Mongabay.co.id

Harus Ada, Dukungan Pelestarian Alam untuk Masyarakat di Tepi Hutan Leuser

 

Dampak sosial ekonomi pandemi COVID-19 cukup memprihatikan dan multisektoral, ditandai meningkatnya kesenjangan, serta beban hidup yang berpengaruh besar terhadap masyarakat miskin. Dalam sebuah proyeksi disebutkan, COVID-19 akan meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia dari 9,2 persen pada September 2019 menjadi 12,4 persen akhir 2020. Kondisi yang memperlihatkan bahwa 8,5 juta lebih orang akan jatuh miskin akhir tahun 2020.

Terjadinya pandemi, membuat orang semakin sadar pentingnya hubungan antara kesehatan manusia dan kesehatan ekosistem, terutama dalam hal menjaga keanekaragaman hayati.

Salah satu cara melindungi hotspot keanekaragaman hayati adalah dengan memberdayakan dan mendukung masyarakat tepi hutan, garda terdepan yang sering sering diabaikan dalam kegiatan konservasi alam.

Menurut FAO [2017], orang yang bermukim dekat hutan sangat bergantung pada sumber daya hutan untuk bahan pokok makanan mereka, juga sebagai mata pencaharian, dan kegiatan yang menghasilkan pendapatan utama. Artinya, kesejahteraan mereka lebih terkait dengan kesehatan ekosistem tempat hidupnya.

Untuk itu, agar konservasi berhasil, menjaga kesejahteraan masyarakat tepi hutan menjadi hal penting, dengan memastikan dan menjamin perlindungan sosial, akses pendidikan, perawatan kesehatan, serta kebutuhan dasar lainnya.

 

Orangutan dengan bayinya di Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL]. Foto: Frederick GJ Buiskool

 

Konservasi dan kesejahteraan masyarakat tepi hutan TNGL

Penduduk yang berada di sekitar kawasan konservasi seperti Taman Nasional Gunung Leuser, wilayah Sumatera Utara, tak jarang menghadapi berbagai tantangan lingkungan, ekonomi, kesehatan, demografis, sosial, dan pengaruh politik. Kondisi ini terjadi, adanya modus perburuan dan pembukaan hutan, karena mereka tidak punya pilihan lagi.

TNGL merupakan wilayah penting keragaman hayati dan habitatnya fauna terancam punah seperti orangutan sumatera [Pongo abelii], siamang [Symphalangus syndactylus], beruang madu [Helarctos malayanus], gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus], badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis], harimau sumatra [Panthera tigris sumatrensis], dan juga bunga terbesar di dunia, yaitu titan arum [Amorphophallus titanium] serta Rafflesia [Rafflesia lawangensis].

Meskipun TNGL berstatus taman nasional, namun ancaman deforestasi tetap terjadi karena alasan yang berhubungan dengan mata pencaharian. Menurut World Resources Institute [WRI], pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan karet tetap terjadi di kawasan TNGL, yang menyebabkan laju deforestasi seluas 1.200 hektar [3.000 acre] per tahun. TNGL telah kehilangan 20 persen hutan dataran rendahnya karena aktivitas komersial ilegal, dalam lima tahun terakhir, dengan laju tersebut, hutan ini diperhitungkan bisa musnah dalam dua dekade.

Di beberapa tempat, masyarakat tepi hutan di sepanjang TNGL sangat bergantung pada pariwisata, terutama ekowisata berbasis masyarakat [EBM]. Cara ini diharapkan, selain sebagai strategi mata pencaharian berkelanjutan, juga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal yang di tepi kawasan taman nasional, sekaligus melestarikan alam dan keanekaragaman hayatinya.

 

Pemandu wisata di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL]. Foto: Roderick Buiskool

 

Ekowisata berbasis masyarakat sebagai strategi

“Sepanjang pandemi, pariwisata terhenti yang berdampak negatif terhadap mata pencaharian kami, juga berdampak pada konservasi hutan dan satwa liar” – Panduan Ekowisata dari Dusun Batu Katak yang berbatasan TNGL.

