Mongabay.co.id

Warga Tagih Plasma dan Keluhkan Perusahaan Sawit Cemari Sungai di Papua

 

 

 

 

Warga Kampung Garusa (Jayapura) dan Kapitiau (Sarmi), Papua, mengeluhkan soal pemenuhan kebun plasma dan pencemaran sungai oleh perusahaan sawit, PT Rimba Matoa Lestari (RML).

Warga meminta, pemerintah segera menyelesaikan masalah mereka seperti meninjau kembali hak guna usaha (HGU) perusahaan, mendesak sediakan kebun plasma 20%. Juga penyelesaian kerusakan lingkungan berupa pencemaran dan erosi.

RML mendapat izin pelepasan kawasan hutan seluas 29.588,70 hektar pada tahun 2000. Perusahaan ini anak usaha Agrindo Group, bagian dari Raja Garuda Mas. Menteri Kehutanan keluarkan izin melalui SK Nomo 185/Kpts-II/2000. Masyarakat menandatangani pelepasan hak ulayat pada 2010 di Riau.

Perusahaan membawa beberapa tokoh masyarakat untuk kunjungan ke Riau yang disebut-sebut sejahtera karena perkebunan sawit.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ BPN menerbitkan HGU RML seluas 17.000 hektar. Sejak 2011, luas lahan 5.000 hektar. RML berencana memperluas lahan, namun masih menuai penolakan masyarakat karena ketidakjelasan plasma.

David Sobot, perwakilan masyarakat Garusa mengatakan, masyarakat seharusnya mendapat plasma masing-masing empat hektar dilengkapi sertifikat. Namun, pada 2015, perusahaan menawarkan pilihan lain.

Dia menyebut, istilah masyarakat 14 suku “makan dari satu piring,” hak warga dari beberapa suku disatukan dalam satu skema. Menurut dia, waktu itu perusahaan menyebut sebagai skema HGU.

“Katanya manfaat dari HGU ini lebih bagus. Maka, kami mau hingga setuju. Begitu dia sudah berlaku sekarang, manfaat dari HGU apa yang kita dapat adalah sakit hati. Hasil plasma yang kami dapat hanya satu bulan Rp100.000 per keluarga,” katanya dalam diskusi difasilitasi Walhi Papua, di Kotaraja, Jayapura, September lalu.

RML membagi uang tunai ke warga Rp100.000 perbulan per keluarga sebagai pengganti kebun plasma. Uang ini dibagikan dua kali dalam setahun.

“Saya merasa monitoring pemerintah sama sekali tidak berlangsung kepada kami. Siapa yang mau perhatikan rambu-rambu di sana untuk perusahaan, agar dapat melakukan kejujuran dan keadilan buat kami?”

Yohanes Ters, warga lain mengatakan, ada kesepakatan skema HGU tawaran perusahaan itu hanya berlaku lima tahun. Jadi, warga ingin meninjau kesepakatan itu dan meminta perusahaan membagi plasma empat hektar kepada masyarakat.

“Waktu itu, di Balai Kampung kami katakan, kami janji lima tahun. Mulai 2015 sampai 2020 kami cabut. Cabut izin kembali ke plasma. Sudah ada perjanjian di sana.”

Junaidi, Kepala Seksi Land Reform Kantor Wilayah ATR/BPN Papua menyatakan, sebutan HGU dalam aturan ATR/BPN tidaklah seperti yang perusahaan sampaikan kepada warga. HGU, katanya, merupakan izin pemanfaatan lahan pemerintah kepada perusahaan.

HGU, mencakup kebun inti kelolaan perusahaan dan kebun plasma masyarakat dengan masa berlaku sampai 50 tahun.

“Sesuai aturan Permentan, RML memiliki kewajiban membangun plasma 20% dari areal kebun.”

Junaidi meminta, masyarakat melaporkan resmi masalah ini ke BPN/ATR Kabupaten Jayapura dengan tembusan ke BPN/ATR Papua.

Karel Yarangga, perwakilan Dinas Pertanian dan Perkebunan Papua mengatakan, RML sudah membuka plasma sekitar 900 hektar.

Soal realisasi plasma yang belum tuntas, Dinas Pertanian dan Perkebunan Papua sudah memanggil manajemen RML bersama pengurus koperasi serta tokoh masyarakat.

Mengapa plasma belum ada?

“Dari 14 suku kalau saya tidak salah, baru dibangun plasma di atas lahan milik empat suku,” kata Junaidi.

 

Pabrik pengolahan buah sawit perusahaan. Foto: Walhi Papua

 

Berdasarkan informasi, katanya, ada kesepakatan di Kabupaten Jayapura. Seraya menunggu pembangunan plasma lanjutan di luar empat suku, Bupati Jayapura, memfasilitasi yang belum mendapat bagian diatur dalam kesepakatan soal pemanfaatan bersama oleh semua suku. “Ini hal-hal yang disampaikan dalam pertemuan itu.”

Kepala dinas, kata Karel, sudah memberi arahan agar RML menulis dengan rapi semua yang disampaikan dalam rapat. Kemudian hasil rapat disampaikan dalam satu forum yang mempertemukan masyarakat dan perusahaan. Walhi juga bisa terlibat dalam pertemuan ini.

