Mongabay.co.id

Daya Beli Menurun di Tengah Pandemi, Senyum Nelayan Terkikis (bagian 1)

 

Pandemi COVID-19 di Indonesia, berdampak pada semua sektor kehidupan. Perikanan dan kelautan juga salah satu sektor yang sangat merasakan dampak dari virus yang mematikan tersebut.

Kebijakan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus seakan menghentikan seluruh aktivitas masyarakat. Akibatnya, banyak orang yang kehilangan pekerjaan, perusahaan banyak yang tutup.

Nelayan sebagai masyarakat pesisir juga merasakan dampak yang besar terhadap kehidupan dan aktivitasnya sehari-hari. Meskipun para nelayan tetap bekerja dengan hasil tangkapnya lumayan banyak, namun nilai jualnya sangat menurun, sehingga pendapatan pun menurun.

Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Takalar, Sulawesi-Selatan (Sulsel) ini,  memiliki 10 kecamatan dan berpenduduk 295.000 jiwa. Sembilan kecamatan diantaranya berada di daerah pesisir dan kepulauan yakni kecamatan Mangarabombang, Galesong Utara, Galesong Selatan, Mappakasunggu, Sanrabone, Polombangkeng selatan, Polongbangkeng Utara, Galesong dan Pattallassang, .

Khusus kecamatan Mangarabombang, ada empat desa yang penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani rumput laut yakni, Desa Punaga, Cikoang, Laikang, dan Lamangkia. Di masing-masing desa ada sekitar ratusan nelayan, yang setiap hari menghabiskan waktunya di tengah laut untuk mendapatkan ikan dan hasil laut lainnya.

baca : Derita dan Asa Nelayan Sulsel di Tengah Pandemi COVID-19 (bagian 1)

 

Kapal pengangkut ikan milik nelayan di Desa Lamangkia, Tope Jawa, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Foto : Andi Amriani Mansyur/Mongabay Indonesia

 

Zainuddin Dg. Nakku tersenyum ramah, saat perahu nelayan yang membawa ikan menghampiri daratan. Ditepi laut, puluhan pedagang ikan, pengumpul, dan pembeli menyambut gembira dua kapal pengangkut ikan yang datang.

Transaksi jual beli ikan di tepi laut Desa Lamangkia, Kecamatan Mangarabombang terdengar riuh. Antara nelayan dan pedagang, saling tawar menawar dengan harga relatif rendah. Pedagang mengambil dari tangan nelayan kemudian menjualnya kembali di pasar.

Dg. Nakku, warga Mangarabombang yang sehari-hari bekerja sebagai penjual ikan mengatakan harga ikan sangat jatuh selama pandemi COVID-19. Orang-orang yang biasanya datang ke pasar pun dibatasi. Harga ikan jatuh, dan kadang tidak laku. Sebelum pandemi, dia mampu menjual hingga dua keranjang untuk ikan kecil. Delapan bulan terakhir penjualan tidak sampai satu keranjang perhari.

Dia mengatakan harga ikan kembung Rp50.000 per lima ekor, sekarang jatuh Rp25.000 per lima ekor. Itupun kadang tersisa banyak sampai modal tidak kembali. “Tapi, mau bagaimana lagi. Ini sudah mata pencaharian kita, kalau tidak jual ikan tidak makan,” katanya, saat ditemui pada akhir Agustus 2020.

Lelaki berusia 50-an tahun ini telah menjual ikan sejak 15 tahun yang lalu. Sehingga sudah berpengalaman menghadapi pasang surutnya kehidupan sebagai masyarakat pesisir.  Dia mengaku baru kali ini, merasakan paceklik yang tiada bandingnya.

Sedangkan Daeng Sikki, nelayan asal kabupaten Takalar merasakan pandemi COVID-19 membatasi segala langkah dan aktivitas masyarakat. Tetapi, bagi nelayan hanya berpatokan pada arah mata angin. Bekerja atau tidak tergantung kemana angin membawanya. Bukan karena corona. Selama pandemi para nelayan di kabupaten Takalar tetap bekerja mencari ikan tidak peduli harga jualnya rendah.

