Mongabay.co.id

Mewujudkan Kedaulatan dan Ketahanan Pangan dari Perikanan

 

Kedaulatan pangan masih menjadi salah satu fokus Pemerintah Indonesia yang ingin dijaga dan dilindungi dengan baik. Upaya tersebut diwujudkan, salah satunya dengan memberikan perlindungan terhadap sumber daya hayati ikan yang ada di seluruh Nusantara.

Selain itu, upaya perlindungan juga diberikan terhadap lingkungan perairan dari introduksi agen-agen, organisme, atau mikroorganisme berbahaya yang dapat berpindah tempat melalui lalu lintas perdagangan. Cara tersebut menjadi upaya nyata dalam menjaga kedaulatan pangan di Tanah Air.

Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM KKP) Rina mengatakan, agar perlindungan bisa efektif terwujud, pihaknya tengah menyiapkan draft notifikasi regulasi impor yang mengatur berbagai jenis ikan dan penyakit ikan berbahaya.

“Itu semua dicegah masuk ke wilayah teritori Indonesia melalui kegiatan importasi,” jelas dia pekan lalu di Bogor, Jawa Barat.

Menurut Rina, pengiriman draf notifikasi tersebut harus dilakukan Indonesia, karena itu menjadi salah satu kewajiban negara anggota untuk bisa memberikan informasi kepada Sekretariat Organisasi Perdagangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WTO) tentang peraturan yang bisa memengaruhi lalu lintas perdagangan komoditas di dunia.

Selain sebagai bentuk kewajiban anggota, pengiriman notifikasi kepada WTO juga menjadi wujud transparansi dan sekaligus sebagai implementasi kesepakatan bersama dengan negara-negara anggota WTO lainnya.

baca : Keamanan Pangan Produk Perikanan, Kunci Bersaing di Pasar Internasional

 

Rapat yang diselenggarakan KKP untuk menyiapkan Notifikasi Pengaturan Impor ke WTO. Foto : KKP

 

Dalam kesepakatan, Rina memaparkan bahwa setiap negara anggota diwajibkan untuk menembuskan kebijakan terbaru yang ada di negara masing-masing, terkait bidang perdagangan yang ditetapkan dari undang-undang, peraturan, ataupun regulasi.

Kepala Pusat Karantina Ikan (Puskari) KKP Riza Priyatna menambahkan, pengiriman notifikasi dari Indonesia untuk WTO, menegaskan bahwa Pemerintah fokus untuk menjaga kedaulatan pangan dengan berbagai upaya yang dilakukan.

“Jika notifikasi diumumkan oleh WTO, maka setiap negara anggota yang akan melakukan ekspor ikan ke Indonesia harus menjamin bahwa komoditas mereka bebas dari penyakit ikan yang ada dalam peraturan tersebut,” ungkap dia.

Adapun, draf notifikasi yang dikirimkan kepada WTO, di dalamnya menyebutkan 28 penyakit karena virus, 5 bakteri, 3 jamur pathogen dan 6 parasit. Termasuk, penyakit yang masih menghantui industri udang yaitu Covert Mortality Nodavirus (CMNV), Decapod Iridescent Virus I (DIV I), dan Vibrio Parahaemolitycus (Vp AHPND) penyebab penyakit Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND).

Menurut Riza, penyampaian notifikasi daftar penyakit ikan kepada WTO akan dilakukan melalui kegiatan National Notification Body Indonesia. Kebetulan, BKIPM KKP saat ini resmi ditunjuk sebagai National Enquiry Point Indonesia untuk bidang perikanan.

baca juga : Benarkah Regulasi Impor Ikan Masih Longgar?

 

Kepala BRSDM KKP Sjarief Widjaja (depan) menangkap ikan saat meninjau lahan SPEECTRA, di Muara Enim, Sumatera Selatan, Sabtu (17/10). Foto : KKP

 

Ketahanan Pangan

Saat kedaulatan pangan berusaha dijaga, di saat yang sama upaya menjaga ketahanan pangan juga berusaha dilakukan Pemerintah Indonesia. Upaya itu, salah satunya dilakukan dengan memanfaatkan perairan rawa banjiran (flood plain area) yang ada di Indonesia

Adalah Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP yang melaksanakan upaya tersebut melalui pengembangan model pengelolaan Special Area for Conservation and Fish Refugia (SPEECTRA).

Menurut Kepala BRSDM KP Sjarief Widjaja, pengembangan SPEECTRA dilatarbelakangi banyaknya perairan rawa banjiran di Indonesia dan belum dimanfaatkan. Kondisi itu salah satunya dijumpai di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.

Padahal, perairan rawa banjiran diyakini memiliki posisi strategis dan berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawning), pembibitan (nursery), dan tempat mencari makan (feeding ground) untuk ikan. Dengan kata lain, rawa banjiran bisa bermanfaat untuk pemenuhan sumber pangan dari ikan.

“Sekaligus untuk memenuhi kebutuhan gizi dari protein ikan,” tutur dia.

Dalam melaksanakan pemanfaatan rawa banjir, Sjarief menyebutkan bahwa optimalisasi pengelolaan di perairan rawa menjadi upaya yang bagus untuk mendorong peningkatan produksi ikan. Caranya, adalah dengan memaksimalkan fungsi lebung (genangan dalam) buatan untuk kebutuhan tersebut.

perlu dibaca : Ikan Gabus yang Terusir dari Rawa dan Sungai

 

Kepala BRSDM KKP Sjarief Widjaja (jongkok, dua dari kanan) menebar benih ikan saat meninjau lahan SPEECTRA, di Muara Enim, Sumatera Selatan, Sabtu (17/10). Foto : KKP

 

Walau menyimpan potensi manfaat yang besar, rawa banjiran juga diketahui sebagai ekosistem yang bisa lebih cepat rusak dan hilang dibandingkan dengan ekosistem lain. Kemudian, rawa banjiran juga rentan terhadap perubahan langsung seperti konversi lahan pertanian atau permukiman.

Selain itu, rawa banjiran juga rentan terhadap perubahan kualitas air sungai yang mengaliri ke dalam rawa. Akibatnya, keanekaragaman ikan lebih cepat mengalami penurunan dibandingkan dengan ekosistem lain.

“Kerusakan lingkungan ini diindikasikan dengan rendahnya keanekaragaman ikan dan besarnya dominasi komunitas ikan oleh spesies ikan kecil,” sebut Sjarief.

Jika ancaman kerusakan, kehilangan, dan perubahan habitat banyak terjadi di kawasan rawa, terutama di Sumsel, maka dikhawatirkan kepunahan berbagai jenis ikan ekonomi akan berwujud nyata. Selama ini, ikan-ikan tersebut menjadi target tangkapan nelayan Wong Kito Galo.

Sebut saja, ikan belida sumatera (Chitala hypselonotus), ikan gabus (Channa striata), dan ikan toman merah (Channa moruloides) yang selama ini menjadi tangkapan favorit nelayan setempat dan perlu mendapatkan perhatian khusus.

“Karakteristik rawa banjiran di Sumsel ini memang sangat menarik. Pada saat musim hujan akan menjadi rawa besar, yang airnya menutup semua permukaan. Pada saat musim kemarau air akan hilang dan akan tersisa di ceruk-ceruk kecil tempatnya ikan,” kata dia.

Melalui pengembangan SPEECTRA, Pemerintah ingin melihat sejauh mana ikan endemik asli Sumsel, dan Indonesia bisa terus bertahan hidup di kawasan rawa yang ada di Patra Tani, Muara Enim. Untuk itu, tidak hanya menebar benih, Patra Tani juga diharapkan bisa menjadi tempat indukan untuk berkembang biak ikan secara berkelanjutan.

“SPEECTRA ini merupakan yang pertama di Sumsel dan tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan di daerah lainnya sebagai tempat sumber plasma nutfah untuk lingkungan sekitarnya.,” pungkas Sjarief.

baca juga : Menjadikan Sumsel Lumbung Pangan, Haruskah Banyak Sawah di Rawa Gambut?

 

Kepala BRSDM KKP Sjarief Widjaja (tengah) menanam bibit pohon saat meninjau lahan SPEECTRA, di Muara Enim, Sumatera Selatan, Sabtu (17/10). Foto : KKP

 

Rawa Marjinal

Terpisah, Kepala Pusat Riset Perikanan Yayan Hikmayani mengatakan bahwa Patra Tani merupakan wilayah lahan rawa marjinal, yang telah dimodifikasi dan dikerjakan oleh Balai Riset Perikanan Perairan Umum dan Penyuluh Perikanan (BRPPUPP) Palembang.

Hasil modifikasi tersebut kemudian dijadikan percontohan suatu model pengelolaan perikanan dengan sistem rawa banjiran. Model pengelolaan yang disebut SPEECTRA ini, sebagai suatu bentuk modifikasi lahan rawa yang mengutamakan konservasi dan sebagai tempat refugia ikan-ikan rawa banjiran.

Refugia adalah suatu area di mana populasi organisme dapat bertahan hidup melalui periode kondisi yang tidak menguntungkan. Dengan demikian, SPEECTRA merupakan model ekosistem rehabilitasi buatan pada daerah dataran banjir yang berupa lebung-lebung.

Kepala BRPPUPP Arif Wibowo menerangkan, SPEECTRA dibangun sejak 2019 di atas lahan 3 hektare yang menjadi percontohan. Pembangunan tersebut dilakukan melalui tiga tahap dan akan dikembangkan hingga seluas 40 ha.

Pada 2020 ini, adalah tahun evaluasi pertama bagi SPEECTRA 1, dimana diduga ikan yang akan terperangkap adalah Sepat Siam (Trichogaster pectoralis), Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus), Gabus (Channa striata), Betok (Anabas testudineus), Tambakan (Helostoma temminckii), Lele (Clarias spp.), dan Sepatung (Peristolepis fasciatus).

Menurut BRPPUPP, jika berhasil menerapkan SPEECTRA, maka nelayan akan bisa meningkatkan pendapatannya hingga mencapai Rp100 juta per model per tahun. Dengan potensi tersebut, SPEECTRA tak hanya menjadi sumber konservasi, tapi juga sumber ekonomi yang menjanjikan.

 

Exit mobile version