Mongabay.co.id

Asa Nelayan Pulau Kodingareng ditengah Pandemi Corona

 

Sejumlah nelayan di Pulau Kodingareng, Kelurahan Kodingareng, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan mengaku penghasilannya menurun drastis sejak Februari 2020. Penyebabnya bukan hanya pandemi Covid-19 tetapi juga rusaknya wilayah tangkap mereka.

Pandemi COVID-19 menjadi pukulan pertama untuk para nelayan Pulau Kodingareng. Mayoritas mereka menggantungkan hidupnya dari mencari ikan, khususnya ikan Tenggiri dan Sunu atau Kerapu yang menjadi andalan untuk meraup penghasilan.

Sejak pandemi melanda, harga ikan-ikan itu anjlok hingga 50 persen. Bahkan mereka sempat kesulitan menjual ikan-ikan hasil tangkapannya.

Seorang nelayan asal Pulau Kodingareng yang merasakan kondisi itu adalah Asri (32). Asri mengaku, dalam lima bulan terakhir pendapatannya dari menangkap ikan merosot drastis. Dulunya dia bisa menjual ikan hasil tangkapannya hingga Rp500 ribu, bahkan Rp1 juta per hari.

“Dulu, pendapatan saya rata-rata mencapai Rp500 ribu per hari bahkan bisa mencapai Rp1 juta per hari. Sehingga bisa tercukupi untuk kebutuhan keluarga. Bahkan ada sisanya untuk menabung. Sebelum pandemi menyebar setiap melaut saya menabung Rp200 ribu  per hari untuk persiapan biaya pendidikan anak dan musim barat nanti,” ujar Asri.

Namun, sejak pandemi melanda, kehidupannya berubah. Harga ikan Tenggiri kualitas ekspor, yang sebelumnya berkisar Rp90 ribu/kg, turun drastis menjadi Rp58 ribu hingga Rp35 ribu/kg.

baca : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Potret Pulau Lae-Lae, Lesunya Perdagangan Ikan Hingga Sepinya Papalimbang [Bagian 2]

 

 

Dari 4.526 jiwa jumlah penduduk yang terdiri dari 1.081 kepala keluarga (KK) di Pulau Kodingareng mayoritas bekerja sebagai nelayan. Foto : Nurdin Amir/Mongabay Indonesia

 

Hal yang sama disampaikan oleh nelayan lain, Ismail. Menurut Ismail, saat awal pandemi hasil tangkapannya masih cukup melimpah. Harga jual saat itu pun masih pada kisaran Rp90 ribu hingga Rp100 ribu/kg. Tapi kini harga jual hanya pada kisaran Rp30 ribu/kg.

“Hasil tangkap ikan saat pandemi sulit terjual. Apalagi ikan Tenggiri kualitas ekspor. Itupun harganya murah. Belum lagi hasil tangkapan tidak menentu dan jarang melaut, karena wilayah tangkap andalan kami terganggu oleh aktivitas tambang,” ucap Ismail, yang ditemui Jumat, (30/9/2020).

Dampak dari menurunnya penghasilan para nelayan juga dirasakan oleh istri-istri mereka, yang terpaksa harus berutang pada pengumpul atau punggawa (pemilik modal) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Pujiati, istri Ismail, misalnya, mengatakan sejak pandemi melanda dan adanya aktivitas penambangan pasir suaminya hanya membawa uang hasil penjualan ikan sebesar Rp20 ribu hingga Rp50 ribu per hari.

“Selama pandemi Covid-19 ditambah ada penambangan pasir laut. Ya harus ngutang. Biasa meminjam uang Rp.100.000/hari untuk beli beras dan minjam bensin kepada pengumpul untuk mesin perahu. Nanti bayar kalau ada hasil. Dicicil,” ujar Pujiati.

Pujiati sedikit bersyukur, sebab beberapa keluarga dan kerabat yang masih memiliki uang datang untuk membantunya.

