Mongabay.co.id

Hutan Desa Campaga yang Dijaga Tradisi dan Hidupi Warga Sekitar Hutan

 

Pagi yang sempurna menyambut kami di sebuah perjalanan menuju kawasan hutan Campaga. Di perjalanan terlihat beberapa petani tengah memanen kacang, sementara anaknya bermain layangan. Langit masih merah, udara dingin merayapi tubuh. Di kejauhan terdengar samar suara aliran air yang mengalir melalui sebuah saluran kecil mengairi puluhan hektar sawah yang membentang hijau di sekitar tersebut.

Hutan Campaga terletak di jantung Kelurahan Campaga, Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Hutan seluas 23 hektar ini unik karena letaknya di tengah perkampungan warga yang dibelah jalanan aspal. Dulunya hutan ini adalah hutan lindung namun kemudian dialihfungsikan sebagai hutan desa melalui skema Perhutanan Sosial.

Sebelum ditetapkan sebagai Hutan Desa pada 2010 lalu, hutan Campaga telah dikelola warga meski dengan sembunyi-sembunyi. Warga tak bisa menebang kayu di dalamnya atau sekedar mengambil buah atau madu tak khawatir dikejar Polisi Hutan. Aturan pihak kehutanan sangat ketat, bahkan kayu yang rebah sendiri pun tak boleh diambil.

“Jangankan menebang pohon atau ambil tanaman, kayu yang rebah sendiri pun tak boleh diambil. Meski ada juga warga yang masuk sembunyi-sembunyi, kucing-kucingan dengan Polhut. Kalau ketahuan langsung dibawa ke kantor Polhut,” ungkap Abdul Rahman, ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Campaga kepada Mongabay pertengahan Agustus 2020 silam.

Menurut Rahman, peralihan hutan Campaga menjadi Hutan Desa memberi berkah tersendiri bagi warga. Meski pengelolaannya kini diberikan kepada warga namun tetap terjaga dengan baik. Apalagi warga setempat sendiri meyakini hutan tersebut adalah hutan keramat yang tak boleh dijarah seenaknya. Kencing di aliran sungai pun tak dibolehkan. Sejumlah tradisi dan ritual masih dilakukan di kawasan hutan.

“Kalau ada yang menjarah hutan bisa kena masalah. Bisa sakit, hidupnya susah, dan bahkan bisa meninggal. Pernah ada kejadian seperti itu, makanya warga takut menebang kayu ataupun berburu di dalam hutan,” ungkap Rahman.

baca : Ekologi  Terjaga Warga Sejahtera dari Hutan Desa Labbo

 

Hutan Campaga memiliki keunikan karena berada di tengah kawasan perkampungan yang dibelah oleh jalanan beraspal. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Hutan Campaga sendiri kaya dengan keanekaragaman hayati. Hasil identifikasi yang dilakukan LPHD bersama Balang Institute dan Article 33 menemukan terdapat sekitar 30 jenis hasil hutan bukan kayu yang bisa dimanfaatkan warga. Paling banyak ditemukan adalah buah pangi, kemiri, akar kayu tertentu, madu, rambutan, dan lain-lain. Terdapat juga sejumlah satwa yang dilindungi seperti tarsius, anoa, beruang Sulawesi dan monyet.

Di dalam kawasan hutan Campaga terdapat dua mata air besar yang mampu mengairi sawah sekitar 500 hektar dan menyuplai sekitar 15 persen kebutuhan air untuk PDAM Bantaeng.

“Keberadaan hutan Campaga sebagai sumber air membuat warga berkepentingan untuk tetap mempertahankan kawasan hutan. Biasanya setiap habis panen, ada syukuran di kawasan hutan sebagai bentuk rasa syukur dengan apa yang hutan berikan,” katanya.

Setelah menjadi Hutan Desa pengelolaan diberikan kepada LPHD yang kemudian membentuk kelompok-kelompok sesuai dengan komoditi yang diusahakan, seperti kelompok pencari madu, pengolah buah pangi, pengelola air, dan sebagainya.

“Kini pengelolaan hutan sepenuhnya diberikan kepada warga melalui LPHD ini. Manfaat yang dirasakan lebih pada rasa aman dan nyaman, tidak lagi takut dengan Polhut, malah kini kami bersahabat dengan polhut,” kata Rahman.

Keberadaan LPHD ini sendiri mendapat dukungan dari pemerintahan kelurahan dengan memberi kewenangan penuh pengelolaan hutan kepada LPHD. Pemerintahan kelurahan hanya melakukan pengawasan saja.

Agar dalam pengelolaannya tetap berkelanjutan, LPHD kemudian membuat sejumlah aturan bagaimana mengelola hutan dan pemanfaatan potensi-potensi hutan agar bisa memberi bagi masyarakat sekitar.

