Mongabay.co.id

Nasib Warga Lakardowo, Satu Dasawarsa Hidup dengan Limbah Berbahaya [3]

Ratusan orang warga Desa Lakardowo, Mojokerto, melakukan aksi mendatangi Kantor Gubernur di Surabaya, pada Rabu (26/4/2017). Mereka meminta Gubernur Jatim mengusut pencemaran limbah B3 di daerahnya yang diduga dilakukan PT. PRIA (Putra Restu Ibu Abadi). Foto : Themmy Doaly

 

 

Tulisan sebelumnya:

Nasib Warga Lakardowo, Satu Dasawarsa Hidup dengan Limbah Berbahaya [1]

Nasib Warga Lakardowo, Satu Dasawarsa Hidup dengan Limbah Berbahaya [2]

 

Di Desa Mojojajar, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar tujuh kilometer dari Lakardowo, ada perusahaan pengolah dan pemanfaatan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) serupa PT PRIA. Namanya, PT Green Environmental Indonesia (GEI).

Perusahaan baru ini mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM pada Februari 2019. Meskipun begitu, menurut penuturan warga, aktivitas perusahaan sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu.

Serupa PRIA, modus yang dipakai saat mendirikan GEI pun sama, sebagai usaha batako. “Soal apakah material dari limbah B3 tak pernah disampaikan,” kata Budi Sutikno, tokoh masyarakat setempat.

Baru beberapa bulan beroperasi, perusahaan ini sudah menuai protes warga. Apalagi, pada awal 2019, seorang bocah yang tengah bermain di sekitar area perusahaan sempat jadi korban usai terperosok ke material dari dalam gudang yang tercecer keluar. Dia menderita luka bakar.

Penolakan warga makin memuncak tatkala perusahaan ini menguruk bantaran Kali Marmoyo, anak Kali Brantas, medio September lalu.

Warga bergolak karena permintaan pengurukan dipenuhi dengan menimbun material limbah B3 di bantaran sungai itu.

Aparat kepolisian dari Polres Mojokerto sigap dengan menghentikan aksi pengurukan GEI. Oleh petugas, perusahaan yang belum lama berdiri itu dipasang garis polisi. “Kami nyatakan status quo sambil menunggu hasil penyelidikan lebih lanjut,” kata Kasatreskrim Polres Mojokerto Kota, AKP. Ade Juliawan Waroka, akhir tahun lalu.

Dua bulan kemudian, garis polisi dilepas. Polisi berdalih pelepasan garis polisi itu lantaran tidak ditemukan bukti cukup atas dugaan penimbunan B3 oleh GEI. Bahkan, perusahaan pun kembali beroperasi.

Langkah polisi memunculkan tanda tanya. Jasa Tirta I, yang sebelumnya sempat uji lab terkait kandungan material timbunan belum pernah dipanggil guna didengar keterangan.

 

Lokasi PT PRIA di Desa Lakardowo. Tak jauh dari sana, desa sebelah, juga ada beberapa anak usaha PRIA dengan usaha serupa yakni mengolah limbah. Foto: A Asnawi

 

Sebelumnya, Jasa Tirta I turun tangan merespons protes warga sebagai buntut pengurukan tanggul Kali Marmoyo itu. Perusahaan pelat merah ini mengambil sampel tanah urukan yang diduga pakai material limbah B3.

Selama ini, aliran sungai ini memasok air kepada PDAM Gresik. Karena itu, dugaan penggunaan material B3 oleh GEI sebagai tanah urukan tanggul khawatir mencemari aliran sungai.

Raymont Valiant, Direktur Utama Perum Jasa Tirta I mengatakan, dari hasil pemeriksaan uji sampel, diketahui ada material timbunan merupakan fly ash dan bottom ash (FABA), masuk kategori B3.

Hasil uji TCLP (toxicity characteristic leaching procedure) terhadap sampel tanah urukan sebagai dasar untuk menentukan tindakan lebih lanjut. Menurut Raymont, uji TCLP menjadi prosedur mengetahui kandungan racun sebuah materi.

