Mongabay.co.id

Para Perempuan Pedesaan Pelestari Gambut dari Kalimantan Tengah

Lahan semangka petani perempuan Desa Henda. Foto: dokumen Kemitraan

 

 

Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 15 Oktober sebagai Hari Perempuan Pedesaan Internasional. Penetapan  ini sebagai perayaan dan mendorong pemberdayaan para perempuan pedesaan. Data United Nation Women (2020), jumlah perempuan pedesaan sama dengan seperempat dari populasi dunia, sebagian besar bermatapencarian sebagai petani.

Sayangnya, akses perempuan di area pedesaan terhadap pertanian, pendidikan, dan pasar, masih belum setara dengan laki-laki. Kondisi ini terus diupayakan hingga kini melalui beragam upaya pemberdayaan perempuan petani. Satu contoh, masyarakat desa gambut di sejumlah desa dampingan kolaborasi Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Kemitraan–the Partnership for Governance Reform melalui program desa peduli gambut (DPG).

Posisi perempuan dalam pelestarian dan restorasi gambut sering kali tertantang hambatan kultural. Dalam studi Kemitraan yang ditulis Catharina Indirastuti, dengan judul, “Perempuan Bertarung dengan Api di Lahan Gambut: Pengalaman Perempuan Desa di Provinsi Kalimantan Tengah dan Riau,” ditemukan, perempuan memiliki akses terbatas akan pengetahuan, perlindungan, dan peralatan memadai.

Sedang peran perempuan berlapis. Mereka harus memastikan keluarga aman, sebelum pergi menangani kebakaran hutan di banyak desa di Kalteng. Di Desa Sungai Rukam, para perempuan mengaku sebagian dari mereka yang turun memandamkan api seringkali bekerja tanpa peralatan perlindungan layak karena persediaan terbatas dari kantor desa. Terlebih lagi, kerugian ekonomi harus mereka tanggung setiap kebakaran hutan.

Tingginya kerentanan pedesaan gambut akan kebakaran lahan dan hutan (karhutla) membawa dampak bagi kehidupan masyarakat desa. Terlebih, lahan gambut jadi sumber penghidupan keluarga. Dampak ekonomi paling utama mereka rasakan. Untuk itu, program DPG mengajak berbagai pihak memberdayakan dan terus mendorong peran perempuan untuk beradaptasi dengan ketidakpastian cuaca dan iklim.

Degradasi ekosistem gambut di Indonesia, terutama di lahan gambut– sebagian besar tersebar wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua–, jadi tantangan besar bagi masyarakat. Karena itu, melalui program DPG sejak 2017, Kemitraan dan BRG menekankan pengarusutamaan pelestarian lahan gambut dalam perencanaan desa, pemberdayaan masyarakat desa, revitalisasi kultural, dan pemetaan partisipatif untuk resolusi konflik.

Untuk menyempurnakan proses ini, Kemitraan menekankan penting mengarusutamakan aspek gender. Dengan perempuan dan kelompok rentan lain, mendapat ruang dalam penentuan perencanaan perlindungan lahan gambut beserta proses advokasinya.

 

Perempuan petani kopi di Desa Gandang Barat, Kalteng. Foto: dokumentasi Kemitraan

 

Perempuan hadapi karhutla

Di Desa Gandang Barat, awalnya desa penghasil kopi jenis liberika yang tumbuh di tanah gambut. Kebakaran lahan dan banjir musiman membuat kopi mati atau tak memberikan hasil baik. Pada 2009-2010, para petani desa memutuskan menggantikan tanaman kopi mereka dengan sawit dan karet yang lebih tahan banjir.

Saat itu, ribuan kopi di kebun ditebang oleh petani berganti sawit, karet atau sengon. Hingga kini, kopi tersisa di Desa Gandang Barat hanyalah yang ditanam di pekarangan rumah mereka.

Sejak tanaman kopi di kebun-kebun masyarakat ditebang dan berganti tanaman lain, masyarakat Desa Gandang Barat tak lagi memandang kopi sebagai sumber penghidupan utama. Biji kopi yang mereka panen disimpan, baru digiling dan jual kalau ada kebutuhan, seperti bayar uang masuk sekolah, sakit dan kebutuhan-kebutuhan mendadak lain.

Sebagian warga mempertahankan tanaman kopi hanya untuk konsumsi pribadi. Biji kopi tahan disimpan sampai dua tahun, satu keluarga dapat memiliki 10 kendi kopi.

Sekali “nyeleb” – istilah lokal untuk menggiling kopi – seorang petani dapat membeli 30 gram emas. Biji kopi tidak digiling sendiri melainkan bawa ke pengepul yang selalu bersedia menerima kopi mereka. Para pengepul ini yang akan mendistribusikan kopi mereka ke pembeli lain.

Iin, petani kopi, belajar menjual sendiri kopi dari hasil panen tanaman orangtuanya ke tempat lain. Sejak terlibat dalam program DPG pada 2017, melalui pendampingan fasilitator desa, Iin mulai sering mengirimkan kopi ke berbagai pameran.

Tawaran membuat kelompok perempuan pengolah kopi disambut baik Iin. Kelompok Usaha Kopi “Bersama Bisa” pun dibentuk pada 2019. Awalnya, kelompok ini bernaung di bawah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), kemudian kepala desa mengizinkan kelompok perempuan pengolah kopi ini berdiri mandiri. Akhirnya, mereka bikin Kelompok Usaha Kopi Bersama Bisa.

Kelompok ini beranggotakan perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak masih kecil hingga tidak banyak meninggalkan rumah. Delapan orang kelompok ini terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, dan anggota yang mengerjakan kegiatan promosi. Iin sendiri jadi ketua kelompok sekaligus pembeli kopi dari para pemilik tanaman di Desa Gandang Barat.

Mereka dapat dana pendampingan Kemitraan, melalui kegiatan revitalisasi ekonomi dari program DPG. Mereka produksi dan menawarkan kopi ke banyak tempat.

Penjualan kopi yang mereka hasilkan semakin meningkat, dari mencari pembeli, hingga akhirnya pembeli mulai datang untuk mencari kopi mereka.

Dengan pendampingan dan bantuan melalui revitalisasi ekonomi dari program DPG, Iin bersama kelompok perempuan mulai menjual kopi. Iin tak khawatir dengan pengepul yang juga mengambil dan menjual kopi mereka. Kopi Kelompok Bersama Bisa dia yakini berkualitas lebih baik.

Mereka susun rencana pengembangan agar kelompok dapat memperoleh lebih banyak bahan baku. Mereka beli langsung dari pemilik kopi, menjemur mandiri dengan peralatan dan cara pengolahan dari program ini.

 

Perempuan petani kota di Desa gandang Barat. Foto: dokumen Kemitraan

 

Upaya bertahan

Dari desa lain di Kalteng, Desa Henda, ada sekelompok petani semangka inspiratif bernama Kabali Makmur. Kelompok ini beranggotakan 14 perempuan petani. Perempuan mendominasi petani di desa berlahan gambut ini. Sebagian besar laki-laki bekerja di luar pulau.

Lahan tani mereka seringkali tidak lagi dapat ditanami karena kualitas tidak mendukung.

Dorongan mulai menanam semangka diawali Rina, pengurus kelompok, juga penggerak perempuan petani di Desa Henda. Rina mengamati keberhasilan kerabatnya di desa lain yang menanam dan memperoleh keuntungan dari semangka. Kebun semangka mulai dengan mencoba mengolah lahan yang sebelumnya ditanami padi gunung seluas tiga hektar . Mereka belajar tanam semangka dari mengamati kebun tetangga.

Kelompok petani semangka–sebelum terbentuk menjadi kelompok formal –mulai dengan tiga anggota tanpa tujuan besar. Mereka hanya ingin mencoba. Ketika hasil cukup besar, perempuan petani lain pun mulai mengikuti.

Para perempuan di Henda bilang, rata-rata mereka petani yang aktif terlibat mengurusi lahan. Mereka tidak mau membiarkan laki-laki bekerja sendiri. Awalnya, menanam semangka oleh perempuan dan laki-laki bersama-sama. Akhirnya, lebih banyak perempuan petani ketika laki-laki meninggalkan desa.

Para perempuan petani percaya, mereka dapat mengembangkan kebun semangka dengan semangat tak hanya memenuhi kebutuhan gizi keluarga, juga sumber pendapatan.

Pembedaan berdasarkan gender dalam tugas merawat tanaman semangka tak lepas dari konstruksi sosial yang mengharuskan perempuan bekerja lebih detil dan hati-hati. Dalam kondisi ini memberikan kekuatan bagi perempuan petani semangka.

