Mongabay.co.id

Refleksi dari Monumen Kegagalan Proyek Energi Bersih di Bali

 

Ada banyak target pemerintah mewacanakan kembali Bali menjadi pulau energi bersih. Sebelum memulai megaproyek energi-energi lain, jangan lupa berkaca pada monumen kegagalan proyek energi bayu dan surya di Nusa Penida.

Puncak Mundi, kawasan bukit tertinggi sekitar 500 mdpl di Pulau Nusa Penida ini bisa disebut monumen pengingat agar energi bersih jangan lagi jadi pemanis bibir. Sembilan kincir angin setinggi 30 meter itu tak menghembuskan energi walau masih berdiri tegak dengan kondisi kipas keropos.

Ditargetkan memproduksi energi sekitar 700 KW, sembilan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) ini diresmikan November 2007, sebulan sebelum Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Umurnya sangat pendek, kurang dari dua tahun kemudian berhenti total sampai kini dengan alasan tak ada suku cadang.

Gedung-gedung tempat perawatan dan lokasi tiap PLTB yang dibangun berserak di beberapa titik di Puncak Mundi ini sebagian hancur, dipenuhi tanaman liar. Ada juga puluhan panel surya yang masih terpasang, terlihat masih utuh, namun kondisi sekitarnya buruk.

Warga sekitar seolah sudah melupakan masa lalu, mimpi untuk jadi kawasan teraliri listrik energi terbarukan. Secara geografis, Puncak Mundi indah karena dari sini panorama samudera, sebagian daratan Nusa Penida, Gunung Agung, dan pulau Lombok terlihat. Sutama, warga sekitar mengingat PLTB pertama suara baling-balingnya cukup keras seperti gemuruh.

PLTB pun terlihat artistik, berpadu dengan bebukitan sekitarnya dan lautan. Tak memerlukan banyak lahan seperti PLTS. Bahkan, ketika dipotret dalam kondisi mengenaskan pun, tiang PLTB dan baling tersisa masih eksotis berpadu dengan pepohonan dan biru langit.

baca : Pada 2022, Bali Menargetkan Energi Bersih

 

Dua pembangkit energi bersih yang layu sebelum berkembang, PLTB dan PLTS di Nusa Penida ini jadi refleksi dari wacana-wacana dan megaproyek lain energi bersih. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Regulasi Baru Energi Bersih

Monumen kegagalan dini proyek besar energi bersih ini jadi pengingat karena pemerintah berencana buat proyek energi besar lainnya. Perlukah alternatif pemodelan lain yang lebih berkelanjutan?

Pemerintah Povinsi Bali merilis dua regulasi untuk mewujudkan pasokan energi bersih pada 2022. Kedua peraturan ini saling berkaitan, yaitu Peraturan Gubernur Bali No.45/2019 tentang Bali Energi Bersih dan Peraturan Gubernur Bali No.48/2019 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.

Gubernur Bali Wayan Koster merilisnya pada November 2019 lalu di Denpasar. Ia menyebut ada lima program prioritas pembangunan energi bersih di Bali, di antaranya pembangkit dan penggunaannya, pembangunan transportasi ramah lingkungan, dan pembangunan Politeknik serta Pusat Studi energi bersih di Kabupaten Bangli.

Peraturan Gubernur No.45/2019 tentang Bali Energi Bersih terdiri dari 11 Bab dan 33 Pasal dengan semangat pemenuhan semua kebutuhan energi di Bali secara mandiri dan ramah lingkungan menggunakan sumber energi baru dan terbarukan.

Sumber energi terbarukan ini adalah sinar matahari, tenaga air, angin, panas bumi, biomassa, biogas, sampah di kota/desa, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, serta bahan bakar nabati cair.

baca juga : Menguji Pergub Energi Bersih Bali, Bagaimana Implementasinya?

 

Deretan PLTB terlihat berdiri di sejumlah titik bebukitan Puncak Mundi Nusa Penida, didirikan di era Presiden SBY pada 2007, namun beroperasi sangat singkat dan mangkrak sampai kini. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Peraturan Gubernur ini juga mengatur tentang pengembangan Bangunan Hijau, bangunan yang memiliki keseimbangan antara energi yang dihasilkan serta energi yang digunakan (zero energy building). Bangunan Hijau yang akan dikembangkan adalah yang memiliki karakter tropis dan sesuai dengan arsitektur tradisional Bali.

Desain atau tata letak bangunan memanfaatkan sinar matahari secara optimal, penggunaan material bangunan ramah lingkungan, alat kelistrikan dan transportasi dalam gedung yang hemat listrik, sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Juga diwacanakan efisiensi sumber daya air meliputi pemakaian air, daur ulang limbah air, penggunaan peralatan saniter hemat air, dan pengolahan sampah dan air limbah sesuai dengan prosedur.

