Mongabay.co.id

Teknologi 3D Hadirkan Badak Sumatera di Kehidupan Kita

Model salinan digital 3D pertama dari badak sumatera. Gambar: Omar Kamel

 

 

Dengan iming-iming sebuah semangka, Harapan, badak sumatera berusia 13 tahun yang berada di dalam kandang berbingkai logam, dipantau 24 unit kamera. Saat dia melangkah di depan lensa, semua kamera memotretnya pada milidetik yang persis sama, menangkap serangkaian gambar stereoskopis.

Selama beberapa hari, Corey Jaskolski, seorang insinyur, penemu, ahli kecerdasan buatan/artificial intellegence [AI] dan National Geographic Explorer of the Year, mengulangi proses ini berulang kali sampai memiliki cukup foto untuk membuat salinan digital 3D pertama dari badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis] yang terancam punah.

 

Harapan di kandang yang terpasang kamera. Foto: Corey Jaskolski

 

“Ide di balik pemindaian 3D ini adalah bahwa alih-alih hanya foto atau video 2D datar dari hewan yang berjalan-jalan, kami benar-benar dapat menangkap setiap sisi dan setiap bagian badak sebagai model,” kata Jaskolski kepada Mongabay.

“Untuk penonton, kami bisa meletakkan badak ini seakan-akan ada di kamar Anda, berjalan di depan Anda, seperti yang kami lakukan di National Geographic Explorers Fest tahun lalu. Kami memiliki proyeksi badak yang muncul di auditorium, jadi saat sesi panel kami tentang badak sumatera, badak benar-benar berjalan melalui kerumunan secara digital di layar.”

Tahun 2018, Jaskolski mulai bekerja dengan Sumatran Rhino Rescue, sebuah proyek yang dijalankan bersama National Geographic Society, Pemerintah Indonesia, dan berbagai organisasi mitra, yang bertujuan untuk menyelamatkan spesies tersebut dari kepunahan melalui program penangkaran ambisius. Harapan, lahir di Kebun Binatang Cincinnati tetapi sekarang tinggal di Sumatran Rhino Sanctuary [SRS] Way Kambas, Provinsi Lampung, di Pulau Sumatera, Indonesia, adalah salah satu badak yang diharapkan tim untuk berkembang biak.

Colby Bishop, Direktur Senior Program Satwa Liar di National Geographic Society, mengatakan kepada Mongabay bahwa hanya ada sekitar 80 individu yang tersisa dalam 10 populasi yang terfragmentasi di Indonesia. Ancaman terbesar bagi spesies ini bukanlah perburuan, tetapi betapa mereka begitu terisolasi sehingga mereka tidak bisa kawin satu sama lain,” katanya.

 

Badak Sumatera di Suaka Badak Sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Indonesia. Suaka Badak Sumatera adalah mitra dari Sumatran Rhino Rescue. Foto: Barney Long, Global Wildlife Conservation

 

“Semakin lama [betina] sendirian… semakin kecil kemungkinan mereka untuk bisa bereproduksi karena mereka mengembangkan polip ini di ovarium mereka,” katanya. “Hal ini benar-benar darurat.”

Bishop mengatakan, program Sumatran Rhino Rescue ingin menggunakan teknologi Jaskolski sebagai cara untuk mengedukasi masyarakat tentang badak sumatera. Terutama, karena banyak orang yang tidak begitu mengenal spesies seperti halnya spesies badak afrika.

“Saya pikir dengan memiliki duta [maskot] seperti Harapan, akan mengajak masyarakat menggunakan ponsel mereka, dan seakan Harapan berjalan-jalan di ruangan-ruangan sebagai cara kampanye. Sehingga, memotivasi orang agar benar-benar ingin mencoba melakukan sesuatu, baik dengan mengubah perilaku mereka atau mereka mendukung proyek, atau mereka menyebarluaskan kepada teman-teman mereka tentang badak sumatera,” katanya.

Sebelum Jaskolski terlibat dengan Penyelamatan Badak Sumatera, dia membuat scan 3D dari objek statis, seperti manusia suku Maya dan tengkorak beruang zaman es di gua-gua yang banjir di Meksiko. Melakukan scan 3D dari badak yang hidup dan bergerak menghadirkan serangkaian tantangan baru bagi Jaskolski.