COVID-19 telah memperlihatkan kerentanan EBM sebagai strategi mata pencaharian, karena pembatasan perjalanan internasional dan lokal yang menyebabkan penurunan drastis pendapatan masyarakat. Pandemi juga memperlihatkan lemahnya EBM sebagai strategi pelestarian alam, karena dasar pemikiran strategi konservasi ini adalah alam merupakan komoditas yang harus dilestarikan agar dapat ‘dijual’ melalui ekowisata.

Saya mengamati keputusasaan masyarakat akibat pandemi di beberapa tempat yang bergantung EBM di Sumatera Utara, misalnya di Dusun Batu Katak yang berbatasan dengan TNGL di Sumatera Utara, tempat saya baru-baru ini melakukan penelitian lapangan.

Dalam konteks Batu Katak, serta destinasi EBM lainnya di Sumatera Utara misalnya Tangkahan dan Bukit Lawang, pengembangan pariwisata telah digagas masyarakat setempat dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan, menjaga sumber daya alam, dan mengurangi masalah terkait penebangan liar.

Namun, pandemi menyebabkan masyarakat tepi hutan kembali ke strategi mata pencaharian lain seperti pertanian subsisten, juga penebangan dan perburuan demi kelangsungan hidup. Selain itu, kurangnya alternatif mata pencaharian, mempermudah perkebunan monokultur, seperti perkebunan kelapa sawit dan karet, dalam jangka panjang berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat tepi hutan.

 

Seorang ranger memberikan informasi kepada petani dan pemilik ternak setempat tentang pentingnya menjaga Taman Nasional Gunung Leuser. Foto: Roderick Buiskool

 

Perkebunan monokultur semakin mendorong masyarakat tepi hutan ke jurang kemiskinan, karena menyebabkan degradasi tanah dan hutan. Juga, mengurangi pilihan mata pencaharian berkelanjutan lainnya, yang pada akhirnya membebani upaya konservasi alam.

Terlepas pengaruh EBM yang secara keseluruhan positif terhadap kesejahteraan penduduk Batu Katak, akan tetapi hal ini tidak boleh dilihat sebagai solusi semua masalah terkait pembangunan sosial dan perekonomian lokal.

Oleh karena itu, keadilan lingkungan dan sosial, seperti akses terhadap air dan hak atas tanah, perlu ditangani secara baik, seperti pengelolaan sampah, untuk mencegah pencemaran air dan tanah. Selain itu, diperlukan pemahaman lebih dalam struktur EBM tertentu, misalnya melalui penelitian bagaimana EBM memengaruhi kesejahteraan laki-laki dan perempuan dengan menggunakan analisis gender. Peran penduduk lokal melalui pengaturan kelembagaan seperti organisasi pariwisata lokal, serta konservasi hutan kemasyarakatan pun harus dilakukan.

Sebagai tambahan, peningkatan investasi pemerintah seperti pendidikan, perawatan kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya yang berkaitan dengan pembangunan manusia, harus dipastikan manfaatnya sebagai bagian dari EBM.

 

Polisi hutan dan mahout berpatroli di Taman Nasional Way Kambas. Foto: Roderick Buiskool

 

Langkah selanjutnya

“Jika ada LSM konservasi mempekerjakan penduduk yang tinggal di perbatasan taman nasional, saya rasa tidak ada orang yang masuk ke taman nasional secara ilegal dan menebang hutan lindung. Jika kami dipekerjakan dan didukung kami akan menjaga alam”- warga Batu Katak yang tinggal di perbatasan TNGL

Kesejahteraan masyarakat tepi hutan Sumatera harus perlu diperhatikan setelah pendemi berlalu. Dari sisi kehidupan berkesinambungan, integrasi EBM, konservasi, dan pertanian dapat diwujudkan dalam bentuk bentang alam beraneka ragam. Terdiri hutan masyarakat yang dilindungi, juga agroforestri.

Penduduk di tepi hutan dapat diarahkan dan didukung untuk membudidayakan tanaman ramah hutan seperti kakao, kopi, singkong, bambu dan lainnya. Asalkan, pemerintah menjamin akses pasarnya, yang pada akhirnya melindungi sumber daya alam demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat di masa depan.

