Mongabay.co.id

Dampak Perubahan Iklim dalam Perspektif Kajian Makroekonomi

Dampak perubahan iklim terhadap ekonomi makro (makroekonomi) dapat ditinjau baik dari sisi penawaran (supply) maupun permintaan (demand). Namun, sisi penawaran merupakan pemicu dari dampak secara keseluruhan. Sebab perubahan iklim dapat dikategorikan sebagai serangkaian guncangan yang persisten dan berpotensi tiba-tiba spesifik pada sektor penawaran.

Guncangan negatif penawaran ini terkait dengan penurunan produktivitas ekonomi, suhu yang lebih tinggi, perubahan pola curah hujan dan tekanan udara.

Kondisi tersebut secara langsung akan mempengaruhi pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pariwisata dan sebagainya. Dalam keadaan yang menyebabkan perubahan iklim memicu bencana alam, produktivitas akan menurun.

Efeknya akan bertambah parah jika ditambah lagi masalah simultan seperti kesehatan dan menurunnya kualitas gizi akibat bencana tersebut.

Kontribusi perubahan iklim dari sisi penawaran bisa lebih besar, jika bersamaan terjadi migrasi penduduk untuk menghindari risiko perubahan iklim. Migrasi tersebut dapat berdampak signifikan pada produktivitas ekonomi secara keseluruhan.

Prospek perlambatan ekonomi dan meningkatnya risiko inflasi selanjutnya akan meningkatkan ketidakpastian global. Ketidakpastian global tersebut pada gilirannya akan membuat kinerja pasar keuangan menjadi cukup rentan.

Dengan meningkatnya likuiditas dan inovasi pasar keuangan, perubahan risiko yang terkait dengan perubahan iklim akan mudah ditransmisikan ke pasar keuangan global, yang pada akhirnya akan memberikan tekanan pada pasar barang.

Di sisi lain, perubahan iklim juga dapat memicu guncangan permintaan. Konsumsi energi meningkat untuk memenuhi kebutuhan pendingin udara, karena cuaca semakin panas. Di saat yang sama, permintaan komoditas alternatif yang lebih kuat juga dapat meningkat untuk memitigasi kenaikan harga komoditas energi.

 

Asap dari kebakaran hutan di Indonesia. Selama El Niño 2015-16, kebakaran hutan menyapu hutan gambut yang kaya karbon, melepaskan simpanan karbonnya ke atmosfer, dan menciptakan kabut asap beracun. Foto: Rhett A. Butler / Mongabay.

 

Guncangan permintaan ini juga mungkin terjadi jika pemerintah merespon dengan meningkatkan pengeluaran untuk meminimalkan dampak perubahan iklim.

Namun, dalam jangka menengah, dengan keterbatasan sumber daya anggaran, rangsangan pemerintah dalam perekonomian, khususnya yang mendorong produktivitas ekonomi, akan berkurang karena kendala tersebut.

Untuk mengukur kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim, para ekonom telah berusaha untuk mengukur bagaimana pertumbuhan ekonomi agregat dipengaruhi oleh kenaikan suhu dan perubahan pola curah hujan.

Amitrajeet A. Batabyal, William D. Nordhaus dan Joseph Boyer dalam penelitian berjudul Warming the World: Economic Models of Global Warming (2000), berpendapat bahwa, meski di bumi yang sama, dampak perubahan iklim memiliki potensi yang berbeda-beda di setiap negara dan kondisi geografisnya.

Hal itu tergantung pada kerentanan tiap negara terhadap perubahan iklim dan kemampuan untuk beradaptasi. Pertumbuhan ekonomi yang menurun di negara-negara dengan iklim sedang akan relatif lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara yang beriklim lebih hangat.

Iklim awal yang berbeda di setiap wilayah akan menentukan besarnya dampak perubahan iklim terhadap produktivitas dan pertumbuhan ekonomi masing-masing negara .

Selain itu, ada sejumlah alasan di mana bukti ekonometrik dari pengaruh perubahan iklim terhadap pertumbuhan dapat dipertanyakan.

Pertama, literatur terutama mengandalkan pendekatan cross-sectional, dan dengan demikian kurang memperhitungkan waktu, dimensi data (yaitu, mengasumsikan bahwa hubungan yang diamati antar negara juga berlaku sepanjang waktu) dan juga tunduk pada masalah endogenitas (kausalitas terbalik) mengingat kemungkinan pengaruh umpan balik dari perubahan dalam pertumbuhan output ke variabel iklim.

Kedua, the fixed effects (FE) yang digunakan dalam studi data panel yang lebih baru secara implisit mengasumsikan bahwa variabel iklim sangat eksogen, dan dengan demikian mengesampingkan kausalitas balik dari pertumbuhan ekonomi hingga peningkatan suhu rata-rata.

