Mongabay.co.id

Hari Pangan Sedunia, Nobel Perdamaian dan Pangan untuk Perdamaian

Tanpa perdamaian, kita tidak dapat mencapai tujuan global kita yaitu nol kelaparan; dan saat ada kelaparan, kita tidak akan pernah memiliki dunia yang damai.

Begitulah poin penting yang menjadi dasar penganugerahan Nobel Perdamaian tahun 2020 kepada Program Pangan Dunia (World Food Program/WFP).

Kepala WFP David Beasley mengatakan kepada BBC Newshour bahwa dia terkejut setelah pengumuman itu. “I was literally for the first time in my life without words,” katanya. “To receive this award is a recognition to the men and women at the World Food Programme who put their lives on the line every day for the struggling, suffering people around the world. So I hope this is a signal and a message that the World Food Programme is a role model and that we all have got to do more.”

Untuk diketahui, bahwa Hari Pangan Sedunia sendiri diperingati setiap tanggal 16 Oktober, sebagai pengingat akan pentingnya nila pangan untuk keseluruhan umat manusia di muka Bumi.

Sekitar 107 organisasi dan 211 individu dinominasikan untuk penghargaan tahun ini. Kanselir Jerman, Angela Merkel, termasuk salah satu diantara mereka yang memberi selamat kepada kelompok tersebut. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) dan aktivis iklim Greta Thunberg termasuk di antara kandidat terkuat untuk menerima penghargaan tahun ini.

WFP didirikan pada tahun 1961, diinisiasi mantan Presiden AS, Dwight D. Eisenhower, untuk merancang skema pemberian bantuan pangan melalui sistem Persatuan Bangsa Bangsa. Beberapa bulan setelah dibuat, WFP turut menanggulangi gempa bumi besar di Iran utara, dengan mengirimkan bantuan pangan pokok kepada para korban.

Pemberian penghargaan Nobel Perdamaian kepada WFP adalah pengakuan Komite Nobel Norwegia atas kerja staf WFP yang mempertaruhkan nyawa mereka setiap hari untuk memberikan makanan dan bantuan bagi para korban konflik dan kerawanan pangan. Tahun lalu, WFP membantu sekitar 97 juta orang dan mendistribusikan 15 miliar jatah makanan di 88 negara.

Seiring dengan perubahan iklim dan guncangan ekonomi yang semakin buruk, – ditambah dengan dampak pandemi global, ketahanan pangan amat signifikan menjadi isu penting, kala redupnya ekonomi ikut mendorong jutaan orang ke ambang kelaparan.

Baca juga: Menjamin Ketahanan pangan dan Kelestarian Ekologi di Masa Pandemi

 

Petani bekerja di lahan persawahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perang bisa disebabkan oleh kelaparan, tetapi kelaparan juga merupakan konsekuensi perang. Kita tidak dapat mengakhiri kelaparan kecuali kita mengakhiri konflik.

Perekonomian yang hancur, pengangguran yang tinggi dan gaji yang tidak dibayarkan telah menghancurkan pendapatan dan mendorong orang-orang ke dalam hutang. Jutaan keluarga tidak memiliki apa-apa untuk hidup, mereka mengalami bencana kesenjangan makanan dan kekurangan gizi.

Saat prospek dunia semakin suram tahun ini karena pandemi COVID-19, telah membuat harga makanan menjadi lebih mahal dan rantai pasokan menjadi terganggu. Resesi global yang disebabkan oleh virus berisiko mendorong tambahan 83 juta hingga 132 juta orang ke dalam kelaparan, menurut laporan PBB pada bulan Juli 2020 lalu.

Di negara-negara seperti Yaman, Republik Demokratik Kongo, Nigeria, Sudan Selatan dan Burkina Faso, kombinasi konflik kekerasan dan pandemi pun telah menyebabkan peningkatan dramatis dalam jumlah orang yang hidup di ambang kelaparan.

Bukan rahasia jika dampak kelaparan telah digunakan sebagai senjata perang selama bertahun-tahun, meski masalah ini belakangan ini semakin mencuat seiring meningkatnya resiko kelaparan massal dalam berbagai konflik yang terjadi  belakangan ini.

