Mongabay.co.id

Hitung Mundur: Berhitung Kapasitas Kita Menghadapi Perubahan Iklim

Pada tanggal 10 Oktober 2020 telah diluncurkan gerakan global bertajuk ‘Climate Countdown’. Gerakan global tersebut sebagai pengingat bagi masyarakat global bahwa planet bumi sedang mengalami krisis iklim.

‘Climate Countdown’ sebagai gerakan untuk menginisiasi dekarbonisasi karena negara-negara yang tergabung dalam rezim perubahan iklim perlu bekerja keras dan berkolaborasi untuk menekan laju kenaikan suhu bumi tidak melebihi 2 derajat celcius hingga tahun 2030.

Apabila kenaikan suhu bumi di atas 2 derajat celcius, maka dapat dipastikan rangkaian kejadian bencana akan terjadi semakin sering, karena sistem iklim yang kolaps maka akan berdampak bagi ekosistem yang kemudian mengancam kehidupan makhluk hidup di bumi.

Gerakan global ‘Climate Countdown’ pun perlu menjadi gerakan yang bersifat massal bagi setiap bangsa. Tak terkecuali bagi kita, -bangsa Indonesia.

Refleksi ‘Climate Countdown’ juga perlu kita sikapi sebagai dua hal, yaitu adanya kesempatan bagi kita untuk bersama-sama mengurangi laju peningkatan suhu melalui praktek baik yang ramah lingkungan, ramah energi dan rendah biaya atau kita tidak melakukan apa pun dan menunggu keadaan bertambah buruk.

Tentu semua pilihan ada di tangan kita. Akan tetapi, perubahan iklim telah memberikan kita ‘alarm’ bahwa kita akan menghadapi berbagai ketidakpastian kondisi iklim yang berdampak pada penyebaran penyakit, kegagalan panen yang menyebabkan ancaman krisis pangan, dan peristiwa lainnya yang berdampak negatif bagi kehidupan manusia.

Baca juga:  Dampak Perubahan Iklim dalam Perspektif Kajian Makroekonomi

 

Petani adalah salah satu kelompok masyarakat yang bakal terdampak dari perubahan iklim. Kala kemarau panjang dan kekeringan, sawah-sawah petani terancam puso, alias gagal panen. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia. 

 

Menyikapi hal tersebut, maka adaptasi menjadi jalan untuk melakukan penyesuaian diri menghadapi perubahan iklim. Terminologi ‘new normal’ dalam menghadapi pandemi COVID-19 merupakan salah satu bentuk aksi adaptasi.

Akan tetapi, sebelum berbicara adaptasi, kita perlu berbicara mengenai resiko. Mengapa? Karena hingga saat ini, masih ada beberapa pihak yang tidak mempercayai perubahan iklim. Pihak-pihak yang tidak mempercayai perubahan iklim ‘mungkin’ merupakan pihak-pihak yang jauh dari realitas keberadaan tiga kelompok masyarakat berikut ini.

Saya membagi tiga kelompok masyarakat yang rentan terdampak perubahan iklim yaitu: masyarakat yang mata pencahariannya bergantung pada kebaikan alam (petani, nelayan, pekebun), masyarakat yang tinggal di kawasan rentan bencana alam (baik terpapar longsor, banjir, kekeringan, atau pun badai), dan masyarakat yang memiliki mata pencaharian bergantung pada kebaikan alam dan bertempat tinggal di kawasan rentan bencana alam.

Tiga kelompok masyarakat ini tidak perlu diberikan penjelasan perubahan iklim dan definisi adaptasi maupun jargon-jargon pro iklim. Kelompok masyarakat ini membutuhkan jalan keluar yang dapat memampukan mereka adaptif menghadapi perubahan iklim.

Menurut saya, wacana darurat iklim yang perlu menjadi sorotan adalah bagaimana kita mampu memberikan jalan bagi keberlangsungan hidup tiga kelompok ini agar adaptif menghadapi perubahan iklim.

Tulisan ini tidak dibuat untuk meratapi perubahan iklim, akan tetapi ditulis dengan optimisme bahwa tiga kelompok masyarakat ini mampu menghadapi perubahan iklim apabila diberikan kapasitas berupa pengetahuan, informasi maupun panduan aksi yang memudahkan kelompok ini membangun kapasitas menghadapi perubahan iklim.

Wacana perubahan iklim ini seringkali terdengar begitu saintifik sehingga masyarakat awam, -termasuk saya pun, kadang tidak dapat memahaminya, apalagi bagi kelompok masyarakat yang memiliki akses pengetahuan dan informasi yang terbatas.

Maka, untuk meningkatkan kapasitas tiga kelompok tersebut untuk adaptif terhadap perubahan iklim merupakan kerja besar yang membutuhkan kerja kolektif dari berbagai pihak untuk menerjemahkan perubahan iklim. Khususnya dalam menunjukkan resiko perubahan iklim hingga memberikan jalan keluar agar tiga kelompok masyarakat ini mampu adaptif menghadapi perubahan iklim.

Baca juga: Resesi Ekonomi, Pandemi dan Kesusahan Nelayan

 

Nelayan juga kelompok yang rentan terdampak perubahan iklim. Foto nelayan Teluk Kelabat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kita perlu lebih banyak mendengar apa saja yang dialami dan diperlukan tiga kelompok masyarakat agar dapat memetakan aksi adaptasi apa yang tepat bagi mereka.

Kelompok yang memiliki wewenang dan kuasa ilmu kerapkali datang kepada tiga kelompok masyarakat tersebut dengan etic dan beragam kebijakan yang ‘dianggap’ paling tepat kepada kelompok tersebut. Seolah pengetahuan hanya menjadi jalur satu pihak dari pemilik kuasa wewenang dan pengetahuan kepada kelompok masyarakat ini.

Namun, kondisi ini perlu dibangun dengan lebih dinamis, cair dan refleksif dimana pengetahuan perlu dibangun antara pemilik wewenang, pemilik pengetahuan dan masyarakat rentan sehingga strategi aksi adaptasi berupa perilaku maupun penggunaan teknologi dapat diterapkan kepada masyarakat tersebut secara tepat.

Penerapan aksi adaptasi pun tidak dapat seragam mengingat kondisi masyarakat yang heterogen baik lanskap, nilai, kebudayaan, kepercayaan dan sistem sosial. Aksi adaptasi ini dapat dijalankan apabila tiga kelompok masyarakat tersebut mampu mengartikulasi kapasitas dirinya.

Peningkatan kapasitas diri kelompok masyarakat yang perlu dilakukan adalah mendorong kehadiran pemimpin lokal yang bervisi berkelanjutan baik secara ekologis dan sosial, memiliki sistem informasi komunitas yang efektif dalam membantu perumusan keputusan bersama dan penguatan jaringan komunitas atau masyarakat yang luas.

Dengan menitikberatkan pada kemampuan diri dalam memilih strategi adaptasi yang tepat, maka strategi adaptasi berdasarkan kekhasan lokal, bersifat lokalitas, dan rendah biaya menjadi keunggulan masing-masing kelompok masyarakat.

 

* Ica Wulansari, penulis adalah Mahasiswa S-3 Sosiologi Universitas Padjadjaran yang tengah mengkaji resiliensi petani dalam menghadapi perubahan iklim dan pegiat isu-isu sosial ekologi. Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

Exit mobile version