Mongabay.co.id

Galeri Seni Purba di Pedalaman Bonto Cani

 

 

Udara dingin berhembus di Desa Bonto Cani, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, hampir tak terasa karena tubuh penuh keringat. Perjalanan lumayan melelahkan pertengahan Agustus lalu. Di antara pohon kemiri tua, lima tenda berdiri. Istirahat dan makan sebentar, kembali berkemas. Titik itu jadi basecamp tim monitoring Balai Peninggalan Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan. Dari tempat ini masih 4o menit perjalanan menerabas jalan kecil di sela dinding karst.

Mau kemana? Tujuannya ke Goa Uhallie. Ini goa purbakala yang menempel di dinding bentangan gugusan karst Maros-Pangkep-Bone. Kami tiba menjelang sore di kaki teras goa itu.

“Mana gambar anoanya?”

“Di atas. Naik mi. Kalau tidak lari ji anoanya,” kata Imran Ilyas, arkeolog BPCB Sulawesi Selatan, sambil berkelakar.

Saya menapak pelan tangga kayu rapuh. Tim lain mempersiapkan alat perekaman, dari mulai pengukur suhu, hingga peta tiga dimensi.

Gambar di dinding karst begitu memukau. Gambar raksasa, seperti sebuah mahakarya. Serupa memasuki galeri pameran seni rupa yang menampilkan lukisan. Gambar itu menempel di dinding goa dengan sangat indah. Hampir tak memiliki kerusakan. Ada tiga anoa begitu mengagumkan berderet bagai berkejaran.

Ukuran panjang lebih satu meter. Kala memandangi dari dekat, gambar ini bagai ingin menenggelamkan seseorang masuk ke perutnya. Begitu detil. Ada gambar yang menampilkan ukuran perut besar, yang memperlihatkan alat reproduksi. Gambar lain lebih kecil.

 

BPCB Sulawesi Selatan monitoring lukisan di Goa Uhallie Agustus 2020. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

“Jadi, ini mamaknya, ini anaknya. Itu jantannya,” kata Cheeryl, mahasiswa arkeologi yang ikut dalam tim.

“Jadi ini mereka main sama-sama begitu?”

“Mungkin lagi kejar-kejaran..ha..ha..ha.”

Kami tertawa bersama.

Di mulut Goa Uhallie, tampak lembah di bagian bawah. Jalan sempit serupa koridor menghubungkan pada bagian lain wilayah di Maros. Jalan memotong itu menurut warga Bonto Cani sebagai tempat perlintasan masa lalu. Sebelum pemerintah daerah membuka akses jalan penghubung ke Camba.

Goa Uhallie sangat memukau. Di tempat ini belum ada pertanggalan. Di Goa Bulu Sipong 2, Kabupaten Pangkep, dengan teknik sama, gambar anoa berusia 44.000 tahun lalu.

Para arkeolog menggunakan metode uranium series untuk membuktikannya. Mengambil pop korn (gumpalan karst yang menyembul dalam badan lukisan) lalu mengurainya. Gumpalan itulah yang kemudian membuka tabir perkiraan usia.

Lukisan di Uhallie tak ditumbuhi pop korn. Bukan berarti lebih muda atau lebih tua.

 

***

Menjelang malam, tim pendataan BPCB kembali ke tenda utama. Mereka bergegas mandi dan memulai ritual lain. Makan, bersendagurau, meneguk kopi, membungkus badan dengan sarung, mengenakan jaket. Genset sudah dinayalakan, cahaya lampu menerangi.

Arkeolog lain, Andi Jusdi membuka komputer jinjing, dan menancapkan memori kamera 3D. Dia membuka file dan memindahkan di folder khusus. Sebuah gambar mulai terlihat. Kursor bergerak, dinding goa terlihat jelas. Lekukan hingga ornamen goa. Teknologi telah menciptakan cara menyelamatkan situs dengan begitu cermat. Kalau kemudian hari ada bencana alam yang menhancurkan Uhallie, setidaknya goa itu telah selamat dalam bentuk digital.

Gambar anoa di Goa Uhallie, Bone. Foto Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Meski demikian, memandang goa di layar komputer, dan meraba langsung memang tak pernah sama. Jelang pukul 24.00, udara dalam hutan Karst Bonto Cani makin dingin. Telapak tangan mulai keriput. Hidung meler.

Andi Jusdi, mulai tak tahan. Dia memastikan semua data telah tersimpan dengan rapi kemudian menutup layar komputer dan masuk tenda.

Pagi menjelang, Dewi Susanti, bersama tim memastikan semua berjalan dengan baik. Di mulut goa dia memasang alat pengukur suhu, sampai perekam suara.