Pengembangan Bangunan Hijau ini akan menyasar bangunan pemerintah pusat dan daerah, serta bangunan komersial, industri, sosial dan rumah tangga dengan luas lantai lebih dari 500 meter persegi. Pemasangan PLTS Atap dan pemanfaatan teknologi surya lainnya pada bangunan-bangunan tersebut dilakukan pada tenggat waktu beragam, dari 2021 hingga 2024.

Bangunan industri, komersial, dan mall yang menggunakan listrik bersumber dari energi bersih secara proporsional memperoleh tarif listrik khusus/tarif hijau dari pelaku usaha ketenagalistrikan. Misalnya luas lantai lebih dari 1.000 meter persegi, bangunan resort dengan luas lahan lebih dari 3.000 meter persegi dan bangunan hotel bintang 4 ke atas.

Pelaku usaha ketenagalistrikan harus melakukan konversi pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan/atau bahan bakar minyak ke pembangkit listrik energi bersih. Konversi dilakukan dalam jangka waktu yang disepakati oleh pelaku usaha ketenagalistrikan dengan pemerintah daerah dan/atau paling lama sesuai umur ekonomis pembangkit.

Target bauran energi adalah gas sekitar 60% (saat ini sekitar 20%), dan PLTS sekitar 5%. Sisanya EBT lainnya. Keutuhan optimal listrik Bali sekitar 920 MW, dan ketersediaannya 1200 MW, jadi masih surplus dengan pasokan sekitar 40% dari Jawa. Namun dengan Pergub ini, Gubernur Bali bertekad mengurangi pasokan listrik berbasis batubara.

perlu dibaca : Begini Ironi Membumikan Energi Bersih di Bali

 

Rumah Belajar di Banjar Nyuh Kukuh, Nusa Penida, Bali, yang digagas kelompok warga dan LSM ini sedang mempelajari produksi biogas dan PLTS yang dimulai tahun ini. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Peraturan Gubernur No.48/2019 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai. Terdiri dari 17 Bab dan 25 pasal.

Kebijakan percepatan penggunaan KBL Berbasis Baterai diarahkan untuk menjaga kelestarian lingkungan alam Bali, mendukung program pemerintah untuk efisiensi energi dan pengurangan polusi di bidang transportasi. Juga mendorong kesiapan infrastruktur kendaraan listrik di Bali untuk percepatan peralihan dari kendaraan berbahan bakar minyak fosil ke KBL Berbasis Baterai.

Strategi percepatan penggunaan KBL Berbasis Baterai dilakukan di antaranya melalui kewajiban penggunaan KBL Berbasis Baterai pada instansi pemerintah, otorita pengelola kawasan, BUMN/BUMD, serta perusahaan yang bergerak di bidang angkutan umum secara bertahap.

Saat ini Bali masih menggantungkan listriknya terutama dari pembangkit listrik berbahan batubara dan diesel. Dalam kasus terakhir, warga justru kalah ketika menggugat izin lingkungan yang dikeluarkan Gubernur Bali sebelumnya terkait pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Celukan Bawang yang menggunakan batubara.

Di Kubu, Kabupaten Karangasem, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) juga mangkrak. Salah satu dari tiga proyek percontohan pembangkit listrik tenaga terbarukan pada zaman Presiden SBY.

Berada di lokasi seluas 1,2 hektar dengan kekuatan listrik yang dihasilkan sebesar 1 MWP, PLTS Kubu pun digadang-gadang sebagai PLTS terbesar di Indonesia pada saat itu.

penting dibaca : PLTS Kubu, Proyek Ambisius yang Kini Tidak Terurus

 

Seorang anak melintas di kompleks PLTS Kubu, Karangasem, Bali, yang kondisinya memprihatinkan dengan banyaknya alat dan panel surya yang rusak. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Proyek kecil kolektif

 Sebuah rumah belajar di Banjar Nyuh Kukuh, Nusa Penida baru saja memasang instalasi panel surya di atap dan biogas dari limbah ternak dan manusia. Di dapur terlihat pipa-pipa yang tersambung dengan kompor, mengalirkan gas dari rangkaian instalasi biogas di samping kandang sapi.

Wayan Karta, pengelola rumah belajar ini mengatakan sedang mempelajari beberapa model produksi energi bersih. Memanfaatkan potensi cuaca panas dan kering di Nusa Penida serta banyaknya ternak. Beberapa panel PLTS dipasang oleh Agung Kayon, seorang arsitek yang fokus pada kampanye energi matahari.

 Sementara di Kota Denpasar ada Noja Bali Hidroponik yang menggunakan panel surya untuk menggerakkan mesin distribusi air dan nutrisi di kebunnya. Sudut yang menonjol adalah istalasi bunga matahari dari kerangka besi berwarna kuning cerah yang dipasangi lembaran Photovoltaics (PV). Lebih populer dengan istilah panel surya atau solar cell yang mengubah energi cahaya jadi tegangan/voltase.

Pasangan suami istri yang merintisnya, Ida Ayu Alit Maharatni dan Ida Bagus Made Purwanasara juga memanen energi matahari di rumah dan kantor sendiri. Mereka membuat perusahaan yang menyediakan jasa serta istalasi solar panel di bawah bendera PT Negeri Matahari Mandiri bersama dengan salah satu tokoh praktisi energi matahari, Gung Kayon. Melalui koperasi, mereka menyediakan kredit energi terbarukan bagi warga yang ingin memasang insatalasi sendiri.

baca : Uniknya Kebun Hidroponik Tenaga Surya di Noja Bali

 

Rangkaian panel surya di Noja Bali Hidroponik, Denpasar, Bali, yang dibentuk seperti bunga matahari sebagai sumber energi penggerak pompa irigasi hidroponik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Karena kegagalan sejumlah megaproyek energi bersih ini, sejumlah peneliti berusaha cari alternatif implementasinya untuk jangka panjang. Hal ini terangkum dalam buku laporan berjudul Transisi Energi Berbasis Komunitas di Kepulauan dan Wilayah Terpencil. Diterbitkan oleh Pusat Studi Energi UGM, 2019.

Salah satunya Nusa Penida, para peneliti di buku ini menyebutnya sebagai pulau yang traumatis dengan proyek energi terbarukan. Karena itu dibutuhkan sebuah inovasi implementasi energi terbarukan sehingga dapat diterima oleh masyarakat dan terus berlanjut.

Dikutip dari laporan ini, agar warga lokal mempunyai rasa memiliki, implementasi teknologi energi terbarukan harus mempunyai nilai tambah (added value). Misalnya untuk pembuat minyak kelapa di Desa Batukandik dan kain tenun Desa Tanglad.

Proses pembuatan minyak kelapa di Nusa Penida berpotensi untuk didukung oleh energi terbarukan, mengingat kebutuhan energi untuk mesin parut kelapa hanya sekitar 200 W. Jika alat parut ini digunakan paling tidak satu jam per hari, maka hanya diperlukan satu panel surya 100 WP untuk memenuhi kebutuhan produksi minyak kelapa.

Sementara itu, titik masuk intervensi energi terbarukan untuk desa Tanglad adalah teknologi panel surya. Meskipun proses pembuatan tenun tidak memerlukan listrik kecuali untuk penerangan, teknologi panel surya disebut dapat digunakan untuk mendukung proses pemasaran digital kain tenun Tanglad.

Nusa Penida mempunyai potensi energi terbarukan besar, salah satunya potensi biogas karena jumlah hewan ternak di Nusa Penida cukup banyak. Mayoritas masyarakat Nusa Penida memiliki hewan ternak baik sapi, kambing, maupun babi. Biogas berasal dari proses fermentasi kotoran ternak yang ditampung di dalam sebuah digester. Gas yang dihasilkan di dalam digester kemudian dapat digunakan sebagai bahan bakar. Untuk dapat mengoptimalkan instalasi biogas, idealnya ternak dikandangkan sehingga kotoran dapat terkumpul. Namun, mengubah kebiasaan masyarakat dalam menggembalakan ternak merupakan sebuah tantangan. Masyarakat terbiasa menggembalakan ternak di kebun agar ternak mencari makan sendiri.

Nyoman Parta, anggota DPR dari Bali di Komisi VI seperti dikutip dari Sura Dewata  pada reses soal energi di Bali pada 15 Oktober 2020 menyebut khawatir Bali krisis listrik karena megaproyek jaringan Jawa-Bali baru rampung 2024 sementara pengembangan energi baru terbarukan (EBT) belum terlihat hasilnya.

Transmisi 500 kV Jawa Bali Connection disebut akan membawa listrik 1.600 MW dari Jawa untuk memperkuat pasokan listrik di Bali. Namun proyek itu direncanakan rampung pada 2024. Menurutnya PLN perlu memantapkan rencana EBT dalam mengatasi ancaman krisis listrik tersebut. “Walaupun volumennya kecil, Bali memiliki potensi energi surya, energi panas bumi, energi bayu,” sebutnya.

 

Exit mobile version