Mongabay.co.id

Begini Nasib Orang Rimba kala Hutan Air Hitam Berganti Sawit

 

 

 

 

Maliau ingin membaringkan tubuh sejenak di atas gelagar sawit, siang itu. Tak jauh darinya anak-anak Maliau sibuk bermain kuda-kudaan. “Ayo kuda… ayo kuda,” kata sang anak.

Tiba-tiba anaknya jatuh telentang dan kejang. Dia terkejut. Maliau memekik, para induk (istri) di sudong (pondok) kontan kaget dan menoleh. Mereka berhamburan mendekati si anak.

Baca juga: Kala Anak-anak Orang Rimba Rentan Terserang Penyakit

Terdengar jeritan. Meriau, suami Maliau, ikut panik melihat anaknya lemas. Tangis Maliau pecah.

Dia khawatir nyawa anaknya terancam.  Sudah tiga kali Maliau meratap kehilangan anak. Semua sakit. “Kalau anak ketigo itu umur limo tahun, perutnyo buncit, mencret darah terus meninggal. Satu lagi, baru lahir meninggal,” katanya.

Maliau tak tahu persis penyakit yang menyebabkan anak-anaknya meninggal.

Sejak hutan di Air Hitam, Sorolangun, Jambi,  habis tergulung perkebunan sawit dan transmigrasi era 1980-an , rombong Meriau menghadapi banyak masalah. Bermacam penyakit muncul menyerang Orang Rimba. Satu per satu anak-anak meninggal mendadak.

Baca juga: Potret Perempuan Iban dan Orang Rimba kala Hutan Hilang jadi Kebun Sawit

Kasus kematian terus meneror rombong Meriau. Hampir semua induk Orang Rimba pernah mengalami kematian anak.

Saat saya mengunjungi Desa Bukit Suban, kawasan transmigrasi di Kecamatan Air Hitam, Besoal, juga istri Meriau belum lama melahirkan anak ketujuh. Di bawah atap plastik, bayi perempuan yang belum genap dua bulan itu tertidur pulas di atas gelagar pelepah sawit. Setengah tubuh mungil hanya terbalut kain jarik, setengah telanjang.

Dua anaknya meninggal dunia. Anak lelaki meninggal saat usia empat tahun, sakit berak darah. “Belum seminggu anak yang perempuan ninggal di sudong,” kata Besoal.

Dia tak tahu anak-anaknya sakit apa. “Kebanyakan—anak meninggal—sakit mag,” kata Meriau.

“Dua hari anak nggak makan, kebetulan dapat beras, terus makan nasi sampai muntah, akhirnya meninggal.”

Rombong Meriau juga kehilangan sumber air. Dia menunjuklan aliran parit biasa untuk minum. Lokasi di tengah kebun sawit warga trasmigrasi di SP I Bukit Suban.

“Dulu, ini sungai, sekarang jadi parit, kalau orang mupuk ya airnya masuk sini.”

 

Brondolan sawit yang dikumpulkan orang Rimba. Nantinya dijual untuk membeli beras. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

***

Berjarak beberapa kilometer dari tempat Meriau, di Sungai Selentik, Desa Lubuk Jering, Air Hitam, empat keluarga dari Kelompok Tumenggung Melayar melangun.

Melangun adalah adat Orang Rimba menghilangkan trauma dan kesedihan setelah keluarga meninggal. Mereka bisa pergi jauh dari rumah hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Tiga hari lalu Melantai dan Bayang, baru kehilangan anak mereka yang masih bayi. Mereka sempat pontang-panting ke rumah sakit tetapi nyawa anaknya tak selamat.

“Anak tu kejang-kejang. Dibawa ke rumah sakit Simpang Bukit—RSUD Sarolangun—tapi disuruh bawa ke Jambi, belum sampai Jambi meninggal,” kata Sago, perempuan Rimba, kerabat Bayang.

Tumenggung Melayar juga pernah kehilangan anak. “Ndak tau sakitnyo apo, pas lagi tidur di sudong mendadak bae,” katanya.

Melayar bilang, banyak anak-anak meninggal tetapi tak tahu persis penyebabnya. Sebagian mereka, katanya, banyak juga terserang demam dan malaria.

Baca juga: Nasib Orang Rimba, Baru Terusir dari Kebun Sawit, Kini Terancam di Konsesi HTI

Pada 2019, kasus malaria di Puskesmas Pematang Kabau tercatat paling tinggi di Sarolangun. Jumlah biasa meningkat saat musim hujan.

“Paling banyak kena malaria itu orang Rimba yang tinggal di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas,” kata Bernard, satu-satunya dokter di Puskesmas Pematang Kabau.

Puskesmas Pematang Kabau, di Kecamatan Air Hitam, Sarolangun jadi rujukan bagi kelompok Orang Rimba Tengkuyung, Bendungan, Punti Kayu I dan II, Sungai Sari, Kutai dan Doho. Jumlah orang Rimba di wilayah-wilayah itu mencapai 1.000 jiwa.