“Kemarin tidak ada beras di rumah, mau masak tidak ada. Mau minum teh bapak, tidak ada gula. Untung ada bantuan dari saudara. Dia berikan uang Rp.50.000 untuk beli beras 3 liter dan gula setengah kilo,” katanya.

baca juga : Menakar Ketahanan Pangan di Pulau Kodingareng dan Pajjenekang di Masa Pandemi Corona

 

Nelayan pancing Kodingareng keluhkan sulitnya mendapatkan ikan di wilayah tangkap. Sejak penambangan pasir laut, air laut menjadi keluh. Foto : Nurdin Amir/Mongabay Indonesia

 

Bantuan Covid-19 untuk Nelayan

Kesulitan para nelayan di Pulau Kodingareng semakin terasa saat Pemerintah Kota Makassar menerapkan pembatasan sosial berskala besar(PSBB) akibat tingginya jumlah kasus positif COVID-19.

PSBB tersebut berdampak pada sulitnya akses keluar-masuk Kota Makassar, termasuk semakin sulitnya mereka menjual ikan hasil tangkapan di pasar.

Sebagian warga Pulau Kodingareng sedikit dapat bernafas lega sebab mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah, khususnya untuk warga yang terdampak pandemi secara langsung. Mereka menerima bantuan berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan bantuan dana Program Keluarga Harapan (PKH).

Kenna, seorang ibu rumah tangga di Pulau Kodingareng yang mendapatkan bantuan dana Program Keluarga Harapan (PKH) mengatakan adanya bantuan PKH tesebut sedikit membantu perekonomian keluarga, terutama untuk biaya sekolah anaknya.

“Waktu awal Corona (pandemi COVID-19) banyak bantuan. Banyak yang datang bawa bantuan beras. Pemerintah memberikan bantuan dana Program Keluarga Harapan (PKH) Rp500 ribu dan beras 10 kilogram. Dana yang diberikan bisa bantu untuk biaya sekolah anak,” katanya.

Bantuan lain untuk warga yang terdampak pandemi pun diberikan oleh pemerintah Kelurahan Kodingareng berupa beras 10 kilogram, minyak goreng, terigu dan sejumlah kebutuhan rumah tangga lainnya. Bantuan ini diberikan per kepala keluarga.

Selain Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan bantuan dana Program Keluarga Harapan (PKH), pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan juga memberikan Bantuan Sosial Tunai (BST) kepada masyatakat terdampak COVID-19. Nilainya Rp600 ribu per bulan per kepala keluarga (KK).

perlu dibaca : Derita dan Asa Nelayan Sulsel di Tengah Pandemi COVID-19 (bagian 1)

 

Sejak pandemi COVID-19 dan penambangan pasir, Hamzah, nelayan Pulau Kodingareng, hanya mendapatkan hasil paling banyak Rp.50 ribu. Foto : Nurdin Amir/Mongabay Indonesia

 

Plt Kepala Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Makassar Andi Sumarni mengatakan, nelayan yang tercatat sebagai nelayan budidaya dan nelayan tangkap di Kota Makassar jumlahnya sekitar seribu orang. Mereka mendapatkan Bantuan Sosial Tunai (BST) selama pandemi.

“Awalnya nelayan menerima bantuan BST per tiga bulan, dan saat ini bantuan tersebut berlanjut dan dibayar per bulan,” ujar Sumarni, Senin (5/10/2020).

Sumarni menambahkan, selama ini Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Makassar telah memberikan penyuluhan kepada nelayan, termasuk tentang data nelayan.

Menurutnya, sejumlah masalah yang dihadapi nelayan di Kota Makassar disebabkan oleh data nelayan. Masih ditemukan banyak nelayan yang tidak mendapatkan kartu nelayan. Hal ini menurut dia berdampak kepada bantuan kepada nelayan, apalagi dimasa pandemi COVID-19 seperti saat ini.

