Mongabay.co.id

Kala Sistem Pangan Indonesia Masih Rapuh

Konsep ketahanan pangan juga harus memperhatikan kehidupan petani yang sering dilupakan nasibnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

“Yang beli gak ada, jadi harga sayur mayur murah. Semua lapisan masyarakat merasakan imbas COVID-19. Semoga ini cepet berakhir wabah ini,” tulis Bancet. Pemilik akun Facebook, Fendy Sehati alias Bancet, 14 Mei lalu. membagikan video yang membuang sayur mayur ke sungai. Video viral.

Dalam video itu tampak seseorang mengambil video mengenakan helm berwarna biru sedang di atas jembatan. Sepeda dan motor mengangkut sayuran terparkir di tepi jembatan.

Bergantian mereka mengambil sayuran di sepeda motor dan spontan membuang ke sungai. Tampak sayuran hanyut terseret arus sungai.

Ajur-ajur. Entek golek, ngapek maneh. Gara-gara lockdown sayur dibuang kabeh wis. Podo gak mbadok. Bayem? (Hancur-hancur. Habis cari lagi. Gara-gara lockdown sayur dibuang. Semua tak makan. Mau sayur saya?),” kata mereka langsung spontan melempar bundelan sayur ke sungai.

Selain sayur dibuang, juga beredar video aktivitas pedagang sayuran membagikan sayur kepada pengendara yang melintas.

“Kata Pakde Rokhim, ini di kedungboto, Kabupaten Malang. Daripada dibuang-buang, mending dibagi-bagi gini ya. Walau sedih dan emosi tapi ada bahagia buat yang nerimanya. Semoga Allah cukupkan rezeki kita semua,” tulis Novita.

Masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), menyebabkan krisis kesehatan, sosial, ekononi dan lain-lain. Pandemi berdampak ke berbagai sektor, salah satu pertanian. Petani panen tetapi tak terserap pasar. Kondisi sudah sulit pun jadi makin sulit.

Enambelas Oktober ini dirayakan sebagai Hari Pangan Sedunia. Hari Pangan Sedunia tahun ini diperingati dalam situasi sulir bagi petani. Banyak petani hasil produksi tidak terjual karena harga sangat jatuh, tak hanya berimbas pada petani juga konsumen.

“Harga kacang panjang, timun dan jagung jatuh. Turun lebih dari 50% padahal untuk membayar pupuk saja gak cukup. Di kampung petani pada bangkrut, ga laku karna murah banget. Kacang panjang biasa Rp4.000, sekarang Rp700 perak,” kata Karyati, petani di Desa Paguyangan, Kecamatan Bantar Bolang, Pemalang, Jawa Tengah kepada Mongabay.

 

Masa pandemi, harga sayur di petani malah anjlok. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Dia biasa menanam sayuran, seperti kacang panjang dan timun dengan luas setengah hektar bisa mendapatkan Rp 8-Rp10 juta, sekarang cuma Rp3 saja. Begitu juga padi dan jagung bisa belasan juta per ton.

Dia duga karena ada pembatasan sosial, banyak agen besar tutup menyebabkan agen kecil tidak bisa mengambil barang dari petani. Kondisi ini terus terjadi sejak awal pandemi hingga saat ini.

“Sekarang harga pupuk makin menggila, sudah mahal, barang susah. Bibit jagung juga mahal, obat semprot rumput mahal. Petani pada mengeluh tapi hasil panen murah,” keluh Karyati.

Pada 2020, tema hari Pangan Sedunia adalah “Tumbuhkan, Pelihara, Lestarikan Bersama.” Harapannya, untuk membangun kembali sistem pangan lebih baik dan pertanian lebih tangguh dan kuat.

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyebutkan pandemi ini menampilkan wajah sistem pangan yang sesungguhnya, di mana sistem pangan nasional sangat rentan, tak kokoh saat ada guncangan dan belum berkeadilan.

“Pandemi ini telah mengganggu rantai pasok pangan dan petani jadi korban. Harga komoditas hortikultura di petani turun sampai 50-70% sejak April lalu,” kata Said Abdullah, Koordinator Nasional KRKP.

Bahkan, kata Said, situasi ini tidak mengecualikan saat panen raya. Misa, pada Mei lalu, panen raya, harga padi di bawah HPP (harga pembelian pemerintah).

