Mongabay.co.id

La Nina, Gegar Hidrologi dan Pentingnya Upaya Mitigasi

Fenomena La Nina kembali menghantui sebagian wilayah nusantara. Badan Meteorologi Kimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi hanya ada dua kawasan yang tidak terdampak seperti Sumatera dan Papua bagian timur. Fenomena La Lina diprediksi mulai terjadi pada Oktober 2020 dan puncaknya pada Desember 2020 – Januari 2021.

La Lina sendiri merupakan fenomena alam yang terjadi karena peningkatan suhu pada permukaan Samudera Pasifik timur dan tengah. Dampak dari adanya La Lina ialah terjadinya peningkatan suhu kelembapan pada lapisan atmosfer di atas perairan sehingga membentuk awan dan dapat meningkatkan curah hujan.

Fenomena La Lina dapat menyebabkan intensitas turunnya hujan cukup tinggi pada suatu daerah hingga dapat mencapai 40 persen dibandingkan dengan saat kondisi normal. Akibatnya terjadi gegar hidrologi dan menyebabkan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.

Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) pun menghimbau agar masyarakat bisa mengantisipasi fenomena La Nina dengan memanfaatkan data meteorologi dan melakukan mitigasi bencana.

Tapi apakah kejadian La Nina lalu harus dituding dan “selalu menjadi kambing hitam” untuk setiap penyebab bencana, -khususnya banjir, yang terjadi?

Baca juga:  Fenomena La Nina dan Antisipasi Kemunculan Klaster Corona di Wilayah Bencana

 

Warga mengungsi saat terjadi banjir akhir Oktober lalu di CIlacap, Jateng. Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Gegar Hidrologi

Kekeringan dan banjir bagaikan dua sisi mata uang yang datang silih berganti. “Terlampau banyak dan terlampau sedikit air adalah merusak dunia” demikian pepatah memperingatkan. Optimalisasi neraca air yang tidak tercapai bahkan menimbulkan bencana disinyalir terjadi karena karut marut manajemen sumberdaya air.

Setiap orang membutuhkan setidaknya 2.000 meter kubik air per tahun, sedangkan rata-rata mereka hanya memiliki akses 1.300 meter kubik. Permintaan air yang telah melebihi pasokan yang tersedia ini menghasilkan kelangkaan air.

Permintaan ini terus bertambah seiring pertambahan penduduk dan dinamika pembangunan, sedangkan pasokan sumberdaya air cenderung statis bahkan menyusut. Krisis kelangkaan air atau kekeringan menjadi hantu bagi perjalanan peradaban manusia.

Krisis air didiagnosis terjadi karena efek gegar hidrologi. Gegar hidrologi seperti halnya gegar otak, merupakan kondisi dimana pengelola negeri ini tidak mampu memahami dan gagal memfungsikan kaidah-kaidah hidrologi dalam pembangunan (Siswantara, 2011).

Gegar menyebabkan terganggunya siklus hidrologi. Manajemen sumberdaya air termarjinalkan oleh ambisi kepentingan ekonomi. Malpraktek pembangunan fisik terjadi tanpa kendali. Konversi lahan terbuka menjadi area terbangun merajalela.

Hutan kota disulap menjadi hutan bangunan. Sempadan sungai yang mestinya sebagai kawasan hijau justru padat permukiman. Deforestasi marak terjadi dan mengabaikan prinsip konservasi. Lahan terbuka untuk menyerapkan air hujan menjadi barang langka di perkotaan.

Kodatie (2004) menyebutkan akibat fenomena tersebut diprediksikan 25 persen air hujan menjadi aliran mantap dan sisanya terbuang percuma ke laut. Aliran permukaan air hujan yang selama ini hanya terbuang percuma perlu dikelola dengan baik.

Baca juga: Pentingnya Menjadi Bangsa yang Melek Mitigasi Bencana

 

Petugas Dinas Sumber Daya Air dan Tata Ruang yang sedang membersihkan sampah di Kali Wrati, Pasuruan awal November ini. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Terapi Total

UUD 1945 menegaskan bahwa air dikuasai negara dan harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Kenyataannya air sebagai kebutuhan pokok manusia menjadi barang ekonomis yang tidak murah lagi. Di sisi lain saat permintaan yang semakin meningkat, air justru menjadi barang ekologis yang semakin langka.

Gegar hidrologi mesti diterapi total melalui manajemen sumberdaya air terpadu. Manajemen dapat dilakukan dengan mengontrol dan menyeimbangkan antara aspek penyediaan (supply), kebutuhan (demand), dan alokasi (distribusi).

Manajemen tidak bisa dilakukan responsif dan parsial, baik dalam hal aspek maupun spasial. Selama ini kekeringan hanya dijawab dengan kebijakan dropping air. Alhasil, krisis air hanya teratasi sesaat dan cepat kambuh di kemudian hari.

Harmonisasi penting diciptakan antara aspek teknis, ekonomi, sosial budaya, politik, dan ekologi. Pendekatan spasial juga harus diterapkan melalui pengelolaan berbasis daerah aliran sungai (DAS).

Pembenahan ekologi secara natural hendaknya diprioritaskan sembari melakukan rekayasa lingkungan. Ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan, sebagaimana amanat UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang wajib diupayakan minimal mencapai 30 persen dari luas wilayah.

Kawasan sempadan sungai juga mesti dikembalikan fungsinya. Revitalisasi kawasan dapat dilakukan dengan strategi vertikalisasi. Rumah susun adalah solusi manusiawi bagi pemukim liar.

Rekayasa lingkungan diimplementasikan dengan prinsip optimalisasi neraca air. Salah satu strategi efektif yang layak diupayakan adalah metode pemanenan air hujan (rainwater harvesting).

Fungsi resapan daerah hulu mesti dipertahankan dengan pengendalian konversi lahan dan peningkatan vegetasi. Sedangkan pemanenan air hujan dapat menjadi solusi praktis kekurangan air sekaligus banjir.

Untuk kepentingan jangka pendek, hasil pemanenan dapat langsung dimanfaatkan bagi irigasi, cuci, dan mandi, serta untuk jangka panjang dapat menambah suplai airtanah dengan meresapkannya. Air hujan dengan treatment tertentu bahkan dapat diolah untuk keperluan minum.

Banyak model pemanenan yang dapat dikembangkan, antara lain penampungan air hujan (PAH), sumur resapan, lahan terbuka, lubang biopori, polder, dan lainnya. Pola dan prioritas pemanfaatan air pun dapat dilakukan seperti memanfaatkan air hujan untuk keperluan sekunder, misalnya menyiram tanaman.

Wilayah kepulauan di Indonesia mayoritas dibelah oleh sungai-sungai. Sungai merupakan ekosistem yang membutuhkan manajemen pengelolaan DAS secara konsisten dan berkelanjutan.

Manajemen DAS di Indonesia belum dikelola secara baik. Kementerian PU menyebutkan sekitar 282 DAS dalam kondisi sangat kritis dan menjadi penyebab bencana banjir dan kekeringan.

Sungai yang multi potensi juga menjadi faktor negatif citra wilayah. Sungai identik dengan kekumuhan, penuh sampah, lokasi pembuangan limbah, dan lainnya. Sungai cenderung menjadi bagian belakang belum menjadi wajah depan kawasan.

Ke depan sungai mesti dikembalikan dan dibalikkan menjadi primadona kawasan. Konsep water front city dapat dikembangkan secaras seimbang ekologi, sosial, dan ekonomi.

Krisis air dan banjir adalah hantu masa depan manusia. Sekelompok penduduk yang kini masih aman tidak ada jaminan kondisi ke depan. Diagnosis krisis air dan banjir yang mengindikasikan sebab gegar hidrologi dan merekomendasikan manajemen terpadu penting disadari dan dijadikan isu bersama.

Kunci implementasi manajemen sumberdaya air terpadu adalah komitmen politik pemimpin negeri, kepedulian swasta, dan partisipasi masyarakat.

 

 

 

Exit mobile version