“Sebenarnya nelayan kita banyak. Tapi masalahnya, masih banyak yang tidak punya kartu nelayan. Makanya, upaya kita melalui penyuluh perikanan ini, mendata semua nelayan yang ada di Kota Makassar, karena melalui kartu nelayan, nantinya bisa melalui kelompok. Nah, kalau dia tidak berkelompok pasti tidak dapat bantuan,” kata Sumarni.

Dia mengatakan, pendataan nelayan harus dilakukan setiap saat, untuk mengetahui jika ada nelayan yang beralih profesi atau meninggal, dll. Saat ini, lanjut dia, pemerintah terus melakukan pendampingan dan memonitoring kelompok-kelompok nelayan yang ada di lapangan.

Upaya lain yang dilakukan Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Makassar untuk membantu nelayan adalah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk masyarakat, terutama masyarakat pesisir dan masyarakat pulau. Bantuan DAK itu bersumber dari Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk kelompok nelayan. Untuk mendapatkan bantuan, salah satu syaratnya adalah nelayan harus punya kelompok.

“(DAK KKP) masih dalam proses lelang, belum cair. Kan dana ABPD Kota Makassar sangat minim, jadi kita selalu mengupayakan ke pusat untuk memberikan data bahwa ini yang dibutuhkan kelompok nelayan kami. Khususnya di Kota Makassar,” terang Sumarni.

perlu dibaca : Terdampak COVID-19, Nelayan Harus Diberi Perhatian Khusus

 

Ikan Tenggiri, salah satu ikan kualitas ekspor yang memiliki nilai tinggi. Selain harga anjlok, Tenggiri sulit ditemukan selama penambangan pasir laut. Foto : Nurdin Amir/Mongabay Indonesia

 

Harapan pada Pemerintah Sulsel

Adanya bantuan yang disalurkan pada para nelayan tidak serta merta membuat para nelayan bergembira. Sebab masih ada masalah lain yang lebih pokok bagi mereka, yakni kebijakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang mengizinkan aktivitas tambang pasir laut.

Adanya  penambangan pasir yang dilakukan oleh PT Royal Boskalis Internasional untuk proyek strategis nasional Makassar New Port disebut membuat para nelayan semakin sulit menangkap ikan.

Kenna, istri seorang nelayan di Pulau Kodingareng, mengatakan selama COVID-19 hingga hadirnya penambangan pasir pendapatan suaminya sangat minim. Hasil penjualan dari ikan tangkapan hanya berkisar Rp50 ribuper hari, bahkan kadang tidak ada.

“Dulu sering dapat Rp700 ribu, paling sedikit Rp500 ribu. Dari hasil tangkap ikan Tenggiri, Mangali dan Mambangang. Bahkan biasa dapat Rp1 juta satu hari. Apalagi kalau dapat 5 ekor ikan Tenggiri. Sekarang tidak ada,” kata istri Muhammad Tahir ini, yang berharap masalah ini segera berakhir dan mendapat perhatian serius pemerintah terkait.

Kenna melanjutkan, biasanya nelayan dari Pulau Kodingareng menangkap ikan di Copong, Bonepama dan Gossea. Mereka mengandalkan kawasan Copong di perairan Spermonde sebagai lokasi penangkapan ikan.

Menurutnya di kawasan  Copong banyak ikan Tenggiri, Sunu, Bambangang dan Mangali. “Disitu kasi turun rawe-nya (alat tangkap nelayan pancing). Dulu satu kali ji kasi turun rawe langsung dapat ikan. Sekarang 3 kali kasi turun Rrawe susah mi. Penyebabnya karena air keruh putih. Lima bulan mi begitu selama ada pengambilan pasir,” keluh Kenna, menceritakan penderitaan suaminya.

 

Nelayan di Pulau Kodingareng sedang memperbaiki alat pancingnya. Nelayan mengaku sejak penambangan pasir laut, hasil tangkap nelayan pancing menurun drastis. Foto : Nurdin Amir/Mongabay Indonesia

 

Nelayan Pulau Kodingareng berharap Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah menghentikan penambangan pasir di wilayah tangkap nelayan. Sebab mereka merasakan langsung sulitnya mendapatkan ikan setelah pasir dikeruk oleh kapal milik PT. Royal Boskalis selama bulan Februari hingga September 2020.

“Kami minta supaya itu Boskalis tidak menambang pasir lagi. Mati semua nelayan kalau ada terus ki ini. Karena tidak ada hasil tangkap ikan, kita pinjam mi di kios-kios yang jual bensin. Ngutang lagi. Kalau tidak ngutang tidak berangkat melaut. Kadang juga hanya dapat pembeli bensin,” harap Rustam.

“Hanya 11 ekor ikan Banyara. Baru jauhnya lagi menangkap, sekitar 9 mil. Ini dampaknya penambangan pasir. Kalau dijual sekitar RO50 ribu, untung kasihan itu. Kemarin-kemarin hanya Rp20 atau Rp30 ribu,” keluh nelayan lain yang bernama Ismail, sambil berharap Nurdin Abdullah menghentikan izin tambang pasir yang menyengsarakan ratusan nelayan Pulau Kodingareng.

baca juga : Menggali Potensi Ekonomi di Kepulauan Makassar dan Pangkep Saat Pandemi

 

Saat ekonomi keluarga merosot di awal pandemi COVID-19, Suryani memilih membuat usaha Abon bersama anaknya. Usaha Abon miliknya bisa membantu biaya kuliah anaknya. Foto : Nurdin Amir/Mongabay Indonesia

 

Upaya untuk Bertahan

Meski menghadapi sejumlah masalah yang berdampak pada perekonomian, seperti anjloknya harga ikan dan sulitnya mendapatkan ikan karena penambangan pasir laut, beberapa istri nelayan di Pulau Kodingareng berinisiatif untuk membuat usaha mandiri demi keberlangsungan hidup mereka, di antaranya dengan membuat abon ikan Tenggiri.

Salah satu pembuat abon adalah Suryani. Dia bersama anaknya, Nurlia, memproduksi abon ikan Tenggiri dengan merk Wisnur. Pembuatan abon itu mulai dilakukan pada bulan Maret 2020. Hasilnya, usaha tersebut bisa membantu biaya kuliah sang anak.

“Anak saya kuliah. Semenjak pandemi COVID-19 tidak masuk kuliah, jadi disitu memulai usaha membuat abon dari ikan Tenggiri. Kebetulan bapak kan nelayan, di situ awalnya. Ikan Tenggiri hasil tangkapan bapak jadi modal untuk membuat abon. Jadi tidak beli ikan,” ujar Suryani, Minggu (6/9/2020).

Untuk memproduksi abon tersebut Suryani dan Nurlia hanya bermodalkan ikan hasil tangkapan suaminya ditambah minyak goreng dan rempah-rempah lainnya.

Untuk pemasarannya, Nurlia biasa menjualnya melalui media sosial, salah satunya adalah Facebook Marketplace.  Jika ada pemesan, dia langsung mengantarkan jika rumahnya di wilayah Kota Makassar.

Usaha itu bukan hanya membantu perekonomian keluarga Suryani. Sebab jika pesanan abon cukup banyak, dia memberdayakan ibu-ibu nelayan lain untuk membantunya memproduksi abon.

“Abon dijual dari ukuran 50 gram hingga 1 kilogram. Harganya, dari Rp10 ribu – Rp700 ribu. Keuntungan, tidak menentu. Hasilnya, untuk kebutuhan kuliah dan uang kost-kostan. Ada yang pernah pesan satu ton. Karena ikan kurang, jadi hanya 700 kilogram dibuat,” ujar Nurlia.

 

 ***

 

*Nurdin Amir. Jurnalis Lontar.id Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version