Mongabay.co.id

Sumur Bor Pengairan Sawah di Sikka Saat Kemarau, Ternyata Berdampak Buruk

 

 

Siang itu, Kamis (8/10/2020), panas terik menyengat. Biasanya hamparan lahan sawah yang nampak menghijau terlihat saat tiba di Desa Magepanda, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kondisi ini berubah drastis sejak sekitar lima tahun terakhir akibat dampak kemarau dan anomali iklim.

Keadaan serupa juga terlihat di hamparan sawah Desa Kolisia dan Reroroja di kecamatan Magepanda yang berada tak jauh dari pantai. Debit air di Bendungan Liba di Desa Magepanda pun menurun drastis sehingga air tidak bisa dialirkan ke areal persawahan.

Saat ditemui Mongabay Indonesia di lahan sawahnya, Yulius Wangge terlihat sedang membuat bedeng sayuran. Mesin pompa air dari sumur dangkal sedang beroperasi menyedot air ke bedeng sayur di bekas lahan sawahnya.

Yulius mengaku sejak bulan Juli sudah tidak bisa lagi menanam padi. Air di saluran irigasi pun mengering. Dirinya pun terpaksa membeli mesin pompa air dan menggali sumur dangkal di samping pematang sawahnya.

“Saya terpaksa beralih menanam sayuran sambil menunggu musim hujan baru bisa menanam padi sawah kembali. Air di bendungan juga debitnya menurun dan terjadi sedimentasi,” ungkapnya.

Meski beralih menanam sayur, Yulius pun selalu waspada. Pasalnya, mesin pompa air yang sedang beroperasi satu dua jam tiba-tiba tidak mengeluarkan air. Mesin pun dimatikan dan dirinya terpaksa menunggu beberapa jam dan coba menghidupkan lagi.

“Airnya kering meski sudah memakai pompa penyedot. Apalagi kalau banyak petani yang menghidupkan pompa air dalam waktu bersamaan tak butuh waktu lama, air pun tidak mengalir,” sebutnya.

baca : Kekeringan dan Terserang Hama Ulat Grayak Ancam Produksi Jagung di Sikka. Apa Solusinya?

 

Pompa air dari sumur bor yang mengalirkan air ke lahan sawah yang berubah fungsi menjadi bedeng sayuran di Desa Magepanda, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sedimentasi Bendungan

Kondisi serupa dialami Osias Dosi. Dia mengajak melihat hamparan padi seluas seperempat hektare yang siap panen. Padi di lahan ini pun gagal panen akibat kekurangan air.

Osias mengaku lahan sawahnya pun dibiarkan terlantar sambil menunggu musim hujan. Dirinya pun mempunyai sebuah sumur bor di lahan sawahnya dengan kedalaman empat meter yang dipakai untuk membantu pangairan saat curah hujan berkurang.

“Bendungan perlu diperbaiki karena terjadi sedimentasi. Dasar bendungan dipenuhi lumpur dan pasir termasuk saluran irigasi yang mengalami kerusakan,” pintanya.

Osias mengaku biasa tanam padi dua kali setahun namun sejak lima tahun terakhir terjadi kemarau berkepanjangan. Saat memasuki bulan Juni, air di saluran irigasi pun mengering.

Ada sebuah sumur bor air dalam dengan kedalaman sekitar 80 meter di areal persawahan. Sumur bor tersebut tidak beroperasi karena mengalami kerusakan.

“Kalau sumur bor ini bisa beroperasi maka puluhan hektare sawah bisa diairi. Petani bisa tanam padi dua kali setahun dengan dibantu mesin pompa sendiri,” ungkapnya.

Hampir setiap petani yang memiliki lahan sawah seluas setengah hektare hingga satu hektare di Kecamatan Magepanda memiliki mesin pompa sendiri. Dengan luas areal sawah 400 Ha, terdapat ratusan mesin pompa yang beroperasi setiap harinya.

Saat dikunjungi, tampak lahan sawah seluas setengah hektare sedang dilakukan panen. Pemilik lahan mengaku berjudi dalam menanam padi jenis Ciherang sejak bulan Juni. Meski tidak gagal panen, namun produksi menurun sekitar 30%.

Bendungan Liba yang mengaliri areal persawahan di Desa Magepanda seluas 400 Ha pun tertutup lumpur dan pasir. Bahkan air pinggiran bendungan mulai dipenuhi tanaman liar.

perlu dibaca : Warga Sikka Mengkonsumsi Ubi Beracun. Apa Penyebabnya?

 

Pompa air dari sumurbor mengairi petak sawah di Desa Magepanda, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT yang sedang memasuki masa panen. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Manfaatkan Air Kali

Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Kristianus Amstrong kepada Mongabay Indonesia, Rabu (14/10/2020) mengakui kondisi lahan sawah yang tidak terpakai.

Amstrong menyebutkan, total lahan padi sawah di Kecamatan Magepanda yang merupakan lumbung beras di Kabupaten Sikka mencapai 966,6 hektare. Lahan sawah ini semuanya berproduksi saat musim hujan.

