Mongabay.co.id

Kepedulian Darwin, Cerdaskan Masyarakat dengan Gerakan Literasi Pohon Pustaka

 

 

Bentuknya unik, seperti bangunan ditopang pohon. Terlihat rimbun di kejauhan. Di depannya terdapat beragam tanaman hias dengan pot-pot tak kalah cantik. Malam hari tempat ini terlihat lebih cantik dengan cahaya temaram. Pemiliknya menamai Pohon Pustaka.

Pohon Pustaka adalah sebuah perpustakaan kecil yang dilekatkan di sebuah pohon. Terdapat 1.000 buku berbagai tema di sini, mulai pendidikan, konservasi, agama, hobi, dan lainnya.

“Ini tanpa menyentuh pohon sama sekali, sebagai aksesoris. Pohonnya tak akan rusak,” ungkap Darwin, pemilik Pohon Pustaka, ketika Mongabay berkunjung awal Agustus 2020, di Kalimbua, Desa Bontongan, Kecamatan Buntu Batu, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Kayu yang digunakan untuk membangun perpustakaan mini itu adalah kayu bekas. Dari rangka hingga papan. Dari lantai dua Pohon Pustaka, kita bisa melihat hamparan sawah dan jejeran gunung di kejauhan. Udaranya dingin, apalagi malam hari.

“Buku-buku ini donasi berbagai pihak, termasuk dari perpustakaan nasional dan beberapa kawan yang peduli gerakan literasi,” ungkapnya.

Sebagai bentuk apresiasi, setiap bantuan satu buku akan diganti satu atau beberapa bibit pohon yang akan ditanam di kawasan hutan. Tahun ini kami menanam sekitar 500 pohon hasil konversi dari buku tersebut.

“Kami juga mendorong anak-anak untuk menulis berbagai petualangan mereka, termasuk ketika mendaki gunung,” jelas Darwin, sembari menawarkan kopi arabika kepada saya seperti varietas Bone-bone, Nating dan Kalaciri.

Baca: Dedikasi Jamaluddin Mencerdaskan Petani melalui Rumah Koran

 

Pohon Pustaka di Kalimbua Enrekang memadukan konsep literasi dan lingkungan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Pencinta alam

Darwin dikenal luas sebagai pencinta alam oleh para pendaki ke gunung Latimojong. Pendaki dari berbagai daerah dan sejumlah negara menjadikan rumahnya sebagai rumah singgah. Ia fasih berbahasa Inggris dan sempat beberapa tahun bertualang ke Australia dan Selandia Baru.

“Banyak pendaki menjadikan tempat ini sebagai rumah singgah. Mereka datang tidak hanya mendaki, tetapi juga keliling kampung menikmati suasana desa. Ini seperti perjalanan wisata anti-mainstream karena tak ada tempat wisata khusus yang dituju,” tambahnya.

Pohon Pustaka juga digunakan sebagai ruang kumpul berbagai komunitas, baik untuk diskusi ataupun pelatihan dengan jumlah terbatas.

Darwin dan sejumlah pendaki lokal yang tergabung dalam komunitas Palm kerap memberi jasa sebagai guide ke Latimojong. Informasi tentang gunung tersebut, bisa diketahui juga dari hasil diskusi langsung dengan mereka, sehingga pendakian bisa efektif tanpa melanggar aturan setempat.

“Pernah ada sekitar 30 pendaki dari Malaysia, mereka menjadikan Latimojong target kedua setelah Gunung Kerinci, begitu katanya,“ ujarnya.

Program lain Pohon Pustaka adalah memberi edukasi ke warga door to door. Berpartisipasi dalam acara tingkat kecamatan dan keliling ke sejumlah desa menggunakan motor.

“Motor ini bantuan dari perpustakaan nasional. Kami seharusnya sudah bergerak, namun terkendala pandemi corona. Banyak desa yang masih melarang orang luar masuk.”

Motor Pustaka telah digunakan beberapa kali setelah kunjungan Mongabay ke Pohon Pustaka, dengan target pembaca anak-anak SD di sejumlah desa. Penggunaan motor besar sangat efektif karena kondisi jalan yang harus dilalui sedikit rusak.

“Kami pernah juga ngelapak di acara kecamatan sampai 15 hari. Pengunjung banyak yang datang membaca dan bahkan pinjam buku. Alhamdulillah, semua buku yang dipinjam dikembalikan dengan kondisi baik.”

Baca: Sukses Patola, Ubah Kopi Kampung ke Starbucks

 

Terdapat 1.000 koleksi buku beragam tema, termasuk konservasi dan lingkungan hidup hasil donasi berbagai pihak. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Inspirasi

Menurut Darwin, hadirnya Pohon Pustaka terinspirasi gerakan literasi di berbagai daerah. Dia melihat tingkat baca anak muda di desanya masih rendah ditambah tidak adanya ruang baca yang memadai.

“Kalau kita lihat di berbagai daerah ada bermacam gerakan pustaka, seperti kuda pustaka, perahu pustaka, dan lainnya. Kami coba bangun sesuai kondisi dan kebutuhan di sini.”

Pohon Pustaka sendiri mengawinkan konsep literasi dengan lingkungan hidup sehingga sebagian besar buku yang tersedia beraroma alam dan konservasi.

“Kami memiliki konsep holistik, satu tempat untuk beragam kegiatan seperti untuk baca, diskusi, dan berkesenian. Kami wadahi siapapun yang bisa berkesenian dan berkreativitas.”

Mimpi Darwin mulai terwujud. Keaktifannya sebagai etnografer di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Massenrempulu, membuatnya banyak berinteraksi dengan komunitas yang memiliki tradisi dan kesenian berbeda.

Ia juga mempromosikan kerajinan tangan komunitas dan warga setempat di berbagai kegiatannya. Misalnya, anyaman bambu berupa tas dan bakul, bahkan mengenalkan juga beragam varietas kopi lokal yang dikelola dengan baik dan moderen.

 

Banyak pengunjung termasuk dari mancanegara berkunjung ke tempat ini. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Sebagai etnografer, Darwin terlibat pendokumentasian masyarakat adat di Kabupaten Enrekang, termasuk membantu dalam proses pengakuan hutan adat di daerah tersebut.

Keterlibatannya sebagai pendamping desa, banyak memberinya pengalaman dan pengetahuan tentang kondisi masyarakat terkait kurangnya fasilitas baca. Inilah yang mendorongnya mengirim proposal pengadaan motor pustaka ke perpustakaan nasional yang terwujud.

Meski sering kedatangan tamu dari berbagai daerah, aktivitas Darwin mendapat dukungan keluarga dan masyarakat setempat. Apalagi, keberadaan perpustakaan tersebut bisa memberi dampak positif bagi generasi muda.

Darwin berharap, Pohon Pustaka yang dikelolanya bisa berkembang menjadi pusat informasi dan kegiatan konservasi di Enrekang.

 

 

Exit mobile version