Memastikan mata pencaharian masyarakat tepi hutan juga membutuhkan strategi pencegahan perusakan tanaman oleh satwa liar, misalnya orangutan, atau gajah ssumatera, serta bentuk konflik manusia-satwa liar lainnya. Hal ini dapat direalisasikan melalui penegakan hukum dan keikutsertaan masyarakat lokal secara berkelanjutan, yaitu tanggung jawab utama dalam melakukan strategi mitigasi harus dilakukan masyarakat itu sendiri, didukung pemerintah dan LSM konservasi.

Misalnya, LSM konservasi mempekerjakan masyarakat tepi hutan untuk berpatroli di zona penyangga ekosistem Leuser. Selain itu, LSM juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya pelestarian alam, dan juga mengidentifikasi strategi pendapatan alternatif.

Demikian pula, masyarakat tepi hutan di sekitar Taman Nasional Way Kambas [TNWK], Lampung, yang mengalami konflik antara manusia dengan gajah. Hal ini telah mengakibatkan perusakan tanaman yang berdampak buruk bagi penduduk lokal, serta meningkatkan potensi pembunuhan gajah sumatera. Untuk mengatasi masalah ini, LSM konservasi lokal merekrut dan melatih ranger dan mahout dari komunitas yang bermukim di pinggiran TNWK, untuk berpatroli bersama otoritas taman nasional. Mereka fokus pada pencegahan konflik antara manusia dan gajah, memantau aktivitas satwa liar, menghentikan aktivitas ilegal, dan melindungi habitat berharga sebagai tempat spesies terancam punah.

Menempatkan masyarakat tepi hutan sebagai upaya pelestarian alam di Sumatera, memerlukan dukungan masyarakat setempat melalui strategi mata pencaharian yang beragam dan berkelanjutan, serta memastikan perlindungan sosial dan menyediakan akses pelayanan yang lebih mudah, dalam memenuhi kebutuhan mereka.

Inisiatif yang didukung pemerintah dan LSM konservasi seperti yang disebutkan sebelumnya, hendaknya benar-benar membuat perbedaan dalam memastikan pelestarian alam. Tanpa perlindungan sosial untuk kesejahteraan masyarakat tepi hutan, konservasi alam hanya menjadi ilusi yang terus dikejar.

 

Sebuah rumah hunian di tepi hutan di Sumatera Utara. Foto: Roderick Buiskool

 

* Roderick T.J. Buiskool, Master of Arts, Maastricht University, Belanda, melakukan penelitian lapangan di Sumatera Utara sekaligus magang di Sumatran Ranger Project [SRP]. Topik penelitian adalah mata pencaharian berkelanjutan untuk komunitas tepi hutan, mitigasi konflik manusia-satwa liar, dan pengembangan masyarakat. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: In Sumatra, forest edge communities must be at the center of conservation efforts [commentary]

 

Tautan:

McAfee K. (1998). Selling nature to save it? Biodiversity and green developmentalism. Environment and Planning 17: 133-154. DOI: https://doi.org/10.1068/d170133 

Suryahadi, A., Al Izzati, R. & Suryadarma, D., (2020). The Impact of COVID-19 Outbreak on Poverty: An Estimation for Indonesia, SMERU Research Institute working paper.

 

Terminologi:

Community Based Ecotourism atau ekowisata berbasis masyarakat didefinisikan oleh Denman [2001] sebagai ‘praktik pariwisata dengan komunitas lokal memiliki kendali signifikan atas pengembangan dan pengelolaan ekowisata di destinasi ekowisata. Persentase utama ekowisata tetap berada di dalam komunitas’.

Dalam bagian ini, kesejahteraan dilihat melalui kerangka kesejahteraan Organization for Economic Co-operation and Development/OECD [2017], yang terdiri tiga pilar utama yaitu, kondisi kehidupan material, kualitas hidup, dan sumber daya kesejahteraan masa depan.

Kawasan perifer ke kawasan lindung tertentu atau zona penyangga adalah pembatasan penggunaan sumber daya dan langkah-langkah pembangunan khusus yang dilakukan untuk meningkatkan nilai konservasi kawasan lindung.

 

 

Exit mobile version