Mongabay.co.id

Saat Energi Terbarukan Jadi Gantungan Warga Pulau Saugi Pangkep

 

Hidup sebagai nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil melaut, kerap menyulitkan warga pesisir dan pulau untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan pangan, pendidikan hingga penerangan atau listrik.

Satu potret kehidupan nelayan itu ada di Pulau Saugi, Desa Mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupa’biring, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Pulau ini dihuni sekitar 410 jiwa (123 KK) di Pulau Saugi dengan 70 persen diantaranya bekerja sebagai nelayan.

Meski Pulau Saugi merupakan pulau terdekat di antara 117 pulau di wilayah Kabupaten Pangkep dengan jarak tempuh menggunakan kapal kayu bermesin (jolloro‘) hanya sekitar 15 menit, namun kondisi infrastruktur seperti listrik, masih serba terbatas.

Kebutuhan listrik bagi warga mulai terpenuhi saat Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) masuk ke pulau itu, hanya saja warga masih terasa berat saat harus menyisihkan iuran Rp120 ribu/bulan. Saat itu pun listrik PLTD hanya beroperasi sekitar 4 jam, yaitu dari pukul 6 petang hingga 10 malam.

“Kalau musim ombak, otomatis nelayan kesulitan mencari ikan, nah kami sulit juga bayar iurannya,” jelas Abdullah, salah seorang warga.

 

Darmaga Pulau Saugi, salah satu pulau berpenghuni di gugusan kepulauan Pangkep. Foto: Suriani Mappong 

 

Mencermati kesulitan warga, Kepala Desa Mattiro Baji H Muslimin bersama Sekdes M Anis pun mencoba mencarikan solusi. Mereka berdua lalu coba berkomunikasi dengan pihak pemerintah daerah setempat.  Tujuannya agar warga Saugi dapat menikmati penerangan dengan waktu operasi lebih lama lagi dan murah.

Ternyata pucuk dicinta ulampun tiba. Pada 2017 pemerintah pusat melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) memprogramkan bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Baru Terbarukan (PLT EBT) untuk menjangkau warga yang wilayahnya belum teraliri listrik.

Bantuan yang bersumber dari dana APBN tersebut diprioritaskan bagi warga yang berada di kepulauan dan pelosok desa. Khusus di Kabupaten Pangkep yang memiliki 117 pulau, dua diantaranya terpilih mendapatkan bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yakni Pulau Saugi dengan kapasitas daya 50 kWp dan Pulau Sabangko 20 kWp.

Tepat 10 Mei 2018 Menteri ESDM saat itu Ignasius Jonan hadir di Sulsel untuk meresmikan 21 PLT EBT, salah satunya berada di Pulau Saugi. Listrik tenaga diesel pun berganti menjadi listrik tenaga surya di Saugi.

Alhamdulillah, hampir tiga tahun pengoperasian PLTS ini masih berfungsi dengan baik dan dapat dinikmati oleh warga Saugi,” jelas Muslimin.

Selain lebih murah, jam operasional PLTS ini juga lebih lama yakni mulai pukul 6 petang hingga 7 pagi atau selama 13 jam, kondisi ini membuat warga lebih leluasa beraktifitas pada malam hari.

Hal itu dibenarkan oleh salah warga Pulau Saugi Hj Rusmiati. Menurutnya, sebelum menikmati listrik EBT ini, dulu menggunakan listrik tenaga diesel dengan iuran Rp4 ribu/hari atau Rp120 ribu/bulan, namun dengan listrik tenaga surya hanya membayar Rp20 ribu/bulan.

“Dengan penggunaan yang jauh lebih lama yakni mulai jam enam pada petang hingga jam tujuh pagi [kita jadi lebih leluasa], biaya listrik PLTS juga jauh lebih murah,” katanya.

 

Panel surya PLTS di Pulau Saugi. Foto: Suriani Mappong

 

Perubahan Sosial

Keberadaan PLTS di Pulau Saugi ini sedikit banyak telah mempengaruhi kondisi sosial warga yang mayoritas berprofesi nelayan.

Ketika listrik belum dinikmati selama 13 jam per hari, animo bersekolah dan belajar di pulau ini tidak setinggi saat saat ini. Dengan hanya memiliki satu fasilitas sekolah dasar dan satu PAUD, anak-anak ketika tamat SD lebih memilih ikut mencari ikan dengan orang tuanya.

“Tapi sekarang seiring dengan berkembangnya informasi yang sudah mudah diakses karena ada fasilitas listrik, maka anak-anak lebih banyak melanjutkan pendidikan di ibu kota kabupaten,” kata Anas, Ketua Badan Perwakilan Desa di Mattiro Baji.

Sementara para ibu-ibu nelayan yang biasanya hanya menyisihkan waktunya menjemur ikan yang tidak terjual menjadi ikan asin, kini sudah lebih kreatif dengan industri rumah tangga yang dikelola secara berkelompok maupun perorangan.

“Kami membuat kue kering dan kerajinan tangan dari kerang-kerang, ini menjadi buah tangan bagi pengunjung pulau,” lanjut Rusmiati, dia juga Ketua Kelompok industri rumah tangga di Pulau Saugi yang memiliki 10 orang anggota.

Di Saugi juga terdapat usaha pengolahan kepiting rajungan untuk tujuan ekspor, sehingga nelayan di sekitarnya lebih memilih mencari kepiting rajungan dari pada ikan yang harus jauh ke tengah laut.