“Setelah terbentuknya LPHD kami membuat perencanaan bagaimana memaksimalkan hasil hutan bukan kayu dengan membentuk kelompok-kelompok. Hanya saja dalam pengelolaan hutan ini kami belum ada pengaturan tersendiri terkait pembagian wilayah kelola.”

baca juga : Usulan Rumah Kolaborasi Agar Perhutanan Sosial di Sulsel Dapat Dukungan Semua Pihak

 

Perempuan petani sedang memanen kacang di sekitar kawasan Hutan Desa Campaga. Hutan telah memberi berkah ekonomi berupa air yang bisa mengairi sawah dan pertanian lain di sekitar kawasan hutan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Pengelolaan Hutan Desa di Kelurahan Campaga ini juga mengakomodir keberadaan perempuan yang bahkan berperan aktif dalam berbagai program ataupun kegiatan kelompok. Mereka juga dilibatkan dalam program strategis yang sedang digagas berupa pemanfaatan hutan desa sebagai hutan wisata dan Pendidikan.

“Selama ini kami banyak terlibat dalam budidaya sayuran dan penghijauan hutan,” ungkap Suriani, salah seorang anggota LPHD yang cukup aktif dalam berbagai kegiatan.

Suriani dan sejumlah perempuan Campaga lainnya juga banyak terlibat dalam kegiatan yang dilaksanakan Balang Institute dan Article 33 terkait perencanaan hutan wisata dan pendidikan.

“Kami dilibatkan penyusunan rencana pengelolaan hutan wisata, pembangunan jalur agar lebih mudah akses hutan dan belajar terkait hutan dan air, termasuk belajar mengukur kualitas air, jenis-jenis tanaman dan satwa yang ada dalam kawasan hutan,” ujarnya.

Rencana menjadikan hutan desa Campaga sebagai kawasan wisata dan pendidikan mendapat sambutan antusiasme dari warga, tidak hanya terkait manfaat ekonomi yang akan diperoleh namun juga memberi pemahaman bagi generasi muda pentingnya menjaga hutan untuk keberlanjutan kehidupan.

Bagi Suriani, keberadaan hutan desa harus tetap dipertahankan karena ketika kerusakan terjadi maka perempuanlah yang akan paling besar merasakan dampaknya.

“Hutan harus juga karena ada kebutuhan air yang penting bagi perempuan untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian. Hutan juga menjadi sumber penghidupan di mana kami bisa mengambil hasilnya berupa buah pangi dan sayuran. Ini bisa untuk dijual atau untuk konsumsi sendiri,” tambahnya.

Suriani berharap mereka bisa mendapat dukungan pengetahuan dan keterampilan pengelolaan hasil hutan agar memberi nilai lebih, misalnya bagaimana mengolah buah pangi sebagai keripik ataupun memanfaatkan potensi air untuk kebutuhan air kemasan.

“Kita pernah diusul bagaimana pengolahan berbagai hasil hutan ini bisa dikelola oleh Bummas bekerjasama LPHD, cuma hingga saat ini belum realisasi. Termasuk bagaimana kawasan wisata yang memanfaatkan air dari hutan ada semacam kontribusi untuk LPHD. Dananya bisa untuk bangunan jalan setapak dan gazebo di dalam hutan,” katanya.

perlu dibaca : AP2SI Minta Pemerintah Serius Dampingi Kelompok Tani Perhutanan Sosial

 

Tidak hanya untuk pertanian, potensi air yang melimpah juga dimanfaatkan warga untuk membangun kawasan wisata permandian di sekitar kawasan hutan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Imbal Jasa Lingkungan Air

Keberadaan LPHD sebagai lembaga yang mengelola hutan desa tak terlepas dari dukungan Balang Institute, sebuah lembaga lokal yang fokus pada isu Perhutanan Sosial di Kabupatan Bantaeng.

Pendampingan dilakukan pembentukan kelembagaan, pembuatan aturan-aturan, AD/ART, SOP, pembuatan rencana kelola, rencana kerja hutan desa selama 35 tahun, dan penyusunan Rencana Tahunan Hutan Desa (RTHD).

“Kami juga dampingi untuk pengembangan potensi yang ada di dalam kawasan hutan desa,” ungkap Adam Kurniawan, Direktur Balang Institute.

Pada tahun 2019 lalu, bekerjasama dengan Article 33, Balang Institute juga melakukan serangkaian kegiatan yang bertujuan mendorong pembiayaan pengelolaan Hutan Desa dari pemerintah, baik desa ataupun kabupaten. Kegiatan dilaksanakan di dua lokasi, yaitu di Desa Labbo dan Kelurahan Campaