Mongabay.co.id

Jalan Sunyi Abdul Haris Mustari Meneliti Anoa

 

 

Ketika mendengar nama anoa, pikiran kita akan tertuju pada pulau di bagian tengah Indonesia, yaitu Sulawesi. Tak banyak yang bisa melihat langsung satwa ini, bahkan orang Sulawesi sendiri.

Abdul Haris Mustari, dosen pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor [IPB], sudah 26 tahun meneliti anoa [bubalus spp.]. Akhir 2019, dia merilis buku berjudul “Ekologi, Prilaku, dan Konservai Anoa”, yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak untuk melestarikan anoa yang langka, endemik, serta dilindungi.

Bagaimana pandangan Abdul Haris Mustari terhadap kehidupan anoa saat ini? Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia yang dilakukan pada 20 Oktober 2020.

Baca: Melacak Leluhur Anoa di Sulawesi

 

Abdul Haris Mustari yang telah meneliti anoa selama 26 tahun. Foto: Dok. Abdul Haris Mustari

 

Di mana Anda menghabiskan masa kecil hingga pertama kali tertarik Anoa?

Saya lahir di Bone, Sulawesi Selatan, menghabiskan masa kecil dan remaja di desa, dari sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas. Saya sudah terbiasa dengan lingkungan sawah, kebun, sungai, dan masyarakat pedesaan.

Saya melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur bebas tes PMDK. Ketika naik tingkat dua, saya memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama kuliah kami banyak belajar mengenai konservasi alam, konservasi hutan dan bagaimana melestarikan keanekaragaman hayati termasuk satwa liar. Kami sering melakukan praktik kerja lapang dan praktikum di hutan, termasuk hutan di Jawa Barat, Jawa Timur, serta di Kepulauan Seribu.

Suatu saat, tahun ke-3 kuliah, ada praktik kerja lapangan di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta, dan untuk pertama kalinya saya melihat langsung anoa. Saya tertarik, mengamatinya lebih dari satwa lain, seolah ada ikatan batin. Ternyata benar, dari sini perjalanan panjang saya meneliti anoa dimulai.

Morfologi anoa tidaklah menarik, karena sepintas mirip kerbau kerdil atau sapi kecil. Namun sebagai orang asli Sulawesi, nama anoa sudah sering saya dengar, bahkan sewaktu masih di sekolah dasar.

Di IPB, kami mendapatkan mata kuliah khusus mengenai pelestarian satwa. Tapi, ketika memilih judul tugas akhir, skripsi, saya meneliti ekologi hutan mangrove dan keanekaragaman burung air di delta Sungai Cimanuk, Indramayu. Dosen pembimbing saya waktu itu Prof. Hadi S. Alikodra, menyarankan saya meneliti ekosistem hutan mangrove dan burung air yang ada di daerah Indramayu-Cirebon itu.

 

Anoa hitam. Foto: Dok. Abdul Haris Mustari

 

Kapan pertama kali Anda melakukan penelitian anoa?

Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, saya diterima menjadi dosen muda di almamater saya, dan mengajar mata kuliah Ekologi Satwa Liar, menjadi dosen junior Prof. Hadi S. Alikodra.

Setelah menjadi dosen, saya dapat kesempatan melanjutkan pendidikan magister di Jerman dengan beasiswa dari badan kerja sama teknik Jerman, GTZ. Saya kuliah di George-August Universitat di Gottingen.

Ketika mengajukan judul thesis ke dosen pembimbing Prof H.J. Weidelt dan Dr. Schneider, saya memilih populasi dan perilaku anoa di Sulawesi. Awalnya Prof H.J. Weidelt tidak menyetujui, karena bakal sulit meneliti anoa secara langsung di hutan. Saya bersikeras, akhirnya dia mengizinkan meski berat hati.

Sepulang dari Jerman, saya langsung ke Sulawesi dan tinggal di hutan selama delapan bulan. Setelah data lapangan terkumpul, saya kembali ke Gottingen untuk menyusun thesis. Alhamdulillah saya lulus tepat waktu. Setelah menyelesaikan Master of Science [MSc], saya kembali ke Indonesia, mengajar di IPB. Karena saya sudah punya bahan, saya rajin menulis publikasi ilmiah, ikut seminar, konferensi, dan workshop mengenai anoa.

Beberapa tahun kemudian saya mendapatkan beasiswa dari AusAID untuk melanjutkan pendidikan doktoral di University of New England [UNE], Australia, pada bidang Natural Resources Management. Saya memilih topik penelitian anoa, untuk memperdalam ekologi dan konservasinya. Untuk penelitian itu, saya tinggal dua tahun di hutan tropis Sulawesi Tenggara, satu habitat terbaik anoa.

Empat tahun di UNE, saya lulus dengan gelar PhD. Saya dibimbing Prof. Peter Jarman, ahli ungulata besar.

Sampai sekarang saya masih meneliti anoa dan membimbing banyak mahasiswa bidang ekologi dan konservasi anoa.