Sementara, ada kasus di Tangerang memiliki kendala dalam pemenuhan pangan. “Ada kasus orang yang meninggal karena kelaparan. Ini menunjukkan, sistem pangan kita tidak cukup tahan dan adil.”

Pandemi ini, memberikan pukulan telak kepada sektor pertanian dan pangan. Rantai pasok pangan terganggu luar biasa. Kondisi ini karena pangan selama ini terlalu bersandar sistem global yang bertumpu pada korporasi dan pasar yang besar.

FAO, dalam rilis, menyebutkan pandemi memberikan gambaran bagaimana sistem pangan dan pertanian global rapuh serta memicu resesi ekonomi dunia. Diprediksi 132 juta orang akan menderita kelaparan sampai akhir tahun karena resesi.

Dalam laporan FAO yang berjudul The State of Food Security And Nutrition In The World menyebutkan, ada sekitar 83-132 juta orang dari total penduduk dunia mengalami kekurangan gizi pada 2020 akibat pandemi. Dalam laporan Global Hunger Index 2020 menempatkan Indonesia berada di urutan ke-70 dari 107 negara dengan skor 19,1, yakni memiliki tingkat kelaparan sedang.

 

Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di daerah-daerah di nusantara ini, seperti Riau, Papua, Maluku dan lain-lain. Tanaman sagu, antara lain yang cocok di lahan gambut. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Sejak krisis 1997-1998, kata Said, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang membuat bergantung pada pasar global.

Seharusnya, saat ini belajar dari krisis untuk mengevaluasi sistem pangan.

“Kebijakan dan sistem pangan nasional perlu didorong dari kepentingan petani sebagai subyek pembangunan penyediaan pangan nasional, bukan hanya sebatas obyek,” kata Hermanu Triwidodo, Ketua Tani Center LPPM IPB.

Pemerintah, perlu sensitif merasakan apa yang dirasakan dan dibutuhkan petani, bukan pada pikiran pemerintah justru jauh dari realitas petani. Pasalnya, kebijakan yang selama ini teebit seringkati tidak memecahkan masalah dan tidak menempatkan petani sebagai pihak paling menentukan penyediaan pangan nasional.

Anang Noegroho Setyo Moeljono, Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas menyebutkan, indikator dalam RPJMN 2020-2024 mengharapkan, Indonesia memiliki sistem pangan handal dan berkelanjutan.

“Kita harus memiliki sistem pangan nasional yang dapat mewujudkan ketahanan pangan. Dalam UU Nomor 18/2012 tentang Pangan, tidak hanya bermodalkan kedaulatan dan kemandirian.”

Dalam RPJMN, peningkatan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan menjadi salah satu program prioritas, antara lain, pengembangan pangan lokal, diversifikasi bahan pangan di masyarakat, peningkatan ketersediaan pangan hasil pertanian dan pangan hasil laut yang berkelanjutan. Juga, peningkatan produktivitas, keberlanjutan sumber daya manusia pertanian, dan kepastian pasar. Kemudian, peningkatan produktivitas keberlanjutan sumber daya pertanian dan digitalisasi pertanian dan peningkatan tata kelola sistem pangan nasional.

“Kami sangat prihatin sumber daya manusia dalam pertanian ini cenderung menurun. Siapa yang mau menggantikan?”

Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi Desa Sejahtera mengatakan, Indonesia sedang mengalami krisis pangan atau darurat pangan. Kondisi ini, dilihat dari beberapa hal mendasar, misal, jumlah petani dan nelayan menurun signifikan. Jumlah petani dari35,6 juta (2015) menjadi 31,9 juta (2019) atau sekitar 500.000 per orang setiap tahun. Sedangkan nelayan menurun dari 2,4 juta (2000) menjadi 1,6 juta (2016).

“Sementara lahan pertanian menyusut drastis, dari 100-100.000 hektar lahan kita hilang per tahun, padahal cetak sawah kita 50.000 hektar itu kalau dilakukan maksimal.”

Sementara konversi lahan terus meningkat dan jumlah petani menurun, tapi Indonesia terus membuka impor pangan yang cenderung terus naik signifikan. Kondisi ini, karena lahan dan pengelola lahan terus menurun tetapi penduduk terus meningkat.

“Rakyat menanti implementasi kebijakan pangan untuk membangun kedaulatan pangan dengan melindungi dan pemberdayaan petani dan mendukung pangan berkelanjutan.”

 

Sayur mayur di Malang. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version