Mongabay.co.id

Usaha Tiada Henti Nelayan Bolmut Saat Pandemi

 

Nelayan di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Sulawesi Utara tetap melakukan aktivitas melaut meski dalam kondisi pandemi COVID-19. Seperti yang dilakukan nelayan Nuzum Lalisu (57).

“Hal ini dilakukan untuk kase makan istri dan anak, karena ini sudah menjadi pekerjaan selama berpuluh-puluh tahun,” ujar nelayan asal Boroko Timur, Kecamatan Kaidipang sesaat setelah menurunkan ikan tangkapannya pada di pantai Batu Pinagut, pertengahan Agustus lalu.

Demi menafkahi keluarga, Nuzum tetap melaut. Bila berangkat melaut sore, di bakal kembali pagi hari. “Kecuali sakit atau cuaca buruk. Pandemi COVID-19 tidak menjadi hambatan,” jelasnya.

Tangkapan ikan yang biasanya didapat adalah ikan oci, dan sesekali ikan batu. “Biasanya penampung akan beli ikan oci ke kami Rp20 ribu/kg. Mereka jual Rp25 ribu/kg. Tapi kalau cuaca buruk pendapatan berkurang,” tuturnya yang sudah menjadi nelayan sejak 1981.

Selama pandemi, dia berharap pemerintah membantu dirinya dan nelayan di Kabupaten Bolmut berupa BBM. “Untuk bantuan khusus nelayan belum ada. Saya berharap pemerintah bisa membantu para nelayan selain BBM, ada alat menangkap ikan, hingga mesin,” harapnya.

Selain itu dirinya berharap kepada pihak terkait untuk memperhatikan kondisi pulau Bongkil yang menjadi tempat mencari ikan. “Biasanya kami ba daseng sampai tiga hari, tapi sudah agak sulit mendapat ikan di wilayah tersebut, karena adanya bom ikan, racun, hingga bius. Sebenarnya kita sesama warga Indonesia menangkap ikan dimana saja tidak apa, tapi lakukan dengan tanpa merusak,” kata Nuzum.

baca : Melihat Kemandirian Nelayan di Sulawesi Utara Menghadapi Pandemi

 

Ikan yang didapat oleh nelayan di Kabupaten Bolmut. Walaupun pandemi mereka tetap melaut. Foto : Fandri Mamonto/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan nelayan lainnya, Ismail Paputungan (51) berharap pemerintah membantu nelayan dengan mesin perahu. “Saat ini sejak pandemi kami tetap melaut, aktivitas tetap jalan. Kendalanya hanya cuaca. Kalau cuaca bagus ikan didapat hasilnya bagus, kadang saya bisa dapat ikan kakap sampai 10 kg lebih,” tuturnya yang melaut sejak 1991 itu.

“Ikan kakap saya jual kepada pelanggan Rp40 ribu/kg, tapi kalau bukan ke pelanggan bisa mencapai Rp45 ribu/kg. Strategi saya selama pandemi COVID-19, memanfaatkan pelanggan. Biasanya saya antar ikan langsung ke pelanggan. Ada juga pembeli datang saat kami tiba dari melaut,” jelasnya.

Kalau cuaca buruk, kadang tidak membawa hasil dari melaut. “Penjualan tergantung yang kami para nelayan dapat. Kalau banyak biasanya harga turun, tapi kalau sedikit didapat harga naik,” katanya sambil memperbaiki mesin perahunya.

Selain sebagai nelayan, Ismail bekerja sebagai guru honorer. Menurutnya pandemi ini membuatnya fokus melaut, apalagi belajar tatap muka belum ada. “Nah biasanya setelah melaut saya tetap melaksanakan tugas sebagai guru horoner bahasa Arab, tetap membuat pertemuan 5 orang,” katanya yang mengajar di MTS Negeri II Bolmut ini.

“Tapi pekerjaan utama tetap nelayan, kalau guru honorer gajinya bisa per bulan, tapi kalau nelayan bisa dapat per hari. Dan bisa membeli keperluan pangan,” tambahnya yang juga sebagai imam mesjid ini.

baca juga : Nelayan Manado : Semangat Melaut Meski Daya Beli Tengah Surut (Bagian 2)

 

Ismail Paputungan saat sedang memperbaiki mesin perahunya. Foto : Fandri Mamonto/Mongabay Indonesia

 

Penjualan Ikan Menurun

Bagi Rendi Kohongia (30) pedagang ikan yang sering berjualan di pasar Boroko, Bolangitang dan Ollot, penjualan ikan menurun dibandingkan sebelum COVID-19. “Selama COVID-19 ini kami mengalami rugi. Biasanya di pasar Boroko bisa mendapatkan Rp1.250.000 per hari sebelum COVID-19. Tapi saat COVID-19 mendapatkan Rp500 ribu sudah paling tinggi,” ungkapnya.