Saat ini, petani yang masih memiliki suami atau kalau suami mereka tidak merantau untuk bekerja, kebun semangka diurus bersama dengan tugas berbeda. Pembukaan lahan oleh petani laki-laki, meskipun perempuan petani ikut terlibat. Sedangkan membuat lubang untuk menanam bibit dan memupuk bagian perempuan.

Uniknya, proses memanen hingga penjualan, perempuan petani yang banyak terlibat. Petani laki-laki terlibat mengangkut hasil panen semangka. Penggunaan uang hasil penjualan semangka ditentukan bersama-sama antara perempuan petani dan laki-laki melalui perundingan.

Besarnya peran perempuan petani dalam perkebunan semangka memungkinkan perempuan memiliki posisi tawar lebih kuat dalam pengambilan keputusan dari uang yang mereka terima.

Ada tiga jenis semangka mereka tanam, semangka kuning dengan masa panen 58 hari, semangka loreng dan semangka tanpa biji yang perlu 70 hari untuk dapat dipanen. Yang paling laku, menurut Rina, jenis semagka tanpa biji. Ketiga jenis semangka ini ditanam untuk menjawab kebutuhan pasar dan menyesuaikan kemampuan masing-masing petani.

Rina, sesungguhnya mulai menanam semangka sejak 2007, namun terhenti karena terkena hama. Setelah berhenti beberapa lama dan tanaman padi sulit ditanam karena larangan membakar, pada 2016 beberapa mulai kembali menanam semangka.

Pada 2018, jumlah petani semangka makin berkembang hingga ada sekitar 40 keluarga. Puncaknya, pada Ramadhan 2019, petani semangka di Desa Henda sampai 63 jeluarga. Dari situlah Kabali Makmur muncul.

Modal mengembangkan kebun seringkali jadi hambatan bagi petani lain untuk menanam tanaman baru. Para perempuan petani semangka memiliki cara berbeda-beda dalam memenuhi kebutuhan ini.

Satu sumber pendanaan sebagai modal pengembangan kebun semangka Kabali Makmur peroleh dari jaringan Credit Union (CU) Kecamatan Jabiren Raya, merupakan jaringan milik Susana, bendahara kelompok.

Sebagian anggota lain memperoleh modal secara swadaya. Lima orang petani yang tak memiliki modal meminjam dari CU Jabiren Raya dan memperoleh pinjaman Rp15 juta dengan bunga 1%. Bunga 1% langsung dipotong di awal masa pinjaman dan pinjaman ini langsung dikembalikan dalam tiga bulan masa tanam.

 

 

Libatkan petani tanpa lahan

Petani ada yang tak memiliki lahan. Pengembangan kelompok untuk mengikutsertakan petani tanpa lahan mulai 2019. Saat itu, setelah berhasil menanam semangka pada 2016, Rina mengajak lebih banyak perempuan petani terlibat, termasuk perempuan petani miskin dan tak memiliki akses atas lahan garapan.

Melalui Rina, dengan lahan miliknya yang luasan bertambah dari hasil kebun semangka, perempuan petani tanpa lahan dapat mengelola lahan orang lain dan turut mendapatkan hasil. Kerja sama ini tanpa uang sewa lahan karena lahan beberapa perempuan lebih dari apa yang dapat mereka tangani. Beberapa perempuan petani, termasuk Rina, menggunakan uang hasil panen sejak 2016 untuk membeli lahan-lahan tidur.

Banyak cara bisa dilakukan untuk terus mengembangkan peran dan posisi perempuan agar lebih memiliki kesempatan bertanggung jawab atas alam sekitar.

Walaupun terkadang cara pandang budaya patriarki masih kental, mendorong kesetaraan gender dalam peran dan posisi yang dapat dikembangkan perempuan terutama mengelola sistem ekologi di area pedesaan berlahan gambut tentu jadi hal penting dalam pelestarian gambut sebagai ekosistem.

Semoga, peran perempuan dapat terus diperjuangkan dan mendapat dukungan banyak pihak, serta terjamin di mata hukum. Selamat Hari Perempuan Pedesaan Internasional!

 

*Penulis adalah Media Engagement Consultant pada Program Desa Peduli Gambut (DPG) Kemitraan- the Partnership for Governance Reform.

 

Keterangan foto utama:  Lahan semangka petani perempuan Desa Henda. Foto: dokumen Kemitraan

Exit mobile version