Dinas Pertanian dan Perkebunan Papua, katanya, lakukan penilaian usaha perkebunan (PUP). Dalam waktu dekat, dinas akan berkunjung ke wilayah RML. Laporan dari masyarakat, katanya, akan jadi variabel dalam penilaian.

  

Pencemaran lingkungan

Dalam diskusi itu, warga Kampung Kapitiau juga menyampaikan keluhan kerusakan lingkungan di daerah mereka. Kampung terletak di Muara Kali Poroway, Distrik Bonggo Timur, Kabupaten Sarmi ini mulai tergerus banjir. Ada juga kasus kepiting, bia, dan ikan-ikan di kali mati.

Ati Buara, tokoh perempuan dari Kampung Kapitiau mengatakan, perempuan d kampung itu sudah turun-temurun mencari makanan di Kali Poroway. Mereka mengambil untuk makan atau jual.

“Sekarang, kami susah karena limbah dari sawit turun. Akhirnya, hasil kami rusak. Kepiting mati, bia, ikan semua mati. Kami mau ke mana? Kami datang kepada bapa, tolong perhatikan kami. Limbah atau pembuangan sampah dari perusahaan sawit bisa dibuang ke mana ka? Yang penting tidak ke kali kami.”

Soal bukti kerusakan dan pencemaran ini, Benny Buara, perwakilan warga Kapitiau mengatakan, siap menunjukkan bukti kalau tim pemerintah turun meninjau lokasi.

“Areal kita yang di pinggir pantai ini, mulai dari generasi ke generasi tidak pernah banjir seperti itu. Setelah kehadiran perusahaan, kebun sawit ini buat drainase enam meter dengan kedalaman tiga meter.”

“Kita bisa bayangkan bagaimana dorongan air oleh perusahaan masuk ke sungai. Debit air jelas lebih besar dari kemampuan muara sungai untuk menyalurkan air.”

David Sobor, warga Garusa membenarkan, pencemaran sungai terjadi. Sepanjang kali besar tempat limbah dibuang, ikan dan buaya jarang terlihat.

“Ini terjadi di masa sekarang. apalagi akan datang. Ini hal-hal yang negaitf, jadi jangan anggap remeh. Saya minta dengan hormat, ini harus diperhatikan pemerintah.”

Andre Rumere, perwakilan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua mengatakan, dinas baru tahu informasi soal dugaan pencemaran ini. Selama ini, katanya, dinas hanya menerima laporan dari RML.

“Dari hasil yang kami lihat dalam laporan terkait kualitas air, itu semua masih memenuhi baku mutu. Laporan [warga] ini, kami berharap ada semacam laporan tertulis.” Laporan itu, katanya, bisa jadi dasar bagi dinas untuk mengambil langkah lanjutan termasuk verifikasi ke lapangan.

Julius Jek, humas RML ketika dihubungi 24 September lalu membenarkan laporan masyarakat itu. Jek, yang mengurusi pemilik ulayat. Dia mengaku yang diangkat perusahaan dan bekerja di bagian humas untuk meredam protes-protes masyarakat. Jek bekerja di Rimba Matoa Lestari sejak 2008.

Menurut dia, kesepakatan plasma untuk 14 suku lewat skema “makan satu piring” melalui koperasi. Ada 600 keluarga di 14 suku itu. Jek juga mengaku koperasi yang sudah didirikan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Meskipun demikian, katanya, sesuai kesepakatan, skema “makan satu piring” ini akan ditinjau kembali pada 2020.

Soal pencemaran dan erosi seperti laporan masyarakat Kapitiau, Jek mengakui ada kesalahan dari perusahaan sejak awal dibangun. Perusahaan, katanya, tidak memperhitungkan baik kondisi masyarakat, lingkungan, maupun tradisi setempat.

Menurut dia, pemerintah juga jarang turun ke lapangan untuk memonitor. “Tahun-tahun yang sudah ke belakang ini pernah. Tahun 2017, 2016. Tetapi hanya pertemuan di kantor, tidak sampai tinjau ke lapangan.”

Wirya Supriyadi, dari Walhi Papua mengatakan, masalah warga dengan RML menunjukkan, perusahaan mendapat izin tanpa melalui mekanisme kredibel. Hal ini, katanya, melanggar prinsip  free, prior and informed consent (FPIC) atau sering diterjemahkan sebagai persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (padiatapa).

Walhi Papua akan terus mendampingi masyarakat adat untuk mendapatkan hak plasma 20% dan menyelesaikan dugaan pencemaran lingkungan. Walhi Papua juga akan mengecek lebih lanjut dugaan pembukaan lahan gambut di wilayah ini. Dalam peta izin RML termasuk pada lahan yang sudah dibuka tampak areal gambut.

“Walhi Papua akan bantu warga membuat surat komplain . Dari kampung Kapitiau terkait dugaan pencemaran dan luasan HGU karena tidak ada ganti rugi tanaman tumbuh yang mereka terima. Dari Kampung Garusa terkait plasama 20% dan koperasi yang tak jelas.”

 

Keterangan foto utama: Ilustrasi. Kala perusahaan sawit dalam, membuka lahan dan skala besar, bahkan bikin pabrik sawit, masalah bermunculan di masyarakat, dari soal lahan, sampai dugaan kerusakan lingkungan, seperti yang terjadi di Papua ini. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Kepiting mati di sungai di Kampung Kapitiau, Papua. Foto: Walhi Papua

 

Exit mobile version