“Hasilnya memang mengandung bahan berbahaya. Kami sudah susun laporan lengkap. Sudah kami serahkan ke pihak-pihak terkait pada 16 Oktober lalu sebagai dasar untuk penindakan, termasuk kepada industri yang menyediakan timbunan untuk warga itu,” katanya.

Sebagai pemasok bahan baku, Jasa Tirta I telah menjalin komunikasi dengan PDAM Kabupaten Gresik. “Sudah. Kami telah berkoordinasi dengan PDAM Gresik, karena akan menjadi pihak terdampak jika timbunan itu merusak kualitas Sungai Marmoyo,” kata Raymont.

Bukan sekali ini saja polisi bersikap lunak terhadap grup PRIA. Sebelumnya, laporan warga Lakardowo atas ceceran limbah medis di jalanan desa, dan pembuangan limbah cair ke saluran gorong-gorong juga tak pernah ada ujung pangkal. Alih-alih diusut, polisi justru menerbitkan surat kehilangan atas limbah PRIA yang tercecer.

 

Pengurukan di tanggul Kali Marmoyo yang diduga meggunakan asal material limbah PT GEI.  Foto: A. Asnawi

 

Anak Usaha PRIA

GEI ternyata anak usaha PRIA. Kepastian GEI berada di bawah satu bendera dengan PRIA terungkap dari dokumen perusahaan yang kami peroleh. Tercatat pada akta notaris pada 11 Februari 2019, perusahaan ini mendapat pengesahan Ditjen AHU Kemenkum HAM 10 hari kemudian.

Pada dokumen pengesahan di Ditjen AHU, tertulis berkedudukan perusahaan di Kedungsari, Kecamatan Kemlagi. Kenyataan, perusahaan berada di Desa Mojojajar, Kecamatan Kemlagi.

Salah satu tujuan pendirian perusahaan untuk mengumpulkan, mengolah dan memanfaatkan sampah atau limbah berbahaya beracun.

Perusahaan ini memiliki 15.000 lembar saham dengan jumlah modal disetor Rp15 miliar. Tulus Widodo, pemilik PRIA tercatat sebagai komisaris utama GEI dengan jumlah saham 11.250 lembar atau senilai Rp11, 250 miliar.

Yang menarik, di antara para pendiri dan pemegang saham perusahaan, terdapat nama Syavana Tuliv Widodo. Pada dokumen itu, nama bersangkutan tercatat lahir pada 2009. Berarti, baru berusia 10 tahun saat masuk sebagai pendiri GEI.

Selain dokumen perusahaan, dugaan GEI merupakan perusahaan pengolah limbah B3 terungkap dari penelusuran bersama Ecoton. Ketika itu, sebuah truk baru keluar dari PRIA bergerak menuju GEI. Sebagian material dibawa ke GEI karena PRIA kelebihan.

Selain sisa pembakaran limbah B3, GEI yang tercatat belum mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perihal pemanfaatan limbah B3 itu diduga menyimpan lumpur (sludge) dari kerjasama dengan Caltex.

Material beracun itu tertumpuk begitu saja di gudang GEI. Ada tujuh bangunan semua penuh dengan gunungan material limbah. Saat melihat langsung ke lokasi perusahaan akhir tahun lalu, bangunan dengan berbentuk “T” itu terkesan ala kadar.

Hanya ada tiang penyangga beserta atap terbuat dari aluminium foil. Sebagian bangunan masih terbuka tanpa dinding. Gunungan material itu pun terlihat jelas dari jalanan.

Penelusuran juga mendapati satu perusahaan lain yang masih satu grup dengan PRIA. Namanya, PT Lancar Abadi Indonesia (LAI). Perusahaan ini berjarak sekitar satu kilometer dengan GEI, ke arah selatan. Tak jauh dari Kali Brantas.

Sama dengan GEI, perusahaan yang juga baru mengantongi pengesahan dari Kemenkum HAM ini juga tercatat sebagai pengelola limbah B3. Setali tiga uang, pabrik yang dilengkapi dua cerobong ini juga belum mengantongi izin pemanfaatan limbah B3 dari KLHK.  Kami melakukan penelusuran di pusat perizinan satu atap KLHK dan tak menemukan dokumen izin kedua perusahaan ini.