 

Anoa merupakan satwa langka, endemik Sulawesi, serta dilindungi. Foto: Dok. Abdul Haris Mustari

 

Kenapa anoa yang dipilih, bukan satwa lain?

Anoa menarik bagi saya karena waktu itu belum banyak diteliti. Literaturnya juga sangat terbatas. Ini tantangan saya untuk mengisi informasi ilmiah yang masih kosong mengenai ekologi, perilaku, dan konservasi anoa.

Hasil penelitian yang masih sedikit akan lebih bermanfaat dan dibutuhkan banyak pihak. Suatu saat menjadi bahan referensi bagi peneliti berikutnya.

Hal menarik lain adalah status anoa termasuk satwa langka, endemik, dilindungi, dan menjadi perhatian nasional dan internasional, baik IUCN maupun CITES.

 

Di mana sebaran dan populasi anoa saat ini?

Anoa adalah penghuni hutan sejati, dijumpai di hutan-hutan tropis primer Sulawesi, yang jarang didatangi manusia. Satwa ini sangat sensitif gangguan manusia, karena itu sedikit saja terjadi, misal ada penebangan liar, perburuan, dan konversi hutan, maka anoa dan satwa lain yang tergolong peka akan segera menjauh.

Anoa dapat dilihat di kawasan Taman Nasional [TN] Bogani Nani Wartabone di Sulawesi Utara dan Gorontalo, di TN Lore Lindu Sulawesi Tengah, TN Rawa-Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara, dan di TN Gunung Gandang Dewata di Sulawesi Barat.

Populasinya ada juga di Suaka Margasatwa [SM] Nantu-Boliyohuto di Gorontalo, SM Tanjung Peropa dan Tanjung Amolengo di Sulawesi Tenggara, Cagar Alam [CA] Morowali di Sulawesi Tengah bagian timur, dan CA Buton Utara dan SM Lambusango di Pulau Buton.

Populasi anoa yang masih cukup bagus juga terdapat di wilayah Pegunungan Takolekaju dan Pegunungan Latimojong di bagian tengah Sulawesi, kawasan ini termasuk hutan lindung.

 

Apa ancaman utamanya?

Populasi anoa menurun, akibat pembabatan dan alih fungsi hutan, menurunnya tutupan hutan, serta perburuan liar.

Semua hal yang mengancan kehidupan anoa itu terjadi di seluruh Sulawesi. Apalagi, saat ini industri ekstraktif monokultur terjadi secara masif di seluruh Sulawesi.

 

Di mana tempat terbaik anoa?

Semua kawasan konservasi seperti yang saya sebut tadi merupakan habitat anoa, meskipun ada beberapa yang mengalami penurunan fungsi ekologi baik kuantitas maupun kualitas karena deforestasi.

Untuk melihat langsung anoa di habitat aslinya, lokasi terbaik adalah di Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto di hulu Sungai Paguyaman, Gorontalo. Luas kawasan konservasi ini lebih 50 ribu hektar, terdapat ekosistem hutan dataran rendah dan hutan pegunungan yang sesuai untuk kehidupan anoa.

Paling istimewa di hutan Nantu adalah ada sesapan atau tempat mengasin [salt-lick] bagi anoa. Areal ini kecil, sekitar 20 x 30 meter tetapi sangat penting, karena kadar mineralnya tinggi, khususnya kandungan garam alami, sulfur, dan airnya hangat. Lokasi ini berjarak sekitar 40 km dari garis pantai.

Bukan hanya anoa yang sering mengunjungi sesapan ini, satwa lain seperti babirusa, babi hutan, monyet hitam sulawesi dari berbagai penjuru, serta berbagai jenis burung datang. Lokasi lain untuk melihat anoa yaitu TN Bogani Nani Wartabone serta SM Tanjung Peropa.

 

Anoa merah. Foto: Dok. Abdul Haris Mustari

 

Pendapat Anda ketika melihat banyaknya perburuan anoa? Apa yang harus dilakukan?

Jumlah petugas kehutanan perlu ditambah, fasilitasnya dilengkapi, kesejahteraannya lebih diperhatikan. Perlu ditingkatkan pula motivasi untuk melindungi anoa dan satwa lain serta melindungi ekosistem hutan tropis Sulawesi yang tidak ternilai harganya.

Selain itu perlu kerja sama para pihak, seperti penegak hukum yaitu kepolisian, jaksa dan hakim. Tidak kalah penting adalah peran pemimpin daerah di Sulawesi, mulai gubernur, bupati, camat hingga kepala desa.

Perlu dipahami, rusaknya hutan dan lingkungan serta hilangnya keanekaragaman hayati di Sulawesi berdampak langsung pada masyarakat Sulawesi itu sendiri, bukan masyarakat daerah lain.

Mahasiswa, peneliti, dosen di berbagai perguruan tinggi, LSM, serta masyarakat perlu terlibat aktif menjaga dan melestarikan hutan beserta seluruh ekosistem alam di Sulawesi.

