Mongabay.co.id

Celepuk Rinjani, Mengenal Burung Hantu Kecil dari Lombok

 

 

 

 

 

Tanah di hutan Joben, masih basah sisa guyuran hujan sehari sebelumnya. Aroma kopi bersaing dengan bau tanah dan pepohonan yang mengelilingi Kantor Resort Joben SPW II Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), di Desa Pesanggrahan, Kecamatan Montong Gading, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, awal November lalu.

Supriyanto, Kepala Resort Joben SPW II TNGR, menyuguhkan kopi. Rombongan pengamat burung dari Bird Study Club (BSC) Kecial Universitas Mataram, datang lebih awal memantau kondisi di lapangan. Rombongan lain, dari Geopark Rinjani terjebak hujan dalam perjalanan. Kami sempat ragu kegiatan pengamatan burung celepuk Rinjani (Otus jolandae) akan berjalan lancar malam itu. Hujan akan menghalangi burung hantu terkecil di Indonesia itu keluar dari sarang.

Belum 30 menit kami berbincang, hujan mulai turun. Supriyanto dan beberapa pegawai TNGR pamit. Kami ditemani para pengurus Joben Eco Park, kelompok masyarakat binaan Balai TNGR yang mengelola ekowisata Joben.

Kami sepakat malam itu akan menginap di Kantor Resort Joben. Tenda yang kami bawa dari Mataram tetap berada dalam tas. Tak lama, hujan berhenti. Tidak ada gerimis. Kami bersiap menyiapkan alat-alat pemantauan.

Tiga kamera dengan lensa panjang, dua senter khusus melihat pergerakan burung, dan senter penerang jalan. Tutupan hutan di Joben cukup lebat. Program penghijauan TNGR bersama masyarakat berhasil mengembalikan kawasan yang pernah terambah itu.

Marliana, tim kami yang akan mencatat pengamatan menyiapkan speaker aktif yang terhubung dengan bluetooth. Dihubungkan dengan smartphone berisi kicauan celepuk.

Celepuk Rinjani adalah burung hantu yang bisa dipanggil. Mereka bisa dipancing keluar dari sarang.

Sembari menunggu di kegelapan, kami dihibur sinar dari kunang-kunang. Suara kodok bersahutan. Marliana, mahasiswi Biologi MIPA Universitas Mataram itu memecah keheningan dengan menjelaskan perbedaaan kodok dan katak. Termasuk jenis kodok dan katak di Lombok. Kodok, dan kunang-kunang yang masih dijumpai di hutan Joben itu memandakan ekosistem hutan cukup sehat.

Sstttttttt. “ Mirzan Asrori, pengamat burung profesional yang ikut bersama meminta kami hening.

“Itu suara celepuk, masih tinggi posisinya.”

Uwwwwww…uwwwww… dari speaker menggema di tengah hutan.

 

Tutupan kawasan hutan Joben dari udara. Hutan yang terjaga menjaga Celepuk Rinjani terus berkembang biak. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Bayang-bayang pohon terlihat terkena sinar bulan. Daun bergerak, bayang-bayang yang terbang menjadi penanda lokasi bertengger celepuk. Mirzan meminta Marliana mengarahkan senter ke sebuah pohon di depan kami. Begitu senter dinyalakan, mata saya langsung beradu dengan mata celepuk Rinjani. Darah mendesir, kaget, takjub. Ini kali pertama saya melihat celepuk Rinjani bertengger dan bersuara. Sebelumnya hanya melihat dari foto dan video, dan beberapa kali melihat burung hantu yang biasa dikenal.

Celepuk Rinjani berukuran kecil, hampir seperti merpati muda. Berbeda dengan burung hantu lain yang besar. Suara celepuk juga berbeda dengan burung hantu yang pernah saya dengar di sekitar rumah kakek saya.

“Dulu, awalnya celepuk Rinjani ini dikira celepuk Maluku. Setelah diidentifikasi barulah disimpulkan ini spesies yang baru ditemukan. Dari ukuran badan, suara, hingga pemeriksaan DNA,’’ kata Mirzan.

Di lokasi pengamatan pertama, kami menjumpai dua celepuk Rinjani. Suatu waktu mereka bertengger bersama. Suatu waktu mereka mengelurkan suara berbeda, terdengar aneh dan ngeri. Mirzan bilang, itu suara mereka mau kawin.

“Kalau kita temukan satu, pasti ada pasangan. Karena celepuk Rinjani ini selalu berpasangan,’’ kata pemuda yang menjadi kontributor buku burung-burung di Lombok dan Sumbawa itu.