 

PT GEI, kena segel polisi. Foto: A Asnawi

 

Balai Lingkungan Hidup Jawa Timur ketika ditanya soal legalitas izin pemanfaatan B3 kedua perusahaan ini malah mengaku tak tahu menahu.

Alih-alih izin pemanfaatan, otoritas yang berhak mengawasi tata kelola lingkungan itu juga tak mengetahui perihal status perusahaan yang ternyata berada di bawah satu bendera dengan PRIA ini.

“Untuk pemanfaatan, izin kementerian yang mengeluarkan. Setahu kami belum ada,” kata sumber di BLH Jatim.

Belum adanya izin operasional GEI juga terlacak dari surat persetujuan masyarakat tentang penetapan wakil masyarakat yang akan duduk sebagai anggota Komisi Penilai Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) GEI. Surat tertanggal 21 Juli 2020.

M Nur, Kepala Penegakan Hukum Sesi II KLHK di Surabaya, mengatakan, sebelumnya mereka tidak bisa mengambil tindakan lantaran kasus sudah sempat ditangani Polres Mojokerto.

“Nanti coba kami cek. Apakah dari kepolisian tetap ingin melanjutkan kasus atau dilimpahkan ke kami. Kalau ditangani sendiri, silakan. Kami juga tidak bisa apa-apa karena kepolisian juga punya wewenang,” katanya.

Rudy Kurniawan, Juru bicara PRIA Grup yang juga membawahi GEI, menepis tudingan warga perihal penimbunan material limbah B3 di bantaran Kali Marmoyo itu. Kendati mengakui GEI mengumpulkan limbah B3, dia membantah menimbun tanggul anak Kali Brantas itu.

“Tidak. Itu tidak betul, kami tidak melakukan pengurukan,” kata Rudy.

Dia bilang, sebelumnya perusahaan mendapat surat permohonan dari pemerintah desa setempat. Isinya, meminta bantuan pengurukan tanggul Kali Marmoyo yang acapkali longsor saat musim hujan tiba.

Permintaan itu pun mereka respon dengan mengirim beton bis untuk penahan tanggul. Selain itu, beberapa alat berat dan kendaraan lain juga dikerahkan untuk membantu penguatan tanggul.

Kan GEI memang punya kegiatan membuat produk berupa beton bis. Jadi, perusahan hanya membantu meminjamkan kendaraan dan alat berat untuk pengurukan tanggul. Itu pun, atas permintaan warga sebelumnya.”

Rudy pun membantah kalau kedua perusahaan di Kecamatan Kemlagi, Mojokerto itu belum berizin. Dia bilang, kedua perusahaan itu sudah memiliki izin. GEI sebagai pengumpul, katanya, LAI sebagai pemanfaat.

Pengakuan Rudy kalau GEI dan LAI sudah mengantongi izin sebagai perusahaan pengumpul dan pemanfaat limbah B3 dibantah pengawas Perlindungan dan Penataan Lingkungan Hidup (PPLH) Mojokerto, Aminuddin. Aminuddin mengaku belum mengetahui izin kedua perusahaan itu.

“Kalau jangkauan nasional, izin dikeluarkan pusat. Sampai sekarang kami belum pernah mengetahui. Apa saja yang diolah disana. Kami juga belum tahu karena itu sekarang disegel. Jadi kami juga tidak bisa masuk,” katanya melalui sambungan seluler.

 

***

Bukan hanya. GEI, yang berkegiatan angkut limbah B3, ada grup PRIA yang lain, yakni PT Tenang Jaya Sejahtera (TJS). Perusahaan membuang limbah di lahan terbuka (open dumping) di sebuah lokasi bekas tambang di Dusun Kecapangan, Kecamatan Ngoro, Mojokerto.

