Mongabay.co.id

Telur Ikan Terbang, Devisa Terbesar dari Takalar (bagian 3)

 

Kepala Bidang Pengelolaan Usaha Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Islamuddin mengatakan, selama pandemi produksi nelayan sangat banyak. Namun, pemasarannya menjadi kendala. Ada sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM), mereka dibina untuk membuat bakso ikan, abon ikan, dari olahan rumput laut. Bahkan sudah beberapa kali melakukan pameran untuk memperkenalkan produk UMKM.

Islamuddin mengatakan orientasi dinas kelautan sebenarnya bukan penanganan dampak COVID-19 tetapi lebih kepada bagaimana cara memberikan imun kepada pelaku perikanan agar mereka tidak terdampak. Tetapi ketika kita telah menyediakan suplemen dan segala macamnya, nelayan malah tidak terdampak COVID-19. Bahkan mereka tetap bekerja seperti tidak ada masalah.

“Kita selalu memberikan dukungan kebijakan kepada para nelayan. Seperti mereka membutuhkan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kendaraan yang digunakan mencari ikan, mereka tidak akan mendapatkan BBM bersubsidi kalau kita tidak memberikan rekomendasi,” katanya.

Khusus untuk ikan terbang, komoditas yang memberikan devisa terbesar ini, upaya yang dilakukan DKP agar usaha produksi tetap bisa berjalan setelah new normal ini, yakni terus melakukan koordinasi dengan pemerintah di kabupaten Fakfak. Sebab dampak yang paling menonjol selama pandemi tidak adanya distribusi. Termasuk sektor rumput laut, dan udang.

“Kalaupun ada pengiriman itu jumlahnya terbatas, ada beberapa negara mungkin yang tidak menerima pengiriman. Sehingga petambak udang sangat pusing selama COVID-19,” katanya.

baca : Daya Beli Menurun di Tengah Pandemi, Senyum Nelayan Terkikis (bagian 1)

 

Kapal pengangkut ikan milik nelayan di Desa Lamangkia, Tope Jawa, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Foto : Andi Amriani Mansyur/Mongabay Indonesia

 

Dia juga menyebutkan data hasil produksi pengelolaan usaha perikanan dan penyelenggaraan TPI tahun 2018 hingga 2020 untuk tujuh komoditas diantaranya, telur ikan terbang, ikan terbang, selar kuning, ikan kembung, ikan layang, ikan cakalang, dan ikan tongkol. Untuk tahun 2018 produksi telur ikan terbang sebanyak 302,3 ton, jumlah tersebut menurun di tahun 2019 menjadi 272,976 ton, dan tahun 2020 menurun drastis karena jumlahnya tidak ada. Untuk ikan terbang, tahun 2018 produksi sebanyak 74,9 ton, meningkat menjadi 74,36 ton dan tahun 2020 masa pandemi produksi kosong.

Begitupula dengan ikan selar kuning jumlah produksi di tahun 2018 sebanyak 142 ton, kemudian tahun 2019 menjadi 84,76 ton tahun 2020 tidak ada hasil produksi. Penurunan hasil produksi tahun 2020 karena corona. Sementara untuk jenis ikan kembung tahun 2018 sebanyak 428,2 ton, tahun 2019 menurun 395,64 ton dan tahun 2020 sebanyak 0,2 ton.

Jenis ikan layang, pada tahun ini jumlah produksinya sebanyak 103.141 ton, meningkat sedikit jika dibandingkan tahun 2019 yang hanya mencapai 822.52 ton. Begitu pula dengan ikan cakalang tetap menghasilkan produksi pada tahun ini sebanyak 34.275 ton, meskipun sedikit menurun dari tahun 2019 sebanyak 653.232 ton. 

Islamuddin menjelaskan untuk pasar lokal masih tetap buka. Tetapi, daya tampung pasar untuk produksi petani dengan jumlah yang banyak tidak mampu. Selain itu, petani juga biayanya besar, apalagi udang windu yang skalanya ekspor.

Pelaku usaha kelautan dan perikanan tidak melihat dampak COVID-19, tetapi bagaimana bisa berproduksi. Persoalan harga drop itu belakangan dan menjadi sebuah konsekuensi. “Kami tidak pernah mendapat laporan ada pelaku usaha perikanan yang menghentikan kegiatannya hanya karena COVID,” katanya. Untuk data hasil produksi perikanan tangkap se-Kabupaten Takalar tahun 2019, ada enam kecamatan dan 31 desa dengan total produksi sebanyak 19.570,8 ton.

baca juga : Pandemi COVID-19 : Bantuan Merata, Air Bersih Masih Dikeluhkan (bagian 2)

 

Daeng Randu’ salah seorang pedagang Kerang di desa Tope Jawa, Makarombang, Takalar, Sulsel. Foto : Andi Amriani Mansyur/Mongabay Indonesia

 

Rajai Ekspor

Siang itu, matahari sangat terik di sepanjang pantai di Desa Punaga. Terlihat sekelompok orang sibuk bekerja dengan pakaian yang kotor dan basah. Perempuan dan laki-laki sibuk menggeluti pekerjaan yang sama, yakni mengumpulkan rumput laut.