Para nelayan dan penjual ikan di kabupaten yang terkenal dengan sebutan Butta Panrannuangku ini, tetap semangat meskipun hasil jerih payah mereka tidak sesuai dengan impian. Bukan hanya itu, bagi mereka yang hasil tangkapnya biasa di ekspor, selama delapan bulan kegiatan ekspor dihentikan.

Selain nelayan, petani rumput laut juga sangat merasakan dampak pandemi. Harga jual rumput laut biasanya Rp10.000/kg, jatuh sampai Rp.5.000/kg. Kondisi itu, menjadikan petani rumput laut di Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang hanya bisa tersenyum tipis. Penghasilan selama corona belum mampu mengobati rasa capek para petani. Padahal rumput laut di kabupaten Takalar merupakan komoditi dengan nilai jual tertinggi di bidang perikanan dan kelautan.

baca juga : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Dari Penggantian Wali Kota hingga Belitan ‘Patron Client’ Perikanan  [Bagian 1]

 

Rumput laut di Desa Punaga Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulsel. Rumput laut merupakan saah satu komoditas ekspor andalan kabupaten Takalar. Foto : Andi Amriani Mansyur/Mongabay Indonesia

 

Bantuan Nelayan

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Takalar, Sirajuddin Saraba, yang ditemui akhir Agustus membenarkan kondisi yang dialami para nelayan selama masa pandemi, sebenarnya semua daerah mengalami dampak yang sangat besar. Khusus sektor kelautan dan perikanan di kabupaten Takalar, secara khusus bantuan hampir dikatakan tidak ada dalam APBD. Selama pandemi untuk kebijakan anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) ada pemotongan sebesar 50%. Bahkan Dana Alokasi Khusus (DAK) juga hampir dihentikan.

Namun, dengan berbagai pertimbangan dan hasil komunikasi dengan pemerintah pusat sehingga dana DAK untuk kelautan dan perikanan dikembalikan. Tentu saja hal yang baik sebab sebagian besar program yang tercatat dalam DAK untuk membantu para nelayan. Seperti pengadaan perahu dengan besaran anggaran Rp420.000 untuk pengadaan 14 paket nelayan se-Kabupaten Takalar. Selain bantuan perahu, nelayan juga mendapatkan bantuan alat tangkap seperti gillnet atau jaring insang, pukat, millenium, pancing rawe, dan coolbox. Semua pengadaan alat bantu nelayan itu bersumber dari DAK dan DAU.

Untuk kehidupan nelayan, mantan Kepala Administrasi Pembangunan Kabupaten Takalar ini mengatakan nelayan yang berada di kabupaten Takalar tidak pernah merasa terdampak pandemi. Sebab semua hasil tangkapannya tetap terakomodir, pelelangan tetap buka. Para nelayan pun tetap berktivitas seperti biasanya. Hanya saja sektor hasil tangkap yang produksinya untuk ekspor sangat terkendala.

Pandemi seakan menghentikan ekspor semua komoditi hasil laut, sebab antara kerja sama DKP Takalar dengan salah satu perusahaan swasta yang memiliki sertifikat ekspor tiba-tiba terhenti karena corona. “Nah, saat kencang-kencangnya pandemi, perusahaan tersebut tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. Tetapi, sekarang ini mulai aktif kembali,” katanya. Karena itulah dia berharap, pandemi segera berlalu dan aktivitas normal kembali sehingga semua produk ekspor dari hasil laut bisa berjalan dengan baik.

Terkait bantuan yang diberikan kepada nelayan, Sirajuddin mengatakan, nelayan yang pada umumnya berada di daerah pesisir juga mendapatkan Bantuan Lagsung Tunai (BLT) dari pemerintah. Namun, bantuan tersebut hanya untuk nelayan yang memiliki Kartu Usaha Kelautan dan Perikanan (kartu Kusuka), atau yang terdaftar di DKP.