Pada Selasa 17 Desember 2019 lalu, warga aksi malam hari lalu lapor ke Polres Mojokerto. Atas laporan itu, polisi menyegel tiga dump truck yang tertangkap basah membuang limbah.

Dari hasil penyidikan terungkap, bila limbah beracun dari sludge kertas itu seharusnya dikirim ke Karawang, Jawa Barat. Namun, oleh TJS, justru dibuang di lahan terbuka bekas galian C (pasir dan batu). Polisi hanya menetapkan ketiga sopir sebagai tersangka dari kasus ini. Manajemen perusahaan tak tersentuh. Hingga kini, kasus masih dalam penyidikan petugas.

 

 

PT Tenang Jaya Sejahtera (TJS) membuang limbah di lahan terbuka (open dumping) di sebuah lokasi bekas tambang di Dusun Kecapangan, Kecamatan Ngoro, Mojokerto. Foto: A. Asnawi

 

Gugatan warga

Protes pencemaran limbah B3, warga aksi ke perusahaan sejak 2013 dipimpin Mudjiono, warga Lakardowo. Hasilnya, manajemen menyatakan kesanggupan tidak menimbun material limbah di area perusahaan. Perusahaan juga berjanji untuk membongkar timbunan sebelumnya. Janji tingal janji, dari 52 rumah tertimbun limban, hanya dua yang dibersihkan. Belakangan, Mudjiono, direkrut perusahaan sebagai salah satu manajer.

Pada 2014, beberapa warga Lakardowo, mengajukan gugatan atas dugaan pencemaran limbah PRIA. Mereka adalah Sumiaji, Eko, Sulasto dan Ngadi. Sebagai tergugat adalah perusahaan dan KLHK. Di tengah jalan, gugatan dicabut tanpa alasan jelas.

Pencabutan gugatan itu tak membuat gerakan penolakan warga mengendur. Mereka terus protes. Terlebih, sebagian warga mulai terkena penyakit seperti gatal-gatal.

Sampai Januari 2016, sekitar 15 warga menggelar unjuk rasa di depan pabrik. Dalam aksi, warga menuding pabrik pengolah limbah itu mencemari lingkungan sekitar dan menyebabkan warga sakit. Warga juga mengajukan gugatan menolak izin perluasan lahan pabrik yang dikeluarkan Bupati Mojokerto.

Protes tak hanya aksi di jalanan juga gugatan ke pengadilan. “Prinsipnya kami tetap menolak kegiatan PRIA. Bukan hanya menutup, tapi harus dibongkar,” kata Nurasim, Ketua Pendowo Bangkit, Nurasim, sesaat setelah mengajukan memori banding, akhir Juni 2020.

Warga banding setelah gugatan bernomor 4/Pdt.G/LH/2020/PN.Mjk. ditolak pengadilan.

Abdul Aziz, penasihat hukum warga menilai, ada sejumlah kejanggalan dalam putusan pengadilan yang mementahkan gugatan warga. Pertama, gugatan itu bukan dalam konteks pencemaran oleh PRIA tetapi kegiatan penimbunan limbah.

Dalam putusan, majelis hakim mendasarkan pada pelanggaran pencemaran. Padahal, selama proses persidangan berlangsung, semua keterangan saksi dan bukti membuktikan ada penimbunan oleh perusahaan cukup kuat. Terutama saksi dari eks karyawan perusahaan.

Aziz menilai keputusan hakim yang tak mengabulkan gugatan warga dirasa aneh. “Karena yang kami gugat itu bukan pelanggaran pencemaran lingkungan hidup, tapi penimbunan limbah B3 oleh PRIA. Termasuk di rumah warga yang jumlahnya mencapai 52 titik.”

 

Rumah Jamak, salah satu rumah di Lakardowo yang sebelumnya ditimbuni limbah B3. Satu dari dua rumah yang telah di-clean up. Foto: A Asnawi

 

Selama proses persidangan, majelis hakim tidak menggunakan peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 36/2013 tentang Pedoman Penanganan Pemeriksaan Lingkungan Hidup.

Majelis hakim, seharusnya jadikan regulasi ini sebagai pedoman pemeriksaan saat persidangan berlangsung.

“Jadi di pedoman ini, semua yang berkaitan dengan persoalan lingkungan hidup. Harusnya gunakan pedoman ini. Karena potensi kerugian saja itu sudah bisa diproses di pengadilan.”

Upaya banding warga juga kalah.

Bagi PRIA, putusan pengadilan yang mementahkan gugatan warga kian menegaskan kalau tudingan pencemaran tak terbukti.

“Putusan dari pengadilan membuktikan, tudingan pencemaran tidak terbukti benar dan asal-asalan,” kata Mudjiono, Plant Manager PRIA, dalam rilis tertulis kepada media ini.  Mudjiono mengatakan, seluruh kegiatan PRIA sesuai dengan ketentuan perundangan.

 

Warga Lakardowo saat berunjuk rasa di depan Kantor PN Mojokerto, pada 6 Juni 2020. Foto: A Asnawi

 

Pemerintah harus turun tangan

Marwadewanthi, ahli Teknik Lingkungan ITS, tetap mendesak pemerintah turun tangan menangani persoalan di Lakardowo. Dengan banyak warga sakit, kata Dewa, seharusnya cukup jadi dasar pemerintah untuk kajian lebih jauh.

“Jika disimpulkan karena sanitasi, apakah betul? Kajian epidemiologinya seperti apa. Kalau itu belum dilakukan, ya tidak bisa disimpulkan begitu saja. Karena bagaimanapun, sulit untuk meyakini aktivitas PRIA tidak membawa dampak terhadap lingkungan sekitar.”

Prigi Arisandi, Direktur Ecoton mengatakan, secara umum, ada dua dugaan pelanggaran PRIA, selaku pengolah limbah B3 yang diabaikan pemerintah. Pertama, proses pengolahan limbah B3 tidak sesuai. Sebagian, katanya, terungkap dalam temuan tim audit. Kedua, penimbunan hingga menimbulkan kerugian warga sekitar.

“Sebelumnya warga masih bisa memanfaatkan air sumur untuk keperluan sehari-hari. Masak atau mandi. Sekarang tidak lagi. Untuk mandi anak-anak, warga memanfaatkan dari air tangki yang dibeli. Masih ada 49 rumah yang urukan dari limbah B3 belum clean up,” kata Prigi.

M Nur menyatakan, terus mengikuti perkembangan yang terjadi di grup PRIA termasuk GEI. Terhadap GEI, Balai Gakum sempat menurunkan tim ke lokasi terkait praktik penimbunan limbah untuk tanggul Kali Marmoyo. Kasus itu sudah ditangani kepolisian, Polres Mojokerto.

“Tadinya memang sudah ada tim kami turunkan. Tapi, sudah di-police line. Jadi tidak boleh masuk,” jata Nur.

Nur bilang, penyegelan GEI oleh polisi, menguatkan indikasi awal pelanggaran oleh perusahaan. Karena itu, seyogyanya ditindaklanjuti dengan memproses sesuai hukum berlaku.

Dia bilang, ada tiga jeratan yang bisa diterapkan kalau penyidik kepolisian menemukan bukti pelanggaran GEI. Selain pidana, perusahaan juga bisa dimintai pertanggungjawaban secara administratif dan perdata.

“Kalau hasil kajian ditemukan unsur pidana, ya diproses. Begitu juga untuk unsur pelanggaran administrasi atau perdata. Diproses bersamaan juga tidak masalah.”

Perusahaan terus beroperasi, warga pun terus alami masalah. Bagaimana nasib warga dan lingkungan hidup di beberapa desa di Mojokerto ini? Perlu keseriusan pemerintah menegakkan aturan hukum guna menjamin hak-hak warga mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.  (Selesai)

 

* Liputan ini terselenggara berkat dukungan  Earth Journalism Network (EJN).

 

***

Keterangan foto utama: Warga Lakardowo aksi di depan istana Negara, Jakarta, karena lingkungan mereka rusak dampak dari limbah B3. Hingga kini, penanganan dari pemerintah masih tak jelas. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version