Dinas Kesehatan Sarolangun, menyatakan, kelompok Orang Rimba rentan terserang diare, malaria, ISPA dan penyakit kulit. Harta, Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Sarolangun, bilang penderita ISPA paling tinggi.

Bambang, Kepala RSUD Sarolangun mengatakan, banyak kasus kematian anak Orang Rimba karena infeksi janin. “Kalau kejang itu bisa karena pneumonia, penyebabnya proses persalinan nggak steril hingga terjadi infeksi.”

Bambang bilang, banyak kelompok Orang Rimba menolak melahirkan di Puskesmas atau rumah sakit karena dianggap tak sesuai adat. Mereka lebih percaya pada dukun yang sudah turun-temurun membantu proses kelahiran. Mereka juga tak mau anak-anaknya peroleh imunisasi.

Pola hidup di lingkungan tak layak juga jadi pemicu munculkan banyak penyakit, termasuk diare. “Kalau perut buncit itu bisa karena hepatitis, masalah pola makan yang tidak teratur, dampak serius bisa kematian.”

Sampai saat ini belum ada angka pasti yang menunjukkan seberapa besar jumlah kematian ibu dan anak dari kelompok Orang Rimba.

Meskipun begitu, riset Universitas Jambi bisa jadi gambaran. Pada 2019-2020, Universitas Jambi penelitian kesehatan ibu dan anak pada kelompok Orang Rimba di Bukit Suban. Hasilnya, lebih 60% ibu Orang Rimba pernah mengalami kematian anak—mulai keguguran, bayi baru lahir hingga anak-anak.

“Kasus kematian tejadi hampir merata di semua kelompok, tapi angkanya beda-beda,” kata Asparian, peneliti kesehatan Masyarakat Adat Terpencil Universitas Jambi.

Asparian juga menemukan, 40% ibu hamil kelompok Orang Rimba mengalami gizi rendah, dan kasus stunting anak-anak rimba sampai 48%. Angka ini sangat tinggi dibanding standar WHO 20% atau seperlima dari total balita.

Rendahnya pengetahuan Orang Rimba dan kesulitan mendapatkan pangan jadi masalah yang bedampak pada kesehatan mereka.

“Efek stunting ke kemampuan berpikir anak itu rendah. Kalau tidak segera ditangani.”

 

Mangku Meriau bersama anak-anaknya. Kehidupan mereka rawan setelah hutan adat habis menjadi perkebunan sawit. Foto: Yitno suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Tanaman obat hilang

Siang itu, di bawah kebun sawit warga transmigrasi, Selisih, Orang Rimba rombong Meriau, mengenang kejadian kelam tujuh tahun silam. Anak dia usia enam tahun meninggal setelah berhari-hari demam. Tanaman obat Orang Rimba di hutan hilang seiring industri sawit masuk. Hutan mereka habis terbabat, seketika itu tanaman obat di alam musnah.

Anak Selisih meninggal tanpa diobati. “Obat rimba sudah tidak ada lagi, mau berobat ke rumah sakit tidak ada duit,” katanya.

Saat hutan masih rimbun, kata Meriau, dewo-dewo akan memberi petunjuk dukun Orang Rimba lewat mimpi. Ada banyak tanaman obat di hutan untuk menyembuhkan Orang Rimba.

“Dulu, ado namonyo gedug obat—hutan tempat tanaman obat—karno itu sudah hancur, dihancurkan trans-trans, sawit-sawit (perusahaan) makonyo sekarang sulit—menemukan obat.”

Menurut Meriau, gedug obat kelompok Air Hitam berada di hilir muara Sungai Beruang Kurui, yang sekarang menjadi perkebunan sawit inti I milik PT Sari Aditya Loka (SAL), anak perusahaan PT Astra Agro Lestari. Sebagian menjadi kamp karyawan.

Saat proses persalinan kata Meriau, dukun Rimba akan gunakan akar pohon sulusuh ditambah dengan jampi-jampi. Akar selusuh direndam air, setelah dipastikan anak akan lahir, perempuan Rimba akan meminumnya.

Selisih yang juga bidan Orang Rimba bilang, hawa panas di kebun sawit membuat ibu yang akan melahirkan lemah kehilangan tenaga.

“Di sawit kan panas, jadi tanago itu tidak ado lagi. Kalau dulu waktu masih hutan itu teduh, tenago itu lebih kuat.”

Dahulu kelompok Meriau memiliki tempat khusus untuk melahirkan, mereka menyebutnya tanoh peranokon, lokasi di Sungai Tengkuyung dan Sungai Beruang Kurui. Sekarang jadi perkebunan sawit warga transmigrasi dan SAL.

Untuk mengobati diare Orang Rimba akan gunakan getah akar budara, sekarang sulit ditemukan. “Sekarang, kemano-mano dicari dak ketemu lagi,” ujar Meriau.

