Mongabay.co.id

Seperti Apa Kondisi Industri Pariwisata Selam di Taman Nasional Komodo?

 

Sejak 2013, kunjungan wisatawan nusantara ke Taman Nasional Komodo (TNK), Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai meningkat dan mengubah pola high dan low seasons serta tujuan favorit wisata. Sementara selama 15 tahun terakhir, tingkat kunjungan wisatawan mancanegara ke TNK berbanding terbalik dengan jumlah yang menginap.

Hal tersebut diungkapkan Agustinus  Rusdianto Berto dalam diskusi publik daring dengan mengambil tema Industri Pariwisata Selam Taman Nasional Komodo (TNK) Labuan Bajo yang diselenggarakan Lembaga peneliti Areopagus Indonesia, Sabtu (7/11/2020).

Berto merupakan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, yang memaparkan riset terkait pariwisata selam di Labuan Bajo.

Sayangnya, lanjutnya, jumlah wisatawan tersebut hanya menyumbang 0,73% kontribusi sektor akomodasi dan makan  minum terhadap PDRB 2017 (Rp2,8 triliun) dan PNBP TNK 2017 baru mencapai Rp29 miliar.

“Padahal asumsi leakage kasar 2016 mencapai Rp1,2 triliun lebih. Mirip dengan hasil valuasi pendapatan pariwisata TNK dalam temuan riset Shinta (2017),” ungkapnya.

Menurut Berto penyebabnya transnational tourism, minimnya bahan baku dan tenaga kerja lokal,  kebocoran pada nilai ekonomi lokal serta 90% pengusaha berasal dari luar dimana 95% berjejaring di Bali.

Ia katakan, rendahnya kemampuan berkomunikasi ikut menggerus pendapatan terbesar TNK dari  industri wisata selam (Klimmek 2013, Shinta 2017 dan Swisscontact 2017).

“Tantangan utama pariwisata nasional termasuk pariwisata lokal TNK Labuan Bajo yakni kebocoran pendapatan,” ucapnya.

baca : Hancurnya Industri Wisata Selam Indonesia di Tengah Wabah Corona

 

Seekor Penyu Tempayan (Caretta caretta) yang terdapat di perairan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Foto : Herry Jeremias

 

Penguasaan Informasi

Mengapa terjadi banyak sekali kebocoran dalam pariwisata selam Labuan Bajo?

Berto katakan, secara umum binatang komodo menjadi daya tarik utama TNK tetapi beberapa kajian dan riset menujukan penarik utama dan kontrubsi wisata terbesar berasal dari wisata selam.

Berto menyebutkan kontribusi masyarakat lokal dalam wisata TNK Labuan Bajo masih tergolong sedikit karena adanya kapital yang masuk dari luar atau liberalisasi.

Penelitiannya dari keilmuan komunikasi melihat informasi menjadi sumber daya ekonomi yang signifikan dalam era teknologi digital.

“Disini kita lihat pariwisata merupakan sebuah sistem yang saling terhubung dan selalu melibatkan pertukaran informasi. Dalam pariwisata selam sendiri, pertukaran informasi begitu intens,” ungkapnya.

Berto menyebutkan, dari gejala informasi itu bisa diamati kesenjangan sumber daya informasi diantara para pelakunya. Dia melihat bahwa sitem informasi di wisata selam TNK Labuan Bajo ini merupakan sebuah sistem jaringan yang melibatkan banyak aktor. Ditambahkannya, ada aktor-aktor tertentu yang menguasai sekelompok informasi yang tidak berputar ulang.

“Aktor ini bisa melakukan pemutusan informasi atau mengontrol arus informasi diantara kelompoknya atau sub jaringannya. Ketika dia sebagai sumber rujukan atau kontrol informasi maka dia menjadi pihak ketiga yang mendapatkan manfaat dari informasi tersebut,” jelasnya.

baca juga : Shark Diving, Memadukan Pariwisata Selam dan Penelitian Hiu di Morotai

 

Ikan giru atau ikan badut (clown fish) yang termasuk anak suku Amphiprioninae dalam suku Pomacentridae yang terdapat di perairan Taman Nasional Komodo (TNK) Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Foto : Herry Jeremias

 

Berto menjelaskan apabila informasi yang dimiliki sama maka terjadi kompetisi untuk memperebutkannya tetapi jika informasi berbeda maka perantara menjadi mediator atau jembatan.

Peran aktor tersebut menurut dia bisa menjadi penghubung dan bisa juga pemutus informasi. Dari survey yang dilakukan terhadap 62 pemandu selam lokal dan mewawancarai 20 pegiat pariwisata, didapatkan 403 aktor yang terlibat dalam jaringan informasi.

Jurang informasi dalam wisata selam di TNK Labuan Bajo sebut Berto meliputi berbagai bidang. Kegiatan penyelaman menempati posisi pertama dengan persentase 30,58% disusul hukum dan peraturan sebesar 19,61%.

“Media internet menempati posisi ketiga dengan 10,73% disusul dana dan keuangan sebesar 8,01%. Ada juga politik dan pemerintah sebesar 7,89%, wisata selain selam 7,03% dan pelestarian lingkungan sejumlah 5,3%,” ungkapnya.

Selain itu, jurang informasi dan wisata selama di TNK Labuan Bajo meliputi atraksi wisata sebesar 4,93% , penginapan dan akomodasi 3,58% serta transportasi sejumlah 2,34%.

perlu dibaca : Cerita Surga Bawah Laut Buton dan Sustainable Diving Green Fins

 

Seekor Penyu Tempayan (Caretta caretta) yang berada di atas karang di perairan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Foto : Herry Jeremias

 

Kekuatan Kompetensi

Staf Ahli Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bidang Pembangunan Berkelanjutan dan Konservasi, Frans Teguh memaparkan potensi wisata bahari di Indonesia.

Menurut Frans, terdapat 52 lokasi surfing dan kemungkinan bertambah dikarenakan adanya pembukaan daerah baru semisal Morotai. Sementara lokasi diving ada dimana 35 destinasi dengan 700 lebih titik sudah terdata. Dia memperkirakan terdapat sekitar 1.500 lebih spot penyelaman di negeri ini.

“Ada 20 lokasi fishing tetapi 20 operator profesional masih minim. Sementara titik labuh ada 44 titik. Namun diperlukan upaya terkait pembaharuan data ini,” pesannya.

Frans katakana kita memiliki sumber daya tetapi tidak memiliki penguasaan informasi dan jejaring. Dia sebutkan titik-titik selam yang eksotik di beberapa wilayah dimiliki broker dan proporsinya tidak berimbang antara masyarakat lokal, masyarakat Indonesia dan warga asing.

Ia katakan kenapa kita tidak melakukan penguasaan secara optimal sehingga harus ada transformasi secara bertahap terkait penguasaan aneka sumber daya termasuk penguasaan informasi wisata selam.

Menurutnya, potensi yang kita miliki sangat luar biasa tetapi kalau hanya mengandalkan potensi saja tidak cukup sebab sumber daya ini harus dirubah menjadi produk,menjadi market dan proses ini ternyata tidak mudah.

“Kita menyadari sekarang ini kita masuk di era digital tetapi platform foundation sosial kultural kita belum semuanya ke arah pariwisata. Kita masih bergerak dengan ekonomi ekstraktif, agraris, pertanian peternakan dan perkebunan,” tuturnya.

Frans menegaskan yang diperlukan adalah kekuatan kompetensi teknis dan non teknis pariwisata. Menurutnya,jangan sampai kita menjadi sangat tertinggal dan pada waktu tertentu protes selalu terjadi karena pelaku pariwisata lokal hanya menjadi penoton.

baca juga : Mengembalikan Kejayaan Desa Uiasa Lewat Ekowisata. Seperti Apa Konsepnya?

 

Seekor ikan pari manta (Manta birostris) yang berada di perairan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Foto : Herry Jeremias

 

 

Minim Pemahaman

Ketua Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat Aloysius Suhartim Karya menyebutkan penyelam di Labuan Bajo sebagian besar latar belakang akademiknya SMK dan bekerja di tour operator.

Aloysius katakan di Labuan Bajo terdapat 27 operator selam. Sejauh pengamatannya, dominan pekerja di sana adalah orang dari luar sementara pekerja lokal hanya sebagai staf di kapal dan dive guide dengan presentase yang kecil.

“Di areal TNK ada lebih dari 60 dive spot dan kebanyakan wisatawan yang datang dipandu oleh orang luar dan dive tamu ini yang berpartisipasi dalam penyelaman,” paparnya.

Pemandu selam dari luar Labuan Bajo ini melakukan kegiatan pemotretan di bawah laut. Ditambahkannya, saat terjadi sambaran arus yang begitu kencang terjadilah kepanikan sehingga mereka berpegangan pada coral dan menyebabkan destruksi dan kerusakan ekosistem terumbu karang.

Dirinya sebutkan, pemahaman dive dari  luar Labuan Bajo terhadap karakter alam bawah laut di TNK sangat rendah dan arus lautnya tidak diketahui guide dive dari luar.

“Kebanyakan pelaksanaan kegiatan wisata mengamati alam bawah laut dilakukan orang luar Manggarai Barat dimana mereka membawa wisatawan datang menyelam di Labuan Bajo dan merusak karang,” tegasnya.

Alyosius meminta pemerintah harus berkontribusi menciptakan sebanyak mungkin dive instruktur lokal sehingga pengembangan pariwisata super premium dapat dikatakan efektif mengentaskan kemiskinan di suatu wilayah.

“Tour operator dari luar khususnya dive operator memonopoli usaha jasa. Sebagian besar dive shop di Labuan Bajo selain melakukan usaha diving juga usaha tour darat ke pulau-pulau untuk melihat Komodo,” ungkapnya.

 

Exit mobile version