Mongabay.co.id

Masyarakat Pulau Padang Tetap Tolak HKm Koto Intuok

Kebun akasia di konsesi pemasok RAPP, yang berbatasan langsung dengan hutan alam yang masuk pengajuan HKm. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Arrindo, Kepala Desa Pulau Padang, Kecamatan Singingi menyerahkan 250 lembar saran, pendapat dan tanggapan masyarakat pada Rustam, Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kuantan Singingi, 8 Oktober lalu.

Dia ditemani Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) beserta sejumlah tokoh masyarkat dan ninik mamak. Rustam didampingi Kepala Bidang Tata Lingkungan Suwirman dan beberapa staf.

Baca juga: Tolak Hutan Alam jadi Akasia, Ada Perusahaan di Balik HKm Koto Intuok

Pertemuan itu berlangsung di ruang rapat DLH Kuantan Singingi. Setumpuk kertas dari Arrindo, berisi penolakan masyarakat terhadap rencana Koperasi Koto Intuok menebang pepohonan di hutan alam dan bakal berganti akasia. Izin Hutan Kemasyarakatan (HKm) ini diterbitkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 29 Juni 2018.

Penolakan muncul karena berbagai alasan, antara lain, sebagian areal izin merupakan garapan masyarakat, pengurus Koto Intuok tak pernah sosialisasi ke masyarakat Pulau Padang sebelum dan setelah izin HKm terbit. Bahkan, pengurus Koto Intuok tidak melibatkan masyarakat Pulau Padang dalam keanggotaan.

Pengurus koperasi dominan masyarakat Kelurahan Muara Lembu, sedang IUPHKm terluas di Pulau Padang. Kondisi ini, katanya, akan memicu konflik antara Suku Piliang dan Piabadar.

Masyarakat Suku Piliang Atas dan Piliang Bawah, hanya puluhan keluarga yang menetap di Pulau Padang.

Mastandi, warga Pulau Padang, menolak karena tak ingin hutan desa ditebang untuk keuntungan sekelompok orang semata. Selama ini, katanya, kayu hutan hanya buat bikin kerangka rumah dan sampan untuk mencari ikan. Terkadang, masyarakat masih mencari madu lebah dan rotan di sana. “Tidak untuk komersil. Hanya dikelola semampunya,” katanya akhir Oktober lalu.

Dalam hutan itu, kata Mastandi, masih banyak rusa dan harimau. Masyarakat biasa tidak sembarangan menebang hutan, karena masih memegang pantang larangan. Sebagian mereka, terutama orangtua juga mencari obat-obatan tradisional di sana.

 

Kades Pulau Padang Arrindo serahkan saran pendapat dan tanggapan masyarakat menolak kegiatan Koperasi Koto Intuok hendak menebang hutan alam. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

 

Haidir, masyarakat Suku Piliang Atas di Pulau Padang, ikut menolak karena mayoritas masyarakat takut kebun karet dan sawit terancam, bila ada penebangan kayu dan penanaman akasia seperti yang sudah pernah terjadi. Saat ini, kebun mereka sudah di kelilingi konsesi akasia PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).

Kondisi itu, semacam trauma di masyarakat. Pasalnya, warga mengalami langsung, tiap aktivitas pemanenan, pembersihan lahan dan penanaman kembali akasia akan mengurangi sedikit demi sedikit kebun bahkan merusak karet maupun sawit mereka.

“Alat berat lewat saja sudah kena kebun kami. Pasti ada sebagian lahan masyarakat yang termakan. Pernah juga dicabut. Lama-lama habis punya kami. Kalau dijual, mereka beli murah. Pernah ditawari, Rp4 juta atau Rp5 juta per hektar. Masyarakat tidak mau. Termasuk saya, pernah ditawari,” katanya, awal November.