Memasuki musim kemarau, hanya seluas 628 hektare  lahan padi sawah yang bisa ditanami. Lahan 100 hektare ditanami jagung, kacang hijau dan kacang tanah sementara 30 hekater lainnya ditanami sayuran. Sisanya 100 hektare tidak digarap.

“Penggunaan sumur bor bisa membantu saat musim hujan ketika curah hujan tidak mencukupi. Saat musim kemarau, air sumur bor pun banyak yang kering,” ungkapnya.

Direktur Wahana Tani Mandiri (WTM) Carolus Winfridus Keupung kepada Mongabay Indonesia mengusulkan pemanfaatan air di Kali Magepanda. Menurut Win sapaannya, air kali ini tetap mengalir meski debitnya menurun.

Dia menyarankan, daripada terbuang ke laut, air kali disedot menggunakan mesin pompa berukuran besar lalu dialirkan ke saluran air di areal persawahan.

Dibangun saluran irigasi yang lebih tinggi di dekat kali lalu air disedot ke saluran ini dan mengalir ke saluran di areal persawahan yang lebih rendah.

Menurut dia, solusi jangka pendek memang mengebor air tapi kadang air tidak mengalir karena ketersedian air di dalam tanah sudah tidak ada.

“Pengunaan sumur bor yang berlebihan bisa menyebabkan intrusi atau perembesan air laut  ke dalam lapisan tanah sehingga terjadi percampuran air laut dengan air tanah. Tekanan di darat berkurang dan tekanan air laut lebih tinggi sehingga air laut masuk ke darat yang menyebabkan sumur bor yang dekat pesisir pantai airnya asin,” ungkapnya.

baca juga : Mimpi NTT Menjadi Ikon ‘Republik Sorgum’ (Bagian 2)

 

Areal persawahan di Desa Magepanda, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka,NTT yang berubah menjadi tempat pengembalaan ternak akibat kekeringan air. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Adaptasi Perubahan Iklim

Forum Peduli Penanggulangan Bencana (FPPB) Kabupaten Sikka berinisiasi mengundang kelompok tani, kepala desa dan LSM bertemu membahas dampak kekeringan dan ancaman rawan pangan.

Selaku ketua FPPB Sikka, Winfridus menyebutkan pihaknya menawarkan solusi jangka panjang untuk mengatasi ancaman rawan pangan.

Pemerintah diminta FPPB melakukan kegiatan adaptasi perubahan iklim khususnya pengembangan teknologi pertanian berkelanjutan. Namun tetap  mengedepankan teknologi lokal yang memungkinkan pengelolaan usaha tani berkelanjutan dengan memakai pupuk dan pestisida organik

Winfridus menyarankan, ada satu model adaptasi perubahan iklim yang dilakukan pemerintah dan dikembangkan di masyarakat. Misalnya mengembangkan terasering dan jebakan air seperti rorak dan lainnya.

“Saat ini banyak sawah-sawah mengalami kekeringan dan terjadinya perampasan air antara sesama petani. Banyak lahan sawah yang berubah fungsi menjadi lahan hortikultura karena terjadi kekurangan air,” ungkapnya.

FPPB Sikka juga meminta dilakukan penghijauan dengan menanam pepohonan di sekitar mata air. Beberapa kelompok masyarakat sudah melakukan hal tersebut sehingga diharapkan ini menjadi sebuah gerakan bersama agar debit mata air meningkat.

Winfridus juga mengharapkan agar pemerintah mengevaluasi kembali pemanfaatan sumur bor untuk menjaga ketersediaan aliran air di permukaan, pada sungai di musim kemarau.

Menurutnya, sumur bor berpengaruh terhadap ketersedian air di dalam tanah sebab semakin banyak disedot maka ketersediaan air di daerah hulu berkurang karena air lebih banyak mengalir ke daerah yang disedot.

“Di bawah tanah ada kapiler-kapiler tanah yang berhubungan dari hulu sampai ke hilir. Apabila air disedot maka air yang sebenarnya keluar melewati aliran permukaan yang biasanya dialirkan ke areal persawahan dari hulu sampai hilir tidak terjadi,” jelasnya.

Ia katakan, penyebabnya air lebih banyak muncul di areal sumur bor dan lebih banyak dimanfaatkan di daerah hilir sementara di hulu maupun di tengahnya akan berkurang.

Winfridus mencontohkan beberapa tempat seperti Done dan persawahan di areal hulu kekurangan air sementara areal persawahan di daerah hilir mengalami kelimpahan air.

“Kita ingin agar pengembangan pertanian bisa lebih baik sehingga kehidupan masyarakat dan ketersedian pangan pun menjadi lebih baik. Harus ada sebuah langkah perbaikan untuk jangka panjang mengingat dampak pemanasan global dan anomali iklim,” ungkapnya.

 

Exit mobile version