Mongabay.co.id

Mengungkap Potensi Sumber daya Laut Indonesia dari Teropong Riset

 

Pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan selalu menjadi kegiatan yang penuh dengan tantangan. Segala aktivitas yang berhubungan dengan hal tersebut, ditantang untuk bisa memanfaatkannya dengan tetap menjaga keberlanjutan sumber daya alam di laut.

Kepala Balai Riset Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP KKP) Sjarief Widjaja mengatakan, sumber daya kelautan dan perikanan di perairan Indonesia diketahui sangat besar dan potensial untuk dijadikan sumber ekonomi.

“Namun itu dipenuhi tantangan yang harus dilewati dengan menyelesaikan berbagai persoalan,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

Menurut dia, penentuan model yang tepat dan pas dalam melaksanakan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia, menjadi langkah yang sangat penting. Termasuk, dengan melakukan observasi secara mendalam tentang sumber daya yang akan dimanfaatkan.

Dengan adanya model dan observasi yang tepat, maka kekayaan sumber daya alam kelautan dan perikanan di Indonesia akan bisa bermanfaat untuk masyarakat banyak. Terutama, untuk generasi Indonesia di masa yang akan datang.

baca : Riset Kelautan Mulai Digelar 2020 hingga 2035, Seperti Apa Itu?

 

Kepala BRSDM KP KKP Sjarief Widjaja mengatakan, sumber daya kelautan dan perikanan di perairan Indonesia sangat besar sehingga perlu riset untuk mengetahuinya. Foto : KKP

 

Sjarief menyebutkan, perlunya dibuat model dan observasi, karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki pulau lebih dari 17.500. Selain itu, 70 persen wilayah Indonesia adalah perairan laut dan menjadi negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia.

“Indonesia memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar,” jelas dia.

Akan tetapi, Sjarief menyadari, walau potensi sangat besar, sumber daya kelautan dan perikanan Indoensia masih sangat rawan dan beresiko terhadap banyak ancaman yang bersifat negatif. Salah satunya, adalah aktivitas kegiatan penangkapan ikan ilegal, tak terlaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF).

Kemudian, ada juga ancaman dari perubahan iklim, dan juga proses antropisasi yang menyebabkan degradasi ekosistem laut. Ancaman-ancaman tersebut harus dipetakan dan dicarikan solusi untuk mengantisipasinya, baik di masa sekarang dan yang akan datang.

Menurut dia, khusus untuk IUUF masih saja terus ada sampai sekarang, menyebabkan kerugian di pihak Pemerintah Indonesia dan juga nelayan yang ada di wilayah pesisir. Dalam setahun, kerugian bisa mencapai USD3 miliar dan itu berlangsung secara terus menerus setiap tahun.

Tak cukup di situ, IUUF juga dinilai sudah memicu munculnya masalah lingkungan di wilayah perairan Indonesia, seperti polusi, erosi pantai, dan juga kerusakan hutan. Agar itu semua bisa berhenti, perlu langkah panjang untuk mengamankan sumber daya jangka panjang yang berkelanjutan.

baca juga : Pusat Riset Kelautan Didirikan untuk Imbangi Kemajuan Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Panorama laut dari Dermaga Ketapang menuju ke Pulau Pahawang, Lampung. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Pemetaan Masalah

Dengan memahami situasi dan kondisi seperti disebutkan di atas, maka pemetaan masalah bisa dilakukan dengan baik dan jelas. Dari situ, baru dicarikan solusi yang tepat dan pas melalui ilmu pengetahuan yang sudah dikuasai oleh manusia.

“Dengan kapasitas intelektual yang dimiliki, maka manusia akan mulai belajar fenomena alam yang ada di sekitarnya, karakteristiknya, dan sebagainya,” jelas dia.

Setelah dilakukan pemetaan dan memahaminya, maka diperlukan metode yang tepat dan pas agar pemanfaatannya bisa tetap berjalan baik dan tidak berdampak negatif. Tak hanya itu, dalam proses memahaminya pun akan terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

Oleh karena itu, walau sudah memahami fenomena yang sedang terjadi dengan baik, maka langkah berikutnya harus dilakukan dengan hat-hati agar pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan tidak menjadi salah langkah.

“Fenomena alam ini akan kita manfaatkan untuk kesejahteraan manusia, dan fenomena alam yang berbahaya harus kita hindari. Kita lakukan persiapan-persiapan, sehingga manusia tidak takut menghadapi bencana terkait dengan alam,” tegas dia.

Selain mencari model yang tepat, tahapan observasi juga menjadi langkah yang penting dalam memetakan potensi sumber daya laut. Menurut Sjarief, tahapan observasi dimulai dengan pengamatan, pendalaman, dan pengembangan metodologi untuk melaksanakan observasi dan membuat model.

Dalam proses tersebut, apa yang terjadi pada fenomena alam akan disederhanakan menjadi sebuah miniatur dan prototipe. Hal itu dilakukan, agar diketahui dan dipahami karakteristik dari fenomena alam yang ada di wilayah perairan Indonesia.

“Kita bisa membuat permodelan di alam. Misalnya ocean characteristic atau ocean dynamic,” tutur dia.

baca juga : Indonesia Harus Belajar Riset untuk Adaptasi Perubahan Iklim

 

llustrasi. Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jakur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Sjarief memaparkan, untuk hydrodinamic model saja itu bisa berfungsi sebagai metode untuk mengetahui gelombang di laut. Untuk itu, diperlukan model yang bisa mencari tahu karakteristik gelombang dan dampaknya terhadap kehidupan manusia yang tinggal di kawasan pesisir.

Dalam mencari tahu tentang gelombang, akan ada lagi yang harus dipetakan lebih mendalam, seperti arus, gelombang, angin, dan sebagainya. Pemetaan tersebut akan bisa melahirkan model dinamis yang lebih kompleks untuk menjadi model yang tepat dan pas.

Dalam pemetaan tersebut, diperlukan alat-alat, simulasi pemodelan, komputer pemodelan, dan sebagainya. Setelah itu, baru kemudian dibuat manajemen sumber daya kelautan yang berbasis kepada hasil sebuah observasi yang dilakukan sebelumnya.

“Baru kita tahu bagaimana mengelola lingkungan laut, dan sebagainya. Key word-nya adalah itu,” jelas dia.

Setelah mengetahui pemodelan yang tepat dan bisa ditetapkan, maka secepatnya itu bisa diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Contohnya saja, untuk masalah tsunami yang selalu menjadi hal yang menakutkan, diperlukan upaya pencegahan dan manajemen kelautan untuk masyarakat di kawasan pesisir.

 

Transformasi Riset

Untuk itu, dia meminta kepada semua pihak yang terkait untuk tidak melakukan riset dalam waktu yang terlalu lama dalam bentuk level of know how (pengetahuan). Lebih dari itu, riset yang dihasilkan harus bsia ditransformasikan menjadi sebuah rencana aksi untuk tindakan pencegahan.

“Nanti Pusat Riset Kelautan KKP akan mengeksplor dan mengelaborasi lebih lanjut,” ucap dia.

Sjarief menambahkan, Observation and Modelling Information System (OMIS) atau Sistem Prediksi Kelautan (SIDIK) menjadi sistem observasi laut yang penting untuk menjawab permasalahan yang terjadi di laut Indonesia, seperti IUUF, perubahan iklim, dampak antropogenik.

Kemudian, kehadiran ocean model akan bisa mendukung para pemangku kepentingan dalam pengelolaan pesisir, misalnya sampah laut dan pemantauan kenaikan permukaan laut. Dengan adanya model tersebut, segala permasalahan di laut Indonesia akan bisa diantisipasi di masa mendatang.

perlu dibaca :  PUMMA, Alat Murah Pendeteksi Tsunami Buatan KKP dan BIG

 

Pemasangan Perangkat Ukur Murah untuk Muka Air Laut (PUMMA), alat pendeteksi tsunami yang dipasang di pesisir Kota Bungus, Sumatera Barat. Foto : Dian Novianto/BRSDM KKP

 

Sebelumnya, KKP juga berhasil mengembangkan alat deteksi dini Tsunami. Alat yang juga dikembangkan BRSDM KP itu adalah sistem peringatan dini tsunami berbasis pemantauan muka air, di mana komponen keterlibatan dan budaya kesadaran masyarakat diperkuat secara bersamaan.

Sistem sederhana ini, memanfaatkan pengukuran muka air secara rapat dan cepat (real time) dan dapat memberikan peringatan dini secara cepat ke perangkat yang ditetapkan melalui surat elektronik (e-mail) dan juga pesan singkat (SMS).

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, sistem peringatan dini tsunami yang berhasil dikembangkan itu adalah Inexpensive Device for Sea Level Measurement (IDSL) atau Perangkat Ukur Murah untuk Muka Air Laut (PUMMA).

Alat tersebut dikembangkan berkat kerja sama apik antara BRSDM KP dengan Badan Informasi Geospasial (BIG), European Comission, dan Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI).

“Alat ini tidak hanya memberikan informasi langsung tentang perubahan kenaikan permukaan laut karena anomali yang tiba-tiba, tetapi juga memperkuat kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat pesisir terhadap peristiwa tsunami di masa depan,” tegasnya.

Untuk sekarang, alat untuk sistem peringatan dini tsunami saat ini sudah dipasang di sejumlah titik di Indonesia, yakni di Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), Marina Jambu (Banten), pulau Sebesi (Lampung), dan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng (DI Yogyakarta).

Selain empat lokasi tersebut, PUMMA juga akan dipasang di empat lokasi lainnya yang saat ini masih dalam proses penentuan. Penambahan tersebut menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia akan terus berupaya menjaga wilayah pesisir dari ancaman bahaya tsunami.

 

Exit mobile version