 

Badak sumatera. Foto: Corey Jaskolski

 

“Tantangan dari badak adalah karena mereka banyak bergerak,” kata Jaskolski. “Jadi, kami harus membangun sistem kamera khusus dengan 24 kamera yang akan memotret dalam milidetik yang sama, sehingga badak tidak akan bergerak di antara setiap jepretan kamera.”

Untuk melakukan ini, Jaskolski tidak dapat mengandalkan pengatur waktu bawaan kamera, yang tidak akan memotret cukup cepat untuk menangkap badak yang bergerak, jadi dia perlu mengandalkan kotak sirkuit. Dia juga membutuhkan pencahayaan dan sistem pemasangan untuk kamera. Secara keseluruhan, biaya pemasangannya sekitar $60.000.

 

Model salinan digital 3D pertama dari badak sumatera. Gambar: Omar Kamel

 

Menggunakan peralatan mahal seperti itu, membawa masalah tersendiri. Hujan sangat deras, jadi Jaskolski harus selalu memastikan semua peralatan tertutup. Karena cukup lembab dan nyamuk pun masuk ke dalam kamera. Tantangan lain adalah ketika Harapan menggaruk wajahnya ke jeruji kandangnya, sangat dekat dengan peralatan Jaskolski.

“Telinganya yang besar dan runcing, dan bagian wajahnya telah melewati jeruji hampir menjatuhkan seluruh rangkaian set kamera, tapi … tidak ada yang rusak,” kata Jaskolski sambil tertawa.

 

Gambar salinan digital 3D pertama badak sumatera. Gambar: Omar Kamel

 

Selain foto-foto, Jaskolski mengambil video 4K dari Harapan untuk merekam bagaimana badak menukik ekornya, menggerakkan kepalanya saat makan, dan secara umum bergerak berpindah. Kemudian, kata Jaskolski, dia menggunakan program perangkat lunak yang menggabungkan semua gambar dan video menjadi satu, seperti “sekelompok bola mata stereo yang melihat dunia”. Menurutnya, hasilnya lebih baik dari yang diharapkan.

“Sebagai seorang insinyur dan penemu, pada kenyataannya Anda seringkali kecewa dan berpikir, ‘Wah, ini bisa lebih baik lagi,’” kata Jaskolski. “Saya yakin seniman dan pekerja kreatif lain merasakan hal sama ketika mereka melihat karya mereka sendiri. Tapi proses pemindaian 3D badak sumatera adalah hal langka, karena segera setelah gambar ditampilkan di layar komputer… saya tercengang. ”

Pemindaian 3D dan kecerdasan buatan [AI] juga memiliki fungsi lain di dunia konservasi, kata Jaskolski. Misalnya, teknologi tersebut dapat digunakan dalam perangkap kamera untuk mengenali dan segera memberi tahu ranger jika ada hewan tertentu, atau bahkan pemburu liar, yang lewat.

“Seseorang yang berjalan melalui taman dengan domba atau dengan ransel mungkin bukan pemburu liar. Tetapi, jika orang yang berjalan melalui taman dengan AK47 mungkin adalah pemburu, dan kemudian penjaga dapat disiagakan dengan teknologi serupa dengan cara seolah kita sedang mencari badak dan gajah,” katanya.

 

Salinan digital 3D badak sumatera dipindahkan ke latar belakang berbeda. Gambar: Corey Jaskolski

 

Jaskolski, yang mendirikan AI dan perusahaan data sintetis bernama Synthetaic, sekarang bekerja dengan Northern Rangelands Trust di Kenya untuk menerapkan teknologi ini pada upaya grup pemantauan, yang dapat membantu meringankan beban kerja para ranger.

Yang paling buruk, jika semua upaya konservasi badak sumatera gagal dan spesies tersebut akhirnya punah, pemindaian 3D melalui Harapan dapat membantu melestarikan memori spesies tersebut, kata Jaskolski.

 

 

 

“Salinan 3D adalah pengganti yang sangat buruk untuk hewan asli, tetapi saya lebih suka menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat kita gunakan untuk mengingatkan akan upaya dan kegagalan kita,” katanya.

“Berbeda dengan melihat gambar lain dari burung dodo atau merpati, Anda akan dapat memiliki hewan punah yang Anda tangkap ketika ia masih hidup, berjalan-jalan di ruangan di depan Anda. Saya sering berpikir bahwa kekuatan dari gambar itu akan membantu kita semua menyadari pentingnya melestarikan mereka yang masih tersisa.”

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: The rhino in the room: 3D scan brings near-extinct Sumatran species to virtual life. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

 

Exit mobile version