Rumput laut terlihat segar hijaunya  menutupi air laut, disana juga terlihat kayu sebagai pembatas. Masing-masing batasan ada pemiliknya. Mereka adalah petani rumput laut yang tinggal di daerah pesisir. Satu wilayah yang sudah di patok ternyata dikerjakan oleh beberapa orang.

Ada juga yang sibuk memasukkan ke dalam karung dan menyusunnya di dekat pohon. Perempuan satunya memilih-milih, antara rumput yang bersih dan yang tidak layak jual, ternyata perempuan tersebut satu keluarga, ibu dan anak. Banyak pohon besar di di dekat emak-emak tersebut. Di bawah pohon seorang anak bayi tertidur lelap di atas ayunan. Ia seolah mengerti orang tuanya sedang bekerja.

Jumasiah Dg. Baji, perempuan paling tua diantara perempuan-perempuan yang ada di dekatnya. Namun, terlihat sangat kuat dan semangat bekerja. Ia menarik rumput dari laut dan mengumpulkannya di atas tenda biru.

Dg. Baji bercerita, ia menggeluti pekerjaan tersebut sudah puluhan tahun. Kehilangan seorang suami, membuatnya tergerak untuk menghidupi kelima anak-anaknya dengan menjual rumput laut. Mata pencaharian warga disini mengumpulkan rumput laut.

“Kami menjaga, merawatnya sampai bisa di panen seperti ini, waktunya tiga bulan. Selama tiga bulan tersebut, setiap hari kami harus ada disini, di pinggir laut,” katanya dengan dialek Makassar.

Masih di desa yang sama, Fikram juga sibuk menjemur beberapa jenis rumput lautnya. Ada berwarna coklat, kuning dan ungu. Bahkan ada juga yang akan diolah menjadi agar-agar. Ternyata lelaki 38 tahun ini, selain menggeluti rumput laut, dia juga seorang nelayan yang memiliki satu perahu untuk dipakai menangkap ikan.

perlu dibaca : Derita dan Asa Nelayan Sulsel di Tengah Pandemi COVID-19 (bagian 1)

 

Fikram petani rumput laut berusia 38 tahun, di Desa Bo’dia, Kecamatan Mangarabombang, Takalar, Sulsel, sudah menggeluti pekerjaannya selama enam tahun. Foto : Andi Amriani Mansyur/Mongabay Indonesia

 

Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar, Sirajuddin Saraba, komoditi rumput laut di daerah Takalar merupakan yang terbaik di Sulsel. Tidak heran jika para petani memiliki semangat yang tinggi untuk menggeluti rumput laut, bahkan diberikan pembinaan khusus pada kelompok petani ini.

“Kita akui nilai ekspor rumput laut itu sangat tinggi dari tahun ke tahun. Namun terkadang juga mengalami pasang surut, seperti kendala yang dihadapi selama pandemi ini,” katanya. Bahkan hasil olahan rumput laut berupa karaginan juga memiliki nilai ekspor yang besar. Khusus untuk rumput laut ini, ada satu desa namanya Punaga, saat memasuki desa tersebut, kita akan menyaksikan petani rumput laut mulai bekerja. Ada yang bekerja sendirian, bekerja bersama keluarga bahkan mereka ada yang menggeluti pekerjaan ini secara berkelompok.

Sekretaris Camat Mangarabombang, Muhammas Arief juga mengatakan, rumput laut komoditas yang sangat menjanjikan. Para petani di daerah Punaga dianggap sukses menggeluti pekerjaannya. Sebab saat memasuki area kelompok tani rumput laut, sepanjang hamparan pantai rumah para petani sangat besar dan cantik. Beberapa petani bahkan sudah memiliki kendaraan pribadi baik motor maupun kendaraan roda empat.

“Kalau kita jalan-jalan kesana, bisa kita lihat rumah-rumah para petani rumput laut itu besar-besar. Mereka dengan gigihnya bekerja mulai dari pagi di tepi laut menjemur rumput lautnya,” katanya.

 

*Andi Amriani Mansyur. Jurnalis IndonesiaInside.com, Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version