Pada pinsipnya, katanya, bantuan untuk nelayan itu sangat banyak, tidak hanya dari Dinas Kesehatan, juga dari dinas sosial melalui bantuan PKH juga ada bantuan dari desa. Nelayan yang berada di wilayah pesisir Takalar sudah tersentuh bantuan. “Itu merata karena semua nelayan terdata di desa bahkan mereka dimonitor. Kalau untuk BLT itu, mereka yang dapat khusus yang memegang kartu Kusuka sehingga tidak dobel menerima,” katanya.

perlu dibaca : Terdampak COVID-19, Nelayan Harus Diberi Perhatian Khusus

 

Ilustrasi. Nelayan menarik perahunya setelah melaut di perairan Pulau Barrangcaddi, Kota Makassar. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Produksi Perikanan

Berdasarkan data DKP Kabupaten Takalar, lanjut Sirajuddin, hasil produksi perikanan budidaya tahun 2017 hingga triwulan II tahun 2020, total nilai produksi sebesar Rp.2,67 triliun dengan total produksi 2,3 juta ton.

Komoditas dengan nilai produksi tertinggi di empat tahun terakhir adalah rumput laut jenis Eucheuma cottoni sebesar Rp2,26 triliun dengan harga rerata Rp.15 ribu/kg. Menyusul rumput laut Eucheuma spinosum dengan harga rerat Rp5 ribu/kg, dengan total nilai produksi Rp256 miliar.

Menurutnya, total poduksi komoditas setiap tahun mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hasil produksi tahun 2017 menjadi yang terbesar selama empat tahun terakhir, yaitu 1.004.435 ton. Sementara di tahun 2018 menurun drastis di angka 543.846 ton. Tahun 2019 menurun hanya 458.568 ton. Untuk triwulan II 2020 ini, angkanya baru mencapai 295.321 ton. “Penurunan drastis di tahun 2018 disebabkan oleh cuaca panas yang sangat ekstrim,” katanya.

Untuk komoditas udang, produksi di tahun 2017 mencapai 4.516 ton. Sementara di tahun 2018 turun menjadi 1.908 ton. Begitu juga pada tahun 2019 jumlah produksi jenis udang windu dan vaname hanya mencapai 1.107 ton. Sementara pada triwulan ke II tahun ini, produksi komoditas udang diangka 643 ton.

Hal serupa juga dialami komoditi rumput laut, dimana pada tahun 2017 produksi mencapai 996.550 ton. Tahun 2018 hasil produksi menurun di angka 538.680 ton. Tahun 2019, terjadi persentase penurunan di atas 15%, dengan produksi 455.198 ton. Untuk semester pertama tahun ini, capaian produksi berada di angka 292.882 ton.

Dua komoditas yang termasuk baru dikembangkan adalah jenis rumput laut Lawi-lawi dan rumput laut Gigaz. Tahun 2019, produksi lawi-lawi mencapai 217 ton, sementara komuditas gigaz mencapai 17.998 ton. Namun di Triwulan II 2020, produksi kedua komuditas tersebut nampak turun, dengan produksi lawi-lawi di angka 84 ton dan Gigaz sebanyak 7.259 ton.

 

Inilah lawi-lawi, varian rumput laut jenis Caulerpasp bernilai ekonomis tinggi. Pemerintah menggenjot produksi lawi-lawi sebagai salah satu unggulan produk ekspor untuk memenuhi target produksi sebesar 22,46 juta ton dari sektor budidaya perikanan KKP. Foto : DJPB KKP

 

Senada dengan itu, Kepala Seksi Sarana dan Prasarana DKP Kabupaten Takalar Muh Ikbal mengatakan, di triwulan II tahun 2020, produksi budidaya tambak, laut dan air tawar rata-rata mengalami penurunan. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang menurun setelah adanya pandemi COVID-19.