Haidir, sehari-hari memotong karet. Dia baru mengenal Koto Intuok sekitar awal tahun ini, meski koperasi itu sudah berdiri sejak 2014. Dia juga baru kenal Ketua Koperasi, Jon Herman, setelah beberapa kali diajak rapat.

Sejak masyarakat Pulau Padang menolak Koto Intuok, tokoh Suku Piliang Atas di Muara Lembu memintanya, mengumpulkan data penduduk masyarakat suku itu yang tinggal di Pulau Padang.

Sekitar 45 data keluarga telah dia kumpulkan. Dia mengurungkan niat menyerahkan data-data ke pengurus koperasi untuk bergabung, karena tidak ingin disalahkan masyarakat yang menolak koperasi itu. Intinya, Haidir mengikuti keputusan warga yang banyak menolak.

Darlis, Datuk Piabadar, senada dengan Haidir. Dia tidak ingin, kebun karet dan sawit yang sudah puluhan tahun dikelola masyarakat terganggu oleh kegiatan koperasi. Dia bilang, dari 1.565 hektar luas IUPHKm Koto Intuok, hanya 500-600 hektar milik persukuan Piliang. Sisanya, Hutan Sepuh milik persukuan Piabadar.

Darlis pernah ikut dalam penentuan tapal batas hutan milik masing-masing suku. Kesepakatannya, telah ditandatangani bersama. Bukan berarti Suku Piabadar menyerahkan pengelolaan Hutan Sepuh pada Koto Intuok. Darlis hanya memastikan, hutan persukuan tidak diganggu.

“Kalau Hutan Intuok terserah merekalah. Jangan sampai ke hutan milik Suku Piabadar. Tidak akan setuju cucu kemenakan,” katanya, saat dihubungi, 3 November.

Saran pendapat dan tanggapan berisi penolakan masyarakat itu, merupakan balasan atas pengumuman yang dikirim Rustam pada Arrindo. Rustam, lewat anak buahnya, juga menempel selebaran itu di mesjid, kantor lurah, camat, Polsek dan Koramil, Jumat, 2 Oktober lalu. Jangka waktu pengumuman itu berlaku 10 hari kerja, namun masyarakat Pulau Padang menanggapi lebih awal sebelum tengat waktu selesai.

Dalam berita sebelumnya, Jon Herman, bilang, Koto Intuok tak punya modal usaha. Tiga tahun berjalan, koperasi menggandeng PT Nusa Prima Manunggal (NPM) untuk mendapatkan IUPHKm. Jon Herman mengaku, tidak mengeluarkan uang sepersen pun.

“Segala urusan dan biaya ditanggung NPM. Kami juga diongkosi menjemput SK-nya di Pekanbaru.”

Jon Herman tak menjelaskan rinci, kemitraan Koto Intuok dengan NPM. Dia hanya menyebut, Humas PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Sektor Logas Herman, mengenalkan dengan Humas NPM Chairul.

“Kami tidak tahu menahu nantinya. Yang numbang, nanam dan panen orang NPM. Kami sewa lahan saja. Satu hektar Rp4 juta untuk satu kali panen. Sekarang cepat. Empat tahun dah panen.”

NPM merupakan pemasok kayu RAPP. Perusahaan ini berkantor di Kompleks RAPP, Jalan Lintas Timur, Rukan Acacia Blok I No 12, Pangkalan Kerinci, Pelalawan, Riau. NPM juga mengelola 4.412 hektar izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) di Desa Pangkalan Gondai, Pelalawan, Riau.

 

Hutan alam yang masuk izin HKM koperasi, yang ngurus perusahaan. Warga Pulau Padang menolak hutan alam jadi akasia. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Langkah tepat kades tolak rekomendasi

Sebenarnya, penolakan masyarakat Pulau Padang terhadap Koperasi Koto Intuok sudah diungkapkan jauh hari, sebelum DLH Kuantan Singingi meminta pernyataan itu dituangkan dalam secarik kertas. Setelah itu disampaikan, Rustam tidak tegas menyebut isi penolakan itu. Justru, katanya, masih ada yang setuju atau hanya sebagian menolak. Alih-alih menjelaskan alasan menolak dan menerima, Rustam malah menganjurkan bertanya pada pengurus Koto Intuok.

Suwirman lebih tegas dan beda dengan atasannya. Katanya, semua masyarakat Pulau Padang menolak IUPHKm Koto Intuok. Dua hari pasca Arrindo ke kantornya, Sekretaris Koto Intuok Wandra dan seorang yang disebut sebagai pendamping, juga menyambangi Kantor DLH Kuantan Singingi. Suwirman menunjukkan setumpuk penolakan masyarakat Pulau Padang ke mereka.

“Kami akan coba selesaikan ini di desa,” kata Suwirman, meniru ucapan pendamping itu, saat dihubungi, 26 Oktober lalu. Suwirman tak ingat namanya. Dia menduga itu pemodal Koto Intuok.

Ribut-ribut pengurus Koto Intuok dengan masyarakat Pulau Padang mulai mencuat, ketika Arrindo menolak menandatangani rekomendasi usulan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemanfaatan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).

Catur Endah, Kasubdit Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, membenarkan keputusan Arrindo tidak menandatangani rekomendasi. Katanya, Pengurus Koto Intuok, belum membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).

Pengurus koperasi, mestinya terlebih dahulu menyusun rencana kerja usaha (RKU) dan rencana Kerja Tahunan (RKT), yang disahkan pendamping, Kesatuan Pengelola Hutan (KPH), Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL), bukan tiba-tiba mengajukan UKL-UPL.

“Luas IUPHKm Koto Intuok 1.565 hektar itu mengakomodir 173 keluarga, tapi belum masuk data kelompok PS (perhutanan sosial) kami. Artinya, koperasi belum menjalankan kegiatan PS sesuai aturan kami,” katanya, dalam diskusi Jikalahari, 23 Oktober lalu.

Kalau IUPHKm Koto Intuok berada di hutan lindung, tak dapat mengusahakan hasil hutan kayu, kecuali hasil hutan bukan kayu atau jasa lingkungan. Beda kalau di hutan produksi. Itupun, katanya, hanya boleh menebang kayu dari hasil tanam sendiri.

Pemegang izin, katanya, tetap harus menyusun RKU dan RKT terlebih dahulu.

“Itu sebab, RKU dan RKT harus diketahui pendamping dan lembaga penyuluh. Kita beri pemahaman kelompok, layak atau tidak lokasi itu ditebang. Ini loncat. Belum ada RKU/RKT tapi sudah usulkan RKL/RPL. Wajar Kades dan masyarakat kaget, tiba-tiba mau tebang habis.” kata Catur.

Perhutanan sosial, katanya, jadi solusi penyelesaian konflik atas ketimpangan pengelolaan hutan. Pelaku utama, masyarakat setempat atau masyarakat adat. Perhutanan Sosial berhasil bila hutan lestari, dan kelompok jadi mandiri. Juga, masyarakat jadi pelaku ekonomi, terbangun jejaring pemasaran komoditi dan terjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru.

“Terus terang, saya sangat sedih sekali, SK HKm malah menimbulkan konflik. Artinya, agak keluar dari inti dan maksud PS. Memang sosialisasi harus sering. Pemegang SK atau izin harus koordinasi dengan masyarakat sekitar, desa dan pemangku lain. Kunci sukses PS adalah membuat rencana kerja yang matang dan realistis.”

Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari sependapat dengan Catur Endah. Dia bilang, perhutanan sosial adalah agenda kerakyatan yang harus sering dibahas agar jadi isu atau program yang dapat diterima masyarakat.

Perhutanan Sosial, program yang masuk dalam nawa cita Presiden Joko Widodo. Tujuannya, pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan lewat tiga pilar, lahan, kesempatan usaha dan sumberdaya manusia. “PS untuk sejahterakan masyarakat. Kalau arahnya dimanfaatkan perusahaan tentu tidak sesuai dengan pemerataan ekonomi. Justru menambah ketimpangan,” kata Okto.

 

Arrindo, Kepala Desa Pulau Padang, Kecamatan Singingi menyerahkan 250 lembar saran, pendapat dan tanggapan masyarakat pada Rustam, Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kuantan Singingi, 8 Oktober lalu. Dia ditemani Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) beserta sejumlah tokoh masyarkat dan ninik mamak. Rustam didampingi Kepala Bidang Tata Lingkungan Suwirman dan beberapa staf. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Data Jikalahari, hingga Juli 2020, ada 51 pemegang izin perhutanan sosial di Riau, seluas 48.302 hektar. Sekarang, 53.000 hektar usulan melalui tahap verifikasi teknis dari 41 permohonan.

Perhutanan sosial di Riau, sempat terkendala Perda 10 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Riau. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan judisial review Jikalahari bersama Walhi Riau, tahun lalu.

Selain itu, kendalanya juga menyangkut aturan perhutanan sosial di lahan gambut, sosialisasi tidak maksimal, bahkan Kepala KPH tidak sesuai kompetensi. Termasuk, katanya, cukong di areal perhutanan sosial, dan tidak ada dukungan anggaran Kelompok Kerja Perhutanan Sosial (Pokja PS) Riau. Jikalahari, salah satu aggota Pokja.

Soal izin HKm di Pulau Padang, Jikalahari mengecek laporan kades, Juni lalu. Mereka menemukan, areal itu masih hutan alam lebat, tegakan kayu lebih 50 meter dan rapat. Sekitar hutan pun masih ada jejak harimau dan beruang. Areal juga berbukit, karena sebagai penyangga SM Bukit Rimbang Bukit Baling, tanah mineral bebatuan juga berbatasan langsung dengan PT RAPP.

 

Ada ‘penyusup’

Woro Supartinah, Direktur Lembaga Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial Masyarakat (LPSEM), menyayangkan, ada titik lemah di perhutanan sosial dimanfaatkan pemain besar, dengan aliansi sangat mengakar, tidak hanya di masyarakat juga di jajaran pengambil kebijakan.

Dalam diskusi sama, kata Woro, perhutanan sosial rentan dibajak pihak yang ujung-ujungnya dikuasai investor besar. Dia mencontohkan, seperti upaya revitalisasi eksosistem Tesso Nilo yang disusupi ‘siluman’. “Ada orang atau oknum tertentu, berfungsi sebagai makelar, fasilitasi masyarakat ajukan perhutanan sosial namun tidak pro kelestarian hutan atau lebih pada ekonomi semata.”

Temuan Woro, oknum itu terkoneksi dengan perusahaan, beri modal pada satu orang membentuk koperasi baru atau memanfaatkan koperasi yang sudah ada mengusulkan perhutanan sosial. Riset ini ditemukan dalam skema hutan tanaman rakyat (HTR).

Namun, tidak menutup kemungkinan, pola-pola lain juga disusupi seperti skema HKm bahkan hutan desa.

Saat ini, katanya, industri kayu tak bisa ekspansi karena berbagai kebijakan pemerintah, seperti perlindungan gambut dan moratorium. Perusahaan juga punya komitmen pasar harus bersih deforestasi, konflik dan lain-lain. Jadi, perhutanan sosial pintu buat mengalihkan risiko dari perusahaan atau anak perusahaan langsung.

“Ini menjauhkan PS dari tujuan semestinya. Karena kekuatan tadi, PS malah jadi konflik horizontal antara masyarakat.” Woro khawatir, perhutanan sosial jadi salah sasaran.

 

 

Keterangan foto utama: Kebun akasia di konsesi pemasok RAPP, yang berbatasan langsung dengan hutan alam yang masuk pengajuan HKm. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version