Mongabay.co.id

Kesimpangsiuran Informasi di Balik Undang-Undang Cipta Kerja

Tepat pada 5 Oktober 2020, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Sontak, pengesahan tersebut menuai reaksi yang beragam dari publik. Ada yang merasa bahwa UU ini merupakan kabar baik dan gembira (bagi para investor, saudagar, cukong, pemilik modal dan banyak macam jenis kapitalis lainnya), tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa pengesahan UU ini adalah kabar duka bagi bangsa Indonesia.

Bagaimana tidak, di tengah keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), malah membentang karpet merah bagi para penggelut cuan demi meraup untung sebesar-besarnya. Padahal, seharusnya pemerintah fokus menyelesaikan pandemi, malah regulasi yang tidak berpihak digenjot sejak dini.

Tidak dapat dimungkiri, beragam argumen dari banyak sudut pandang tentang ketidakadilan Omnibus Law Cipta Kerja ini sudah diutarakan sejak RUU Cipta Kerja dilempar kepada publik. Banyak poin penting yang menjadi sorotan dalam RUU Cipta Kerja, misal terkait ketenagakerjaan, banyak pihak menilai bahwa RUU Cipta Kerja bukannya berpihak kepada pekerja malah mengeksploitasi pekerja itu sendiri.

Dalam RUU Cipta Kerja, banyak pasal terkait ketenagakerjaan yang dipermasalahkan publik seperti adanya pasal terkait dengan hak cuti pekerja yang dihilangkan, jam kerja yang semakin eksploitatif, penggajian berdasarkan jam, tidak adanya hak setelah pensiun, dan banyak persoalan lainnya.

Tidak kalah gaduhnya tentang bakal munculnya dampak eksploitasi terhadap pekerja, RUU Cipta Kerja juga dinilai sangat bersifat ekstraktif terhadap lingkungan. Sebelum UU ini disahkan, Yayasan Madani Berkelanjutan menilai bahwa RUU Cipta Kerja mengungkap kajian tentang sangat tidak berpihaknya UU ini terhadap kepentingan lingkungan, bahkan menjadi ancaman bagi keberlangsungan hutan alam dan komitmen iklim di Indonesia.

Berdasarkan temuan Yayasan Madani Berkelanjutan, ada lima provinsi di Indonesia yang semangat terancam akan kehilangan seluruh hutan alam akibat laju penggundulan hutan (deforestasi) berkat RUU Cipta Kerja. Kelima provinsi tersebut yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Jawa Tengah.

Lebih detilnya, Provinsi Riau akan kehilangan seluruh hutan alamnya di 2032, Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan akan kehilangan seluruh hutan alamnya pada 2038, Provinsi Bangka Belitung akan kehilangan seluruh hutan alamnya pada 2054 dan Provinsi Jawa Tengah akan hilang seluruh hutan alamnya pada tahun 2056.

Jelas bahwa kehilangan hutan alam dapat diartikan juga Indonesia kehilangan momentum untuk memperkuat komitmennya melawan krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan. Terkait dengan komitmen iklim yang termaktub dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia memasang target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29% dari BAU 2030 dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.

NDC sendiri merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang berisi pernyataan komitmen banyak negara tentang upaya menghentikan Perubahan Iklim.

Terkait dengan ambisi iklim Indonesia, target NDC tersebut banyak dinilai belum ambisius jika melihat dengan potensi yang ada di Indonesia.

Di sisi lain, banyak juga pihak yang mengatakan bahwa target tersebut sulit dicapai jika pemerintah tidak melakukan hal yang luar biasa atau melakukan terobosan untuk melindungi lingkungan, hutan, dan alam. Oleh karena itu, dengan adanya UU Cipta Kerja, target tersebut semakin tidak realistis.

 

Tekanan kepada hutan akan menigkat dengan deregulasi aturan dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam. Foto: Rhett A Butler

 

Kesimpangsiuran Informasi

Setelah RUU disahkan menjadi UU, segudang permasalahan yang telah dibeberkan sebelumnya menjadi kurang renyah bahkan kurang relevan. Mengapa demikian? Tentu jawabannya adalah karena draf UU Cipta Kerja yang telah disahkan sulit diakses publik.

Secara rasional, bagaimana mungkin ada pihak yang mampu memberikan pandangan komprehensif kalau barangnya saja (UU Cipta Kerja) tidak diketahui?

Saat ini, semua pihak yang mengkritisi UU Cipta Kerja menggunakan analisis dari RUU. Artinya, semua orang yang berkomentar pasca UU disahkan sampai dengan UU asli disebar kepada publik maka mereka seolah-olah sedang meraba-raba di ruangan yang gelap.

Perumusan UU ini jelas merupakan preseden buruk dalam sejarah perumusan regulasi di negeri ini karena terkesan dikebut dan disembunyikan. Menjadi wajar jika publik menaruh kecurigaan yang besar terhadap UU Cipta Kerja ini.

Ketidakpastian yang berujung pada informasi yang simpang siur di tengah publik, tentu tidak bisa disalahkan. Pemerintah tidak dapat menyalahkan masyarakat dengan pernyataan telah menyebar berita bohong (hoax/hoaks) karena hanya berbekal analisis RUU. Sedangkan masyarakat juga tidak bisa mengkritisi secara substansi karena barangnya saja tidak ada.

Untuk mengurai benang kusut yang saat ini mengapung ke permukaan, alangkah baiknya pemerintah segera merampungkan UU dan menyebarluaskannya kepada publik. Jelas di tengah ketidakpastian saling menyalahkan adalah hal yang tidak baik.

Kita sebagai masyarakat sangat yakin bahwa pemerintah telah bekerja keras untuk melayani masyarakat dengan segudang keterbatasan dan kekurangannya. Namun, prinsip good governance  tidak akan terwujud jika transparansi dan akuntabilitas tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

UU ini tentu sangat penting karena dapat dikakatan sebuah terobosan besar jika benar-benar berpihak kepada rakyat tanpa adanya kepentingan yang menyusupi walaupun agaknya mustahil. Bayangkan saja, untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai sebuah UU yang menggabungkan 79 UU dengan lebih dari seribu pasal yang terdampak. Ini sungguh sebuah terobosan.

Terkait dengan UU Cipta Kerja sendiri, pemerintah mengklaim bahwa tujuan UU ini salah satunya adalah untuk menyederhanakan proses perizinan. Pasalnya, izin yang bak benang kusut dinilai merupakan salah satu penghambat proses investasi.

Padahal, persoalan yang dihadapi dalam proses perizinan, apalagi yang terkait dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA) adalah korupsi yang merajalela. Dalam Global Competitivences Report 2017-2018, tercatat bahwa permasalahan utama dalam kemudahan berusaha di Indonesia adalah korupsi.

Kalau saja semua kritik terhadap UU Cipta Kerja, benar adalah hoax seperti diungkap oleh sebagian anggota DPR, pemerintah dan banyak para pemangku kepentingan lainnya yang pro, maka mungkin banyak pihak yang telah memberikan kritik malah mengacungkan jempol.

Namun, lagi-lagi kita semua berada dalam ketidakpastian, tidak hanya masyarakat tapi juga pemerintah. Padahal, kepastian adalah sebuah keniscayaan untuk saat ini, apalagi bagi sebuah investasi dan mau dibawa kemana arah bangsa ini.

 

*  Delly Ferdian, penulis adalah peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan, Jakarta. Artikel ini adalah opini penulis

 

***

Foto utama: Rhett A Butler

 

Exit mobile version