“Hampir semua kecamatan yang ikut berkontribusi dalam memproduksi komuditas mengalami penurunan. Untuk total produksi di triwulan I Tahun 2020 sebesar 157.338 ton. Sementara di triwulan II, produksi menurun hingga 12,3 %, menjadi 137.982 ton,” katanya.

Triwulan pertama tahun 2020, Ikbal menjelaskan, produksi budidaya tambak khususnya untuk udang windu di angka 85,5 ton, udang vename 242 ton, rumput laut jenis gracilaria 23.295, 3 ton. Sementara ikan bandeng sebanyak 940,7 ton. Kecamatan Mangarabombang sebagai satu-satunya wilayah penghasil komoditi lawi-lawi memproduksi 45,1 ton.

Untuk budidaya laut, empat kecamatan, masing-masing Kecamatan Mappakasunggu, Mangarabombang, Sanrobone dan Galesong Utara. Produksi rumput laut gigaz dari empat wilayah tersebut sebanyak 3.621,2 ton, rumput laut Eucheuma spinosum 3.621 ton dan Eucheuma cottoni 94.514 ton.

Sementara budidaya air tawar, produksi komoditas tersebar di lima kecamatan, masing-masing Sanrobone, Pattalassang, Polongbangkeng Selatan, Polong Bangkeng Utara dan galesong Selatan dengan rincian, nila sebanyak 1,8 ton, lele 6,5 ton dan ikan mas sebanyak 0,4 ton.

Triwulan II 2020, hanya dua produksi komuditas yang angkanya mengalami kenaikan, yaitu Udang Vename sebesar 245,4 ton, naik sebesar 3,4 ton dan di budidaya laut untuk komuditas rumput laut Gigaz sebesar 3.638,6 ton. Sementara komuditas jenis lainnya mengalami penurunan yang bervariasi.

Ikbal mengatakan selama pandemi, tidak pernah mendengar keluhan dari para nelayan baik itu masalah kesehatan, air bersih ataupun terkait aktivitasnya. Namun, yang menjadi masalah hanya pemasaran hasil tangkapnya yang Rp60.000 menjadi Rp50.000. Untuk cumi-cumi harganya stabil.

 

Fikram petani rumput laut berusia 38 tahun, di Desa Bo’dia, Kecamatan Mangarabombang, Takalar, Sulsel, sudah menggeluti pekerjaannya selama enam tahun. Foto : Andi Amriani Mansyur/Mongabay Indonesia

 

Telur ikan terbang, rata-rata aktivitas penangkapan nelayan untuk jenis komoditi ini di area Fakfak, Irian Jaya. Sementara Bupati Fak-fak telah menyurat ke DKP kabupaten Takalar, untuk menghentikan aktivitas selama masa pandemi. Mereka mengharapkan nelayan Takalar yang biasa melaut ke Fak-fak diimbau agar tidak melakukan kegiatan tersebut.

“Pertimbangannya seperti itu, mereka tidak mampu mengontrol orang yang masuk dari luar, dan itu sangat berdampak. Kami berkoordinasi dengan Syahbandar di Beba, Galesong memang dia tidak memberikan izin untuk beraktivitas di jalur itu. Kecuali kalau nelayannya nakal pasti mereka menyeberang,” katanya.

Dia mengatakan sebenarnya sangat gampang melihat seperti apa pengaruh pandemi terhadap nelayan, cukup berkunjung ke pelelangan dan pasar. Jika pasar sudah tidak tersedia ikan maka itulah pengaruh besar. Tetapi selama pandemi ikan tetap tersedia artinya nelayan masih tetap melaut. Sehingga DKP menyimpulkan hanya distribusi yang terhambat selama pandemi karena penjual ikan atau biasa disebut pagandeng sangat dibatasi. Selain itu, dia juga menyebutkan jumlah nelayan yang terdaftar di DKP kabupaten Takalar sebanyak 7.564 orang dan jumlah petani rumput laut sebanyak 3.200 orang.

 

*Andi Amriani Mansyur. Jurnalis indonesiainside.com, Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version