“Saya biasa beli ikan Rp900 ribu per cool box, tapi kadang tak laku dijual, walaupun dijual dibeberapa pasar baik Boroko, Ollot dan Bolangitang. Biasanya ikan bertahan beberapa hari dengan es batu yang dibeli. Tapi kalau sudah hampir lima sampai enam hari kami buang ikan yang tidak laku tersebut,” tuturnya.

Menurutnya, semenjak COVID-19 ini kebutuhan es juga meningkat, biasanya hanya dibeli sampai dengan harga Rp50 ribu. ”Tapi kini es yang kami beli dengan harga Rp100-200 ribu. Memang harapannya ada pabrik es, tapi bagi saya kalau ada bantuan freezer sudah cukup untuk bisa menyimpan ikan,” harapnya kepada pemerintah.

“Walaupun penjualan ikan menurun, saya tetap berjualan. Saya hanya tahu pekerjaan ini, tidak mencari pekerjaan, tetap berjualan ikan seperti biasa, walaupun kadang ikan kami buang,” tambahnya.

perlu dibaca : Perempuan Nelayan Manado, Mencari Solusi di Tengah Pandemi (Bagian 1)

 

Rendi Kohongia salah satu pedagang ikan di pasar Boroko tampak sedang menjajakan ikannya. Foto : Fandri Mamonto/Mongabay Indonesia

 

Selain Rendi, hal yang sama diungkapkan Adit (37) pria asal Sulawesi Selatan yang sudah tinggal di desa Boroko Utara ini menambahkan jualan ikannya kadang tak laku selama COVID-19.

“Sebelum COVID-19 biasanya saya bisa mendapatkan keuntungan, setiap cool box yang isinya 50 kg, satu kg ikan kadang dijual Rp25 ribu, kalau laris bisa mencapai Rp1.250.000.00,”tuturnya sambil tetap menjajakan ikannya di pasar Boroko.

Dia bakal membagikan ikan yang tidak laku dijual kepada masyarakat di pasar Minggu (Ollot) saat akan pulang. “Caranya seperti itu jika ikan tak laku, daripada kami bawa lagi kembali dan setelah beberapa hari lagi sudah tidak layak dijual dan dibuang,” ujar pria beramput panjang ini.

“Ikan yang tak laku, bukan hanya satu macam tapi bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan (makan) saat berjualan ikan, saya mengaturnya, kadang bisa beli pisang ke pedagang di pasar Boroko,” tambahnya.

Tapi menurut Adit yang namanya pekerjaan tetap dilakukan, tetap tidak putus asa untuk tetap berjualan. “Sampai saat ini belum terpikir untuk pindah pekerjaan, masih tetap berjualan ikan,” tegasnya.

Hal yang sama diungkapkan Yamin Bukoting (60) salah satu pedagang ikan di jalan trans Sulawesi, Desa Kuala Utara, Kecamatan Kaidipang mengungkapkan penurunan penjualan ikan selama pandemi.

“Biasanya harga ikan kami jual Rp20-25 ribu dan semenjak awal pandemi harganya sampai Rp10 ribu, karena tidak laku,” jelasnya.

Walaupun demikian lelaki yang memiliki empat orang anak ini menuturkan dirinya tetap berjualan untuk kehidupan keluarga. “Tiga anak saya sudah SMK dan satu lagi kuliah, jadi saya tetap harus berjualan,” ungkapnya.

Sebelum pandemi, Yamin bisa mendapatkan sampai Rp1 juta. Tapi setelah awal pandemi pendapatan berkurang biasanya sampai Rp500 ribu, bahkan hanya Rp250-300 ribu.

Ditanya tentang apakah tidak mencari pekerjaan lain, Yamin menambahkan sebenarnya suka, tapi diusia seperti ini yang sudah tua sudah tidak lagi banyak melakukan pekerjaan. “Sehingga tetap berjualan ikan, alhamdulilah masih bisa mencukupi kebutuhan saat ini,” jelasnya.

“Selama pandemi saat itu, ikan yang mengalami penurunan harga menurutnya, bermacam-macam. Ya semacam ikan deho, ocit, sumolong hingga ikan batu,” tambahnya.

baca juga : Terdampak COVID-19, Nelayan Harus Diberi Perhatian Khusus

 

Adit pedagang ikan di pasar Boroko. Foto : Fandri Mamonto/Mongabay Indonesia

 

Kebutuhan es juga meningkat selama pandemi, pasalnya harus menyimpan ikan sedikit lebih lama disaat ikan belum laku dalam sehari. “Biasanya juga pengeluaran di es batu meningkat, hingga saya membeli sampai 50 es batu untuk kebutuhan ikan,” tuturnya.

Dirinya berharap juga pemerintah bisa memperhatikan pedagang ikan, bahkan berharap berupa bantuan dari pemerintah terkait penjualan ikan. “Frezeer juga kalau ada ya bersyukur, untuk menyimpan ikan. Termasuk juga tempat ikan pupu,”jelasnya.

Dirinya mengaku sudah pernah memasukkan proposal kepada pemerintah daerah terkait program bantuan pemerintah. “Itu beberapa tahun lalu, tapi sampai saat ini proposal itu belum terrealisasi,”ujarnya.

 

Bantuan Nelayan

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bolmut memberikan program bantuan bagi nelayan yang terdampak pandemi, seperti pengadaan cool box, mesin katinting, hingga perahu 2 GT.

“Semuanya diperuntukkan bagi nelayan kecil yang ada di Kabupaten Bolmut,” jelas Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Bolmut Adler Manginsoa.

“Tekait dengan BBM, kami tetap memberikan rekomendasi bagi nelayan yang memenuhi syarat, misalnya ada surat rekomendasi dari kepala desa setempat,” ujarnya.

Sedangkan Dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Dr Alfi S Baruadi nelayan harus dibantu karena merupakan profesi yang memenuhi kebutuhan pangan berupa protein hewani.

“Pertahankan profesi nelayan untuk tetap menjalankan roda ekonomi rumah tangga nelayan. Sebagai penghasil pangan khususnya protein hewani bagi masyarakat, maupun sebagai penyumbang dana dari retribusi hasil perikanan,”ungkapnya.

Pukulan berat bagi nelayan saat pandemi, katanya,, adalah pintu ekspor tidak seperti dulu bahkan ditutup dibeberapa Negara. “Pukulan berat lain ada akibat pertumbuhan ekonomi saat ini semakin terpuruk akan mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat akan produk perikanan,” tuturnya.

“Akan tetapi dibandingkan dengan profesi lain, maka perikanan khususnya perikanan tangkap masih kuat untuk bertahan dalam situasi pandemi COVID-19. Karena alasan ketersediaan sumber daya ikan kita masih banyak dan sumberdaya manusia yaitu nelayan berpengelaman,” ujar dosen jurusan manajemen sumberdaya perikanan UNG ini.

Soal bantuan, menurut Baruadi dirinya menuturkan, jika mengutip beberapa pendapat nelayan. “Torang jangan kase bantuan makanan pak, karena abis makan torang somo tidor (Kami jangan diberikan bantuan makanan, karena abis makan kami tidur). Sehingga saya menyarankan bantuan biaya operasional yang bisa dibarter dengan ikan hasil tangkap,” katanya.

“Mengapa? Karena ini yang menjadi masalah saat ini karena biasa operasional yang tidak cukup bahkan sudah tidak ada biaya pengeluaran sama harga jual tidak berimbang. Bantuan biaya operasional dibarter dengan ikan dan sisanya atau keuntungan dari jual ikan diberikan tunai. Bisa bekerja sama dengan koperasi atau lembaga yang bisa berperan baik dan pengalaman,”harapnya

perlu dibaca : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19

 

Ikan yang didapat oleh nelayan di Kabupaten Bolmut. Walaupun pandemi mereka tetap melaut. Foto : Fandri Mamonto/Mongabay Indonesia

 

Untuk bantuan jangka panjang menurut Baruadi lebih disarankan kepada bantuan armada penangkapan dan alat penangkapan. “Perlu juga lembaga perikanan yang merupakan wadah mereka. Hati-hati kalau wadah tersebut dimanfaatkan oleh oknum yang membawa atas nama nelayan,”jelasnya.

Sementara itu pelopor sekaligus pembina organisasi Deheto Hulonthalo (laut Gorontalo) Sandry Djunaidi mengatakan dalam situasi pandemi seperti ini istri nelayan bisa diberdayakan. “Agar bisa dilihat bagaimana kedepannya kontribusi dari istri nelayan saat pandemic seperti ini,”ujarnya.

Dirinya menuturkan hal ini mencegah jika hasil ikan melimpah, dan dalam situasi pandemi ikan tidak habis terjual. “Sehingga dengan diberdayakan istri nelayan bisa menjadi nilai tambah bagi kehidupan nelayan, karena lebih bervariasi dan menarik minat,” kata tenaga pendidik di laborotarium hidrobioekologi dan Biometrik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Negeri Gorontalo ini.

Baginya, pemerintah daerah bisa membantu para nelayan dan pedagang melalui bantuan ke UMKM. “Sehingga melalui UMKM yang ada para nelayan bisa terbantukan soal penjualan ikan mereka. Untuk pedagang ikan, mungkin bisa dibantu dengan cara penjualan online dengan ada yang mendampingi mereka,” tambahnya.

 

***

 

*Fandri Mamonto. Jurnalis klik24.id Sulawesi Utara. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version