“Kalau tanah (gedug obat) itu sudah habis, habislah sudah.”

 

Selisih, dukun orang Rimba, (kiri) dan Maliau. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Rawan Pangan

Dua minggu lalu, cucu Besayong, Orang Rimba kelompok Tumenggung Bebayang meninggal. Bayi umur tiga bulan itu beberapa hari demam. Besayong mengatakan, anak-anak Rimba meninggal karena masalah kekurangan pangan.

“Kalau nggak ada nasi, daging babi itulah yang dimakan,” katanya.

Selisih, juga pernah keguguran karena sulit mendapatkan makanan di perkebunan sawit. Saat itu, dia sedang hamil lima bulan dan harus berlari mengejar buruan agar anak-anaknya bisa makan.

Sejak rimba Air Hitam berubah jadi perkebunan sawit, hewan buruan menyusut drastis. Sekalipun babi bisa 10 ekor sekali beranak.

Kejadian ini mengingatkan pada kasus kematian beruntun 11 Orang Rimba di Batanghari. Kebanyakan dari mereka adalah balita. Kelompok Trap dan Serenggam dikabarkan krisis pangan karena ruang hidup menyempit. Mereka lantas melangun hingga ke Sungai Kemang, setelah tujuh kali pindah tempat.

Hutan penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) yang semula tempat hidup Orang Rimba habis dibagi-bagi untuk 16 perusahaan pengeksploitasi kayu.

Catatan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, luas konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) Jambi mencapai 1,5 juta hektar. Eksploitasi tanpa kendali terjadi di wilayah hutan rendah. Beberapa eks HPH di kawasan Orang Rimba kini berubah jadi izin HTI, dengan luas mencapai 318.851 hektar. Sebagian sudah mengantongi izin dari gubernur dan bupati.

Ruang hidup Orang Rimba terkepung perkebunan sawit skala besar dan industri kayu rakus lahan. SAL mendapat izin hutan di sebelah selatan barat TNBD dan jadi perkebunan sawit. Di sebelah selatan, ada izin konsesi HTI, PT.JAW. PT LKU punya izin HTI di bagian utara, PT Bahana (sawit) dan PT Wana Perintis (HTI) di sebelah timur.

Meriau bilang, wilayah SAL dulu itu ladang padi. Karena izin pemerintah, sumber pangan tergulung untuk perkebunan sawit.

Sayo bilang ‘pak sekitar sini adalah penduduk nenek moyang kami dulu. Kalau dibuka itu macam mano lagi bagi penduduk kami’. Katonyo—pekerja pembuka lahan—kalau orang Rimba mau protes disuruh temui bos di Jekarta (Jakarta), lha kami yo dak tahu Jekarta tu dimano, yo mau kek mano lagi,” katanya awal September lalu.

Orang Rimba bergantung pada sumber pangan di hutan. Mereka yang tinggal di luar hutan dalam kondisi rawan. Rudi Syaf, Direktur KKI Warsi mengatakan, kelompok yang tinggal di kebun sawit, kesulitan mendapatkan sumber protein dan karbohidrat hingga banyak kasus gizi buruk.

“Seperti kelompok Meriau, ada hari-hari dimana mereka harus menahan lapar. Belakangan kan mereka ngerti buah sawit yang masih muda bisa disesap. Karena gak ada lagi yang dimakan.”

Kasus gizi buruk, persalinan tidak steril, katanya, membuat bayi dan anak-anak Orang Rimba sangat rentan dan kasus kematian tinggi.

 

***

Pemerintah sebetulnya telah menggratiskan biaya pengobatan untuk Suku Anak Dalam—pemerintah menganggap Orang Rimba sama dengan Suku Anak Dalam Bathin 9—di rumah sakit dan Puskesmas. Jarak jauh dan biaya hidup selama menemani keluarga dirawat masih jadi persoalan.

Mano yang dibilang gratis itu yang sakit, obat gak bayar, makan gak bayar. Tapi orangtuo yang nunggu ini jadi ikut sakit, karno ndak ado yang dimakan. Nak balek ke hutan jauh, nak makan gak punyo duit, akhirnyo sakit jugo,” kata Meriau.

Wakil Bupati Sarolangun, Hillalatil Badri mengatakan, lewat Puskesmas pemerintah telah memprogramkan layanan kesehatan keliling untuk menjangkau kelompok orang Rimba yang tinggal jauh dari fasilitas kesehatan. “Itu sudah kita lakukan, dan rutin jalan,” katanya.

Lima anak Meriau meninggal. Dia tak punya biaya berobat. “Nak, ke rumah sakit dak punyo motor, biayo dak punyo, akhirnyo dibiakkan (dibiarkan), macam mano lagi,” katanya pasrah.

 

 

Matam dan Pembawa, menunjukkan sumber air di perkebunan sawit yang biasa mereka gunakan untuk minum. Dahulu parit itu adalah sungai yang jernih. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version