Dua kelompok di Dusun Biringkassi dan tiga kelompok di Dusun Jollo Desa Bulu Cindea.

Pemerintah Desa Bulu Cindea sebelumnya telah merencanakan bantuan serupa (alat tangkap), namun karena adanya pergeseran anggaran untuk dampak pandemi COVID-19 sehingga perencanaan ini akan direalisasikan pada 2021 mendatang.

 

Kahar, seorang nelayan kepiting rajungan yang berdomisili di Dusun Biringkassi Dalam Desa Bulu Cindea Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan memperlihatkan jaring yang dipakai sehari-hari dalam proses menangkap kepiting. Foto : Nur Suhra Wardyah/Mongabay Indonesia

 

***

 

*Nur Suhra Wardyah, Jurnalis Kantor Berita ANTARA Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version