 

Ilham dan Yusman, operator PLTS di Pulau Saugi. Foto: Suriani Mappong

 

 

Rasa Memiliki

Ketika rasa memiliki ada, tentu tekad untuk menjaga dan merawatnya juga tumbuh dengan sendirinya. Prinsip inilah yang dipegang teguh oleh operator PLTS di Pulau Saugi, Muhamad Ilham.

Bekerja ikhlas untuk membantu warga di pulau ini untuk tetap dapat menikmati listrik dengan harga terjangkau adalah panduan hidupnya. Meski hanya mendapat upah sebagai operator sekitar Rp600 ribu/bulan bersama dengan rekannya Muh Yusman yang turut merawat PLTS itu, dia masih dapat mengoperasikan dan merawat PLTS di Pulau Saugi.

“Kalau hanya berharap dari upah sebagai operator yang diperoleh dari iuran listrik warga, itu tidak cukup untuk biaya hidup keluarga. Jadi, terpaksa mencari kerja sambilan untuk bertahan,” katanya. Tapi itu tidak mengurangi semangatnya.

Lebih lanjut Ilham menyebut inti perawatan PLTS sebenarnya berada di baterai dan panel surya. Untuk ketahanan baterei, daya yang dikeluarkan harus diatur dengan baik, sehingga masih ada cadangan daya baik dalam kondisi normal maupun pada saat musim hujan.

Demikian pula dengan panel surya yang ada, ia harus terus dibersihkan agar intensitas cahaya tetap terjaga. Meski kadang-kadang itu menjadi kendala saat terjadi perubahan cuaca.

Pada musim hujan misalnya, ketika pencahayaan matahari berkurang, Ilham terpaksa memadamkan listrik PLTS satu hingga dua hari, saat daya yang tersimpan dalam baterai tidak mencukupi untuk disalurkan ke masing-masing rumah tangga dengan daya 600 Wh.

Terkait listrik, dia mengatakan, setiap rumah yang dialiri listrik tenaga surya ini dipasang kapasitas 600 Wh dengan total 125 rumah terpasang. Namun yang berkewajiban membayar iuran bulanan hanya 108 KK, karena selebihnya digratiskan bagi keluarga prasejahtera dan lanjut usia. Termasuk untuk layanan MCK umum dan lampu jalan.

Dengan iuran Rp20 ribu/bulan, rata-rata pemasukan PLTS ini lebih kurang Rp2 juta/bulan yang digunakan untuk biaya operator dan pemeliharaan dan perbaikan jika terjadi kerusakan mesin sewaktu-waktu. Tentu saja dana ini teramat minim.

Ini pula yang jadi perhatian Muslimin, dia bilang perawatan dan penggatian unit akan menjadi perhatian desa.

“Ini untuk perbaikan panel dan baterai yang sudah ada beberapa yang tidak berfungsi dari total 250 panel yang dioperasikan, sementara dari hasil iuran itu tidak mampu menutupi biaya perbaikannya,” katanya.

Selain perlu membicarakannya dengan pihak terkait yaitu Kementerian ESDM) maka dia juga mempertimbangkan untuk menambah iuran bulanan. Menurutnya, jika dibandingkan dengan iuran tarif PLTS di Pulau Sabangko, yaitu sebesar Rp35 ribu/bulan/rumah tangga, maka di Saugi masih dapat dinaikkan.

 

Listrik dari PLTS saat ini mampu menerangi 125 rumah warga di Pulau Saugi. Foto: Suriani Mappong

 

Kepala Bappeda Kabupaten Pangkep Abdul Gaffar pun menyetujui, jika kedepan memang perlu pengaturan pengelolaan PLTS yang lebih baik di pulau yang mendapatkan hibah dari Kementerian ESDM.

“Kapasitas listrik yang masih terbatas itu dapat ditingkatkan untuk mendorong perekonomian desa melalui lembaga ekonomi desa seperti koperasi atau Bumdes,” katanya.

Apalagi perihal kelistrikan di pulau-pulau kecil di Kabupaten Pangkep terus dikembangkan oleh pemerintah. Saugi bisa jadi model untuk melakukan itu.

Kabid Energi Baru Terbarukan dan Kelistrikan, Dinas ESDM Sulsel Achmad Habib menyebut pemerintah desa sekarang sedang mengejar target rasio elektrifikasi nasional yaitu 100 persen pada akhir 2020.

Rasio elektrifikasi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat (Sulselrabar) berdasarkan data PT PLN Unit Induk Wilayah Sulsebar pada akhir 2019 mencapai 98,25 persen atau 3,13 juta pelanggan listrik. Selanjutnya pada medio 2020 rasio elektrifikasi di Sulsel sudah mencapai 98,7 persen. PLN UIW Sulselrabar menargetkan 2020 tingkat rasio elektrifikasi dapat mencapai 100 persen, karena adanya surplus 600 MW.

Kini, masih ada ratusan pulau lagi di Kabupaten Pangkep yang menunggu kemerdekaan menikmati listrik meski hanya paruh hari. Semoga harapan itu segera terwujud seiring dengan bergulirnya waktu.

 

* Suriani Mappong, penulis adalah jurnalis Kantor Berita ANTARA Sulsel. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version