Tindakan politik yang menyebabkan kelaparan dan kelaparan dapat dibagi menjadi tindakan commission, omission dan provision. Tindakan commission adalah serangan terhadap produksi pangan, pasar dan pembatasan pergerakan rakyat.

Omission adalah kegagalan untuk bertindak, seperti ketika bantuan pangan diblokir, sedangkan provision adalah pemberian bantuan secara selektif di satu sisi konflik.

Taktik serupa digunakan dalam krisis yang berkepanjangan lewat manipulasi pasar, perdagangan, dan bantuan yang lebih halus daripada serangan militer langsung. Perang melawan teror, kebangkitan pemerintahan otoriter, dan manuver geopolitik telah memperbesar masalah ini dan meningkatkan risiko kelaparan.

Baca juga: Melirik Talas sebagai Potensi Pangan Masyarakat Indonesia

 

Pangan menjadi kunci ketahanan bagi komunitas. Dalam konteks global pangan sering dijadikan komoditas ekonomi politik. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kaitan antara perang dan kelaparan diakui secara eksplisit dengan disahkannya resolusi Dewan Keamanan PBB pada tahun 2018, yang melarang penggunaan kelaparan sebagai senjata perang.

Sejak itu, WFP bekerja lebih aktif untuk memahami hubungan antara ketahanan pangan dan konflik dan bagaimana hal itu dapat berkontribusi untuk membangun perdamaian.

Susanne Jaspars, peneliti Pusat Studi Pangan SOAS London, menyarankan agar WFP dapat melakukan analisis dampak politik dan ekonomi yang lebih luas dan memasukkannya dalam cara pengambilan keputusan. Hal itu akan bermanfaat sebagai bagian dari perannya dalam meningkatkan kondisi perdamaian.

Konflik membutuhkan solusi politik dan kejahatan yang membuat banyak komunitas mengalami kelaparan massal perlu dituntut.

Salah satu operasi WFP yang paling sukses, adalah saat melakukan distribusi makanan besar-besaran di Darfur, Sudan, pada tahun 2005. Operasi ini secara efektif mampu mengurangi malnutrisi dan kematian di komunitas lokal, yang pada akhirnya mampu mendorong upaya diplomatik dan perundingan untuk memberi akses bahan pangan yang diperlukan.

Namun ada pula hal yang perlu diperhitungkan, bahwa intervensi WFP hanya sebatas memberi bantuan untuk mengatasi dampak kelaparan tapi tidak menjawab akar struktural kelaparan dan kekurangan gizi.

Ketergantungan yang berlebihan pada WFP juga dapat turut membebaskan politisi dari kesalahan yang mereka lakukan selama konflik, dan menyerahkan sepenuhnya musibah kelaparan di suatu negara (dengan rezim yang bersalah) kepada tanggung jawab komunitas internasional untuk memperbaikinya.

Dengan hadiah Nobel perdamaian yang diberikan, -dalam sorotan kacamata global, WFP seharusnya dapat menguak penyebab kelaparan di pusaran konflik agar menjadi semakin jelas terlihat. Sembari mengidentifikasi penyebab kejahatan kelaparan, ia dapat mempromosikan bantuan yang efektif yang spesifik dalam konteks tertentu, dan menggunakan kekuatannya untuk memberikan tindakan politis.

 

Referensi:

Nobel Peace Prize: UN World Food Programme wins for efforts to combat hunger, BBC News, 9 Oktober 2020

Susanne Jaspars, Nobel peace prize: hunger is a weapon of war but the World Food Programme can’t build peace on its own, The Conversation, 9 Oktover 2020

Yemen on the brink: conflict is pushing millions towards famine, Oxfam International, diakses pada 21 Oktober 2020.

Coronavirus could push up to 130 million people into chronic hunger, UN warns, The Globe and Mail, 13 Juli 2020

 

* Tri Wahyuni, penulis adalah peneliti di Institute for Population and National Security, artikel ini merupakan opini pribadi penulis.

 

 

Exit mobile version