Mongabay.co.id

Harapan Baru Rehabilitasi Mangrove di Lokasi Kritis

 

Indonesia mendeklarasikan mega proyek rehabilitasi hutan bakau (mangrove) selama empat tahun ke depan dengan target luasan mencapai 600 ribu hektare. Program tersebut diharapkan bisa memulihkan ekosistem pesisir dan pantai yang ada di berbagai daerah.

Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove menjadi penting untuk dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, karena program padat karya tersebut diyakini bisa membantu proses pemulihan ekonomi masyarakat pesisir yang terkena dampak dari pandemi COVID-19.

Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P4K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Yusuf menjelaskan, program pemulihan ekosistem mangrove memang menjadi program yang akan terus dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia.

Mengingat proyek tersebut berbiaya sangat besar, Pemerintah menjajaki program kerja sama pengelolaan kawasan mangrove dengan Persatuan Emirat Arab (PEA). Penjajakan tersebut dilaksanakan pada akhir Oktober lalu di Dubai dengan melibatkan delegasi Republik Indonesia.

Muhammad Yusuf yang menjadi salah satu delegasi, mengatakan bahwa pertemuan tersebut diwakili oleh KKP dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves). Kedua instansi mendorong agar kerja sama dengan Kementerian Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup (MOCCAE) PEA bisa segera dilaksanakan.

“Sejumlah bidang kerja sama yang disepakati mencakup pengelolaan dan pemulihan mangrove, penelitian bersama, dan peningkatan kapasitas peneliti serta masyarakat,” ungkap dia akhir pekan lalu di Jakarta.

baca : Padat Karya Penanaman 600 Ribu Hektare Mangrove di 34 Provinsi Dimulai

 

Delegasi Republik Indonesia bertemu Delegasi Persatuan Emirat Arab (PEA) di Dubai, akhir Oktober 2020 untuk menjajaki program kerja sama pengelolaan kawasan mangrove di Indonesia. Foto : KKP

 

Muhammad Yusuf menambahkan, setelah bertemu secara langsung dengan Menteri Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup PEA Abdullah bin Mohammed Belhaif Al Nuaimi, pihaknya mulai mendapat gambaran bagaimana respon permohonan kerja sama yang diajukan Indonesia dalam melaksanakan pengelolaan mangrove di Indonesia.

Dari penjajakan kerja sama tersebut, Indonesia mengusulkan kepada PEA ikut melaksanakan pengembangan mega protek rehabilitas mangrove dengan luasan minimal mencapai 10 ribu ha dan dilaksanakan selama kurun waktu empat tahun.

“Kedua negara sepakat untuk segera melaksanakan penandatanganan MoU (memorandum of understanding), baik secara virtual ataupun dengan prosedur lainnya dengan tanggal yang akan ditentukan kemudian,” tambah dia.

Saat berada di Dubai, delegasi RI mengunjungi area konservasi Al-Zawra yang luasnya mencapai 2.200 ha dengan spesies tunggal Avicenia marina (grey mangrove). Kawasan konservasi tersebut dimanfaatkan sebagai ekoturisme untuk kegiatan olah raga di atas perairan mangrove dengan menggunakan kayak (kayaking mangrove).

 

Multi Fungsi

Muhammad Yusuf menerangkan, selain menjadi taman olah raga, Al-Zawra juga berfungsi sebagai kawasan penyerap karbon di Dubai dan sekitarnya. Fungsi tersebut akan dapat mengurangi laju emisi gas rumah kaca yang selalu menjadi permasalahan besar di seluruh negara di dunia.

Deputi Bidang Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenkomarves Nani Hendiarti yang juga menjadi delegasi RI, mengatakan bahwa penjajakan kerja sama dengan PEA bertujuan untuk melaksanakan kegiatan konservasi di tengah pandemi COVID-19.

“Kita usulkan penanaman spesies mangrove dari Indonesia di PEA,” jelas dia.

baca juga : Indonesia Dapat Dana 20 Juta Euro untuk Pembentukan World Mangrove Center

 

Dua warga Gampong Jawa, Banda Aceh menanam bibit mangrove di lahan gambut milik desa. Foto: Irwandi/Juara 3 Pers DETaK 2018

 

Nani menerangkan, secara alami mangrove memiliki fungsi sebagai pelindung pantai saat terjadi gelombang besar. Kemudian, juga sebagai penyerap karbon, penghasil oksigen, tempat berlindung dan pemijahan ikan.

“Oleh karena itu kerja sama pengembangan rehabilitasi mengrove antara Indonesia dan PEA ini menjadi sangat penting bagi kedua belah pihak,” tambah dia.

Penjajakan kerja sama dengan PEA dilakukan, karena saat ini sedikitnya ada 640 ribu ha ekosistem mangrove yang kondisinya dinyatakan krisis. Dengan laju deforestasi mangrove hingga 52 ribu ha per tahun, maka ancaman kerusakan mangrove akan semakin besar.

Menurut Nani, dengan luasan seperti itu, rehabilitasi mangrove secara nasional akan memerlukan biaya yang sangat besar dan tidak akan cukup jika hanya bergantung kepada pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN) atau non-APBN.

“Perlu dukungan semua pihak dalam upaya rehabilitas ekosistem mangrove ini,” tegas dia.

Sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN), penanaman mangrove menjadi kegiatan yang penting. Dua instansi yang melaksanakan kegiatan tersebut, adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan KKP.

Kedua instansi tersebut ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan rehabilitas mangrove pada 2021 di 34 provinsi. Untuk KLHK, sesuai kesepakatan yang sudah dilakukan, penanaman akan dilakukan di atas lahan seluas 46.758 ha dan KKP di atas lahan seluas 1.522,91 ha.

Nani menjelaskan, pengelolaan ekosistem mangrove perlu dilaksanakan secara terintegrasi dengan perencanaan yang baik melalui peta jalan (roadmap) yang mencakup one map mangrove, peraturan, strategi pengelolaan mangrove, pendanaan, dan kelembagaannya.

Menteri Koordinator Bidang Marves Luhut Binsar Pandjaitan pada kesempatan di Brebes, Jawa Tengah, mengatakan bahwa penanaman mangrove akan meningkatkan kepercayaan dunia akan komitmen Indonesia dalam melaksanakan pemulihan lingkungan.

“Program ini akan menunjukan kepada dunia bahwa KLHK kita, KKP kita sangat peduli dengan lingkungan, jadi mereka (dunia) gak usah ngajarin kita soal lingkungan,” ungkap dia.

perlu dibaca : Hari Mangrove Internasional: Momentum Moratorium?

 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan, melaksanakan penanaman mangrove sebagai bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di Brebes, Jateng, Kamis (22/10/2020). Foto : Kemenko Marves

 

Biaya Besar

Menurut dia, perlunya kerja sama dengan pihak atau negara lain dalam melaksanakan rehabilitasi mangrove, karena biaya yang dibutuhkan untuk merehabilitasi minimal 600 ha sedikitnya mencapai Rp16 triliun. Tanpa ada biaya, maka rehabilitas tidak akan pernah konsisten dilaksanakan.

Sebaliknya, jika program rehabilitas mangrove berhasil dilaksanakan dan berjalan baik dalam prosesnya, maka mangrove akan menjadi ekosistem untuk ikan dan kepiting. Dengan demikian, nantinya akan membuka lapangan pekerjaan baru, karena ekosistem mangrove memerlukan pemeliharaan.

“Luas mangrove kita ada 3,31 juta Ha, 20 persen dari total mangrove dunia atau 60 persen di Asia Tenggara, Indonesia itu yang paling besar,” tutur dia.

Sebelumnya, Ketua Umum Indonesian Mangrove Society (IMS) Sahat Panggabean mengatakan bahwa saat ini kawasan mangrove yang kondisinya dinyatakan baik mencapai luas 1,6 juta ha dan yang kondisinya rusak mencapai 1,8 juta juta.

“Khusus untuk kawasan hutan mangrove yang ada di wilayah Pantai Utara (Pantura) pulau Jawa, kerusakan mangrove mencapai 85 persen,” ucap dia dalam sebuah diskusi yang digelar Mongabay, akhir Juli 2020.

Sahat mengatakan, dalam melaksanakan pengelolaan mangrove, Pemerintah mengarahkan untuk menghasilkan nilai ekonomi dari setiap pohon yang sedang dikelola. Cara tersebut diyakini akan menarik minat masyarakat lokal yang selama ini tidak yang tertarik untuk ikut mengelola kawasan hutan bakau.

Dengan luas mencapai 3,4 juta ha, mangrove Indonesia juga menyimpan potensi karbon biru yang sangat besar. Dengan luasan tersebut, kawasan mangrove menyimpan potensi 3,14 miliar ton karbon yang efektif untuk menyerap seluruh karbondioksida (CO2).

Menurut dia, untuk mangrove yang kondisinya baik harus dimanfaatkan untuk kepentingan bersama dengan menghasilkan nilai ekonomi yang tepat. Sementara, untuk mangrove yang kondisinya rusak, itu harus dilakukan rehabilitasi dengan program jangka panjang.

Dalam Target Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove yang disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, dicantumkan bahwa potensi reduksi emisi gas rumah kaca (GRK) bisa mencapai 59 juta ton CO2e pada 2045. Jumlah tersebut ditargetkan dari 34,9 juta ha luasan mangrove.

 

Exit mobile version