Pada peralatan kecil dan terlihat sederhana itu, ada alarm yang terpasang setiap satu jam. Saat dia terlihat santai, dan menggoda tim lain yang bekerja mengukur jarak, atau memotret, akan berhenti tiba-tiba kala alarm berbunyi.

 

Merekam laju kerusakan

Di sepanjang bentang karst Maros-Pangkep-Bone, ada ribuan goa jadi menjadi situs purbakala. Selain gambar cap tangan, binatang air, anoa menjadi salah satu yang khas. Kalau asumsinya, masyarakat dulu menggambar apa yang mereka lihat, berarti anoa masa itu mudah dijumpai. Kini, anoa sudah jadi satwa langka.

Anoa adalah sumber protein selain babi rusa. Di situs-situs goa purbakala, beragam sisa-sisa tulang binatang ditemukan, seperti kus-kus, monyet, anoa, hingga tikus. Sisa makanan lain, adalah kerang dan siput dari biota air.

 

Monitoring di Goa Uhallie, Bone. Foto Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Mengapa mereka menggambar anoa tidak menggambar burung, atau tikus? Pertanyaan-pertanyaan itu acap kali menjadi misteri. Beberapa arkeolog bilang, kalau itu berhubungan dengan makanan kesukaan, atau terikat spiritual. Atau alasan lain, yang paling nyeleneh karena iseng menggambar, seperti mural masa sekarang. Tak ada yang bisa memastikan.

Uhallie di kelilingi pepohonan lebat. Pohon-pohon menjulang, terlihat begitu kokoh dengan akar-akar yang menyembul dari sela batuan. Tanaman rimbun di sekitar goa tidak menjamin lukisan terjaga dengan baik.

Laporan Badan Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan, menyatakan, panel-panel lukisan di Uhallie terjadi pengapuran terutama saat musim hujan, sekaligus berpotensi menutupi lukisan karena pertumbuhan lumut. Bahkan, ada beberapa jaringan sarang rayap melewati panel.

Situs Uhallie yang berada di Desa Langi, Kecamatan Bonto Cani, Bone ini dilaporkan pertama kali ke Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin pada 2011. Pendataan mulai 2013 oleh BPCB.

Uhallie berada pada ketinggian 621 mdpl. Goa ini berorientasi timur-barat dan memanjang ke samping, memiliki dua mulut goa dan beberapa chamber (ruang). Suhu goa berkisar antara 26°-30° Celcius. Goa ini memiliki 135 lukisan cap tangan dan gambar fauna ada tujuh.

Satu gambar anoa berdimensi panjang 186 cm dan lebar 80 cm. Gambar binatang ini terlihat begitu utuh, memiliki tanduk dan empat kaki terlihat sempurna. Gambar anoa lain berukuran 146 cm dan lebar 57 cm, memperlihatkan bagian perut lebih besar dibanding gambar lain.

Dewi Susanti, tim arkeolog BPCB Sulsel mengatakan, lukisan dan artefak serta segala hal yang disimpan manusia pada masa itu, jadi penting dalam kajian kebudayaan.

“Mereka meninggalkan ilmu pengetahuan pada generasi selanjutnya. Itu hal paling penting.”

Meski kemudian, kata Dewi, monitoring setiap tahun dilakukan BPCB Sulsel kelak akan merekam, mengapa ada lukisan yang cepat pudar bahkan menghilang.

Dalam tiga tahun terakhir, katanya, laju kerusakan cepat ada di Goa Jarie, Maros. Padahal di depan goa pohon-pohon penaung masih banyak.

 

Gambar beberapa anoa tampak pada dinding Goa Uhallie. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Kerusakan lain, ada di Goa Bulu Sipong 2. Di Bulu Sipong 2, dikaitkan dengan dekat jarak aktivitas pertambangan, karena debu hingga getaran.

“Kelak, data base dalam perekaman monitoring, baik suhu, laju kerusakan, hingga kelembaban, serta suara, akan tersimpan. Minimal, akan ada grafik bagaimana selama lima tahun perjalanan monitoring ini akan memperlihatkan itu,” kata Rustan, arkeolog BPCB Sulsel.

Bagi Rustan, debu, kebisingan atau tutupan hutan sekitar rusak tentu memberi dampak pada kerusakan gambar. “Datanya harus jelas. kita sedang dalam upaya membuka tabir itu,” katanya.

 

 

Gambar anoa di dinding Goa Uhallie. Tim arkeolog BPCB Sulawesi Selatan sedang monitoring. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
Perjalanan menuju Goa Uhallie. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version