Celepuk Rinjani ditemukan George Sangster. Penemuan itu ditulis dalam jurnal berjudul “A New Owl Speciel of The Genus Otus (Aves:Stringidae) from Lombok Indonesia” tahun 2013. Sejak 2013 itulah, celepuk ini jadi salah satu maskot Rinjani, selain kijang dan elang Flores.

Celepuk biasa ditemukan di pinggir hutan lingkar Rinjani. Mereka ada di hutan yang berbatasan dengan daerah terbuka maupun bertutupan rapat.

“Tapi jumlahnya bisa jadi terus berkurang,’’ kata Mirzan.

 

 

Dua celepuk Rinjani bertengger, tak lama kemudian dari suaranya yang terdengar oleh pengamat burung mereka melangsungkan perkawinan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

***

 

“Puk-puk kupanggil. Sik sedi ku sisik. Si tengak ku regem.” (Burung Pokpok saya panggil. Pokpok berkata : yang (tidur) di pinggir akan saya raba kepalanya. Yang tidur di tengah akan saya pegang).

Begitu lagu pengantar tidur masa kanak-kanak saya. Almarhum nenek sering menyanyikan lagu ini. Ia juga sering jadi cara kami saling menakuti ketika tidur ramai-ramai.

Puk-puk atau Pokpok adalah nama lokal untuk celepuk Rinjani. Di tempat lain ada yang menyebut Mpok. Ada juga yang menyebut Dares. Hanya saja Dares ini merujuk pada burung hantu yang berukuran besar.

Orang kampung percaya, burung hantu itu jadi tanda kematian. Burung hantu bersuara itu tanda akan ada malapetaka. Siapa yang mendengar burung hantu harus waspada. Apalagi kalau sampai melihat burung hantu bisa menjadi tanda tidak baik. Keesokan paginya, biasa keluarga akan membincangkan suara burung hantu itu. Ada orang yang ingin berbuat tidak baik. Pada malam-malam setelah itu, kami biasa berjaga malam hari. Membersihkan seluruh bekas tempat memandikan jenazah.

Mitos inilah yang membuat orang yang tinggal di lingkar Rinjani, dan Lombok, umumnya menjaga celepuk Rinjani. Berbeda dengan burung-burung jenis lain, hampir semua diburu untuk konsumsi, koleksi, dan perdagangan satwa. Belum pernah ditemukan kasus ada perdagangan celepuk Rinjani. Begitu pun dengan perburuan masif burung jenis lain, ada pengecualian dengan celepuk Rinjani. Semacam ada pantangan bagi para penggemar burung dan pemburu menangkap burung ini.

“Mitos ini juga menjadi penyebab celepuk Rinjani masih terjaga,’’ kata Budi Soesmardi, staf Pengendalian Ekosistem Hutan Balai TNGR.

Walaupun baru ditemukan 2013, tetapi celepuk Rinjani berdasarkan Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) 2019 termasuk kategori mendekati terancam. Ancaman terbesar celepuk ini dari degradasi lahan. Di beberapa lokasi hutan Rinjani terjadi perambahan, baik di bawah tanggung jawab Balai TNGR, KPH Rinjani Timur, KPH Rinjani Barat, KPH Tastura Pelangan, dan Tahura Nuraksa.

Satu contoh perambahan masif di hutan Pesugulan, Desa Bebidas, Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur. Sekitar 116 hektar hutan dulu bertegakan rapat, kini jai ladang. Walaupun Balai TNGR berhasil menertibkan, perlu waktu puluhan tahun untuk mengembalikan ekosistem seperti sediakala.

Ketika hutan dirambah, celepuk Rinjani kehilangan rumah. Hutan yang rusak akan mengurangi sumber makanan mereka. Akibatnya, celepuk Rinjani perlahan punah. Di lokasi yang masif terjadi perambahan, sulit menemukan kembali celepuk.

 

Para pelajar SD dan SMP yang mengikuti edukasi Celepuk Rinjani yang diselenggarakan Balai TNGR dan Geopark Rinjani Lombok. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Pengalaman di hutan Ulem-Ulem Desa Tetebatu, Kecamatan Sikur, Lombok Timur, menjadi contoh. Kawasan itu dulu pernah kritis karena pembalakan liar dan perladangan. Ketika kawasan itu kritis, tidak pernah terdengar suara celepuk Rinjani. Lutung (kera hitam) juga tidak pernah terlihat. Setelah kawasan kembali hijau, mudah menjumpai celepuk Rinjani dan lutung.

“Ini jadi daya tarik wisata kawasan ini,’’ kata Zaenul Fadli, pegiat wisata Tetebatu.