Dalam konteks yang sama dan metode yang berbeda, Dana Moneter Internasional (IMF) mempunyai studi baru di tahun 2019 dengan judul Long-Term Macroeconomic Effects of Climate Change: A Cross-Country Analysis. IMF menganalisis data di 174 negara selama periode 1960 hingga 2014.

Dengan menggunakan strategi ekonometrik baru (yang membedakan antara efek jangka pendek dan jangka panjang; memperhitungkan umpan balik dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan iklim; dan menangani tren suhu), ditemukan bahwa perubahan iklim yang terus-menerus memiliki dampak negatif jangka panjang pada pertumbuhan ekonomi.

Jika suhu menyimpang dari norma historisnya sebesar 0,01 derajat Celcius per tahun, pertumbuhan pendapatan jangka panjang akan lebih rendah sebesar 0,0543 poin persentase per tahun.

Lebih lanjut, berbeda dengan kebanyakan literatur, IMF mengilustrasikan bahwa efek pertumbuhan jangka panjang negatif ini bersifat universal, yaitu mempengaruhi semua negara, kaya atau miskin, dan panas atau dingin.

Pada studi tersebut dilakukan sejumlah latihan kontrafaktual dengan menyelidiki dampak keluaran dari kenaikan suhu tahunan di bawah skenario yang dimitigasi dan tidak dikurangi selama 2015-2021.

 

Savana dan mosaik hutan di Lembah Kongo, Afrika, termasuk area yang baru saja terbakar. Foto: Microsoft Zoom Earth.

 

Atas hal tersebut ditemukan bahwa menjaga kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri seperti yang disepakati oleh 190 pihak di Paris pada Desember 2015, akan menurunkan pendapatan global sebesar 1,07 persen pada tahun 2100.

Namun, peningkatan rata-rata suhu global sebesar 0,04 derajat Celcius (sesuai dengan skenario RCP (Representative Concentration Pathways ialah generasi terkini dari skenario yang menyediakan masukan mengenai pemodelan iklim) 8.5, yang mengasumsikan emisi gas rumah kaca lebih tinggi jika tidak ada kebijakan perubahan iklim) mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita riil dunia sebesar 7,22 persen pada tahun 2100.

Dengan ukuran pendapatan ini mempengaruhi secara signifikan di berbagai negara tergantung pada kecepatan kenaikan suhu dan variabilitas kondisi iklim di setiap negara.

Perkiraan kerugian PDB per kapita global di bawah skenario emisi tinggi tanpa tindakan kebijakan (yaitu RCP 8.5) akan hampir dua kali lipat jika variabilitas iklim spesifik negara meningkat sepadan dengan kenaikan suhu di setiap negara.

Secara keseluruhan, mematuhi Perjanjian Paris akan sangat membantu dalam membatasi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim di hampir semua negara.

Efek ini agak lebih besar daripada yang biasanya dibahas di lingkaran kebijakan. Misalnya, model penilaian terintegrasi, yang telah banyak digunakan untuk menginformasikan kebijakan iklim (termasuk oleh pemerintahan Obama di Amerika Serikat tahun 2017) dan menjadi dasar negosiasi internasional, biasanya mendalilkan bahwa kenaikan suhu hanya memiliki efek pertumbuhan jangka pendek.

Namun, dalam kertas kerja yang baru ini menunjukkan bahwa perubahan iklim yang terus-menerus menurunkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

IMF menggambarkan bahwa meskipun adaptasi terhadap perubahan iklim dapat mengurangi efek negatif pertumbuhan jangka panjang ini, sangat tidak mungkin untuk mengimbangi semuanya.

Oleh karena itu, temuan studi menyerukan tanggapan kebijakan yang lebih kuat terhadap ancaman perubahan iklim, termasuk upaya mitigasi dan adaptasi yang lebih ambisius.

 

Referensi:

Amitrajeet A. Batabyal, William D. Nordhaus and Joseph Boyer, 2000, Warming the World: Economic Models of Global Warming, MIT Press: Cambridge, Massachusetts.

Matthew E. Kahn, Kamiar Mohaddes, Ryan N. C. Ng, M. Hashem Pesaran, Mehdi Raissi and Jui-Chung Yang, Long-Term Macroeconomic Effects of Climate Change: A Cross-Country Analysis, IMF Working Papers (WP/19/215) 2019.

Miranda Goeltom, Climate Change and Macroeconomic Policy, dipresentasikan pada International Seminar on “Macroeconomic Impact of Climate Change: Opportunities and Challenges”, Bali, 1-2 Juli 2008.

 

* Marlis Kwan,  penulis adalah Analist Fair Business for Environment. 

 

 

Exit mobile version