 

Hadirnya industri ekstraktif berdampak pada berkurangnya populasi anoa?   

Deforestasi dan alih fungsi hutan menjadi penyebab utama menurunnya populasi anoa dan satwa endemik di Sulawesi. Ekosistem hutan di Sulawesi telah ada ribuan bahkan jutaan tahun lalu, jauh sebelum manusia pertama datang dan menghuni pulau ini.

Demikian pula anoa, babirusa, babi hutan, monyet hitam sulawesi, rangkong sulawesi, kuskus beruang, kuskus kerdil sulawesi, musang sulawesi, dan banyak lagi spesies endemik pulau ini, yang sudah ada selama jutaan tahun. Sangat tidak adil bila manusia merasa yang paling berhak untuk tinggal dan mengekploitasi sumber daya alam Sulawesi, bahkan merusak hutannya.

Industri ekstraktif seperti perkebunan monokultur, sawit, HTI serta kegiatan pertambangan sangat merusak lingkungan. Kerusakan yang ditimbulkan berjangka panjang, bahkan akan merusak ekosistem hutan selamanya. Industri ekstraktif secara signifikan menurunkan keanekaragaman hayati sampai pada titik terendah, bahkan dapat memusnahkannya.

Ekosistem dan kepunahan spesies, sekali terjadi bersifat permanen. Sekali punah tak akan tercipta kembali walau dengan biaya berapa pun. Pihak-pihak yang merusak hutan dan lingkungan hanya berpikir jangka pendek, melihat dari keuntungan materi semata, ukurannya uang.

Air sungai yang sebelumnya jernih, tempat hidup beragam biota air, termasuk ikan yang biasa dimanfaatkan penduduk, airnya dapat diminum, debit air dapat digunakan untuk irigasi serta PLTA, rusak setelah hutan ditebang oleh industri ekstraktif.

Masyarakat sekitar hutan kebagian dampak negatifnya, seperti langganan banjir, munculnya hama dan penyakit akibat terganggunya ekosistem hutan tropis. Hidup tidak hanya lembaran uang semata!

 

Panser Anoa 6×6 Command buatan PT. Pindad yang namanya diambil dari anoa. Foto: Dok. PT. Pindad

 

Anda pernah menyebut anoa bisa dijadikan sebagai spesies payung. Maksudnya?

Anoa termasuk spesies payung, satwa kunci dan satwa bendera, tergolong satwa ungulata terestrial terbesar di Sulawesi dan memiliki wilayah jelajah luas. Melindungi anoa berarti menjaga semua spesies satwa dan tumbuhan yang ada di habitatnya. Itulah kenapa anoa disebut satwa payung.

Anoa juga termasuk satwa kunci [key species], karena makanannya terdiri berbagai jenis tumbuhan, baik daun maupun buah. Buah bersama biji yang dimakan ini pada gilirannya tersebar ke seluruh kawasan hutan, tumbuh subur dan terpencar di tempat baru bersama feses anoa.

Feses menjadi pupuk alam bagi tumbuhan, serta viabilitas biji tumbuhan hutan akan tinggi ketika terbuang bersama kotoran anoa. Berdasarkan studi saya, satwa ini mengkonsumsi lebih 146 spesies tumbuhan, termasuk puluhan jenis buah. Banyak jenis tumbuhan yang regenerasi dan pemencaran bijinya tergantung anoa.

Anoa juga menjadi spesies bendera [flagship species], ikon konservasi serta dapat menarik perhatian publik di Sulawesi, nasional, dan internasional. Anoa telah lama menjadi duta dan maskot konservasi.

Anoa juga mendapat kehormatan dengan dijadikan merek produk PT. Pindad, yaitu Panser Anoa. Hal ini karena anoa dianggap satwa yang sangat lincah dan tangguh bergerak di belantara, pemberani, juga pantang menyerah.

 

Anara, anoa [Bubalus depressicornis] yang lahir alami di Anoa Breeding Centre [ABC], Balai Penelitian dan Pengembangan LHK [BP2LHK] Manado, pada 8 November 2017. Foto: Dok. Anoa Breeding Centre Manado/KLHK

 

Bagaimana Anda melihat masa depan penyelamatan anoa di Indonesia?

Adalah tanggung jawab moral kita semua untuk menjaga kelestarian anoa serta semua satwa, hutan dan lingkungan alam Sulawesi. Hilang atau punahnya anoa dari Sulawesi menjadi kerugian kita semua.

Melindungi populasi dan habitat asli anoa [in situ] penting diutamakan, karena akan melindungi seluruh spesies flora dan fauna, termasuk ekosistemnya. Dengan pendekatan konservasi in situ berarti kita menjaga kelestarian jasa lingkungan yaitu air dan udara bersih nan sehat, beserta iklim makro maupun mikro.

Dengan terlindunginya ekosistem hutan, masyarakat luas akan hidup damai, sehat, dan bahagia.

 

 

Exit mobile version