Mitos celepuk Rinjadi masih terus hidup di masyarakat lingkar Rinjani terutama di Desa Tetebatu, Tetebatu Selatan, Kembang Kuning, dan Jeruk Manis. Masyarakat tidak berani mengganggu burung ini. Walaupun pernah ada kasus penembakan celepuk Rinjani, tetapi sangat jarang.

“Mitos ini bagian dari kearifan lokal untuk menjaga kelestarian. Sampai sekarang saya rasanya masih takut dengan burung hantu akibat cerita para orangtua kami dulu,’’ katanya.

 

Mengedukasi pelajar 

Tinggal di sekitar hutan Rinjani bukan jaminan mengenali satwa endemik Rinjani ini. Kurikulum pendidikan yang terpusat menyebabkan bahan ajar yang sampai ke siswa adalah produk dari pusat. Siswa pun jauh dari lingkungan sehari-hari. Satu contoh, soal pelajaran satwa. Alih-alih mempelajari celepuk Rinjani, elang Flores, kijang Rinjani, anak-anak dapat pelajaran satwa yang tak ada di tempat mereka.

“Harapan kami ke depan, flora dan fauna Rinjani ini bisa dipelajari di sekolah-sekolah,’’ kata Dedy Asriadi, Kepala Balai TNGR.

Sejak menjabat setahun terakhir ini, Dedy yang berlatar belakang biologi memberikan perhatian pada flora dan fauna. Ketertarikannya dengan budaya juga dituangkan dalam kebijakan Balai TNGR agar banyak berlajar dari masyarakat adat di sekitar Rinjani.

Dedy bilang, Rinjani selama ini dikenal dengan pendakian. Jumlah pendaki asing ke Rinjani terbanyak dibandingkan gunung lain di Indonesia.

“Seolah-olah selama ini Rinjani itu hanya pendakian, padahal ada kekayaan flora fauna serta kearifan lokal. Karena itulah kami re-branding Rinjani dengan the beauty of nature and culture,’’ katanya.

Setahun ini, Balai TNGR gencar kampanye celepuk Rinjani dan elang Flores. Kampanye ini menyasar pegiat lingkungan, dan pelajar. Pelajar menjadi sasaran karena merekalah masa depan pengelolaan Rinjani.

Meliawati Ang, Manajer Konservasi Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim Geopark Rinjani Lombok bilang, edukasi celepuk Rinjani menjadi satu strategi kampanye pelestarian liingkungan di sana. Celepuk Rinjani akan terus ada kalau hutan terjaga.

“Kami kemas dengan kegiatan menarik di lapangan agar anak-anak senang.”

Untuk materi kampanye, Balai TNGR dan Geopark Rinjani memproduksi video, poster, foto-foto, dongeng celepuk Rinjani. Para pelajar juga diajak turun lapangan menjadi pengamat burung khusus celepuk Rinjani.

Di Resort Joben SPW II TNGR, kami berpindah dari satu lokasi pengamatan ke lokasi lain. Resort Joben menandai beberapa wilayah pengamatan celepuk Rinjani. Satu lokasi biasa seluas 20 meter. Udara makin dingin, karena semangat mendokumentasikan dan perjalanan cukup menanjak, membuat badan tetap hangat. Di Pos Pengamatan II Celepuk Rinjani, kira-kira 30 menit kami memancing dengan suara. Celepuk tak kunjung turun. Kabut tebal membuat celepuk Rinjani malas keluar.

“Mereka juga terbatas penglihatan,’’ kata Mirzan.

Kami pindah ke camping ground. Pohon di sekitar cukup tinggi, cukup lelah mendongak saat pengamatan. Lokasi paling ideal adalah dekat bekas bangunan Rumah Penelitian Resort Joben karena pepohonan tidak terlalu tinggi. Beberapa pohon mati tanpa daun mudah pengambilan foto dan video.

Saking asyik mengamati kami seperti lupa waktu. Badan sudah terlalu lelah. Sudah tengah malam. Lintah dan pacet juga mulai berpesta dengan kaki terbuka. Habibi, harus merelakan tangan jadi santapan pacet.

Kami merapikan semua perlengkapan. Menarik sleeping bag dan bergegas tidur. Suara celepuk Rinjani makin nyaring terdengar. Bersahutan. Ada yang dekat tempat kami menginap, ada yang terdengar jauh di tengah hutan. Malam itu saya tidur di pinggir.

Sik sedi ku sisik.” Terbersit sesaat lalu terlelap.

 

Celepuk Rinjani,  adalah burung hantu terkecil, endemik kawasan Gunung Rinjani Lombok. Burung hantu ini teridentifikasi sebagai spesies baru pada tahun 2013 oleh George Sangster dan istrinya Jolanda Luksenburg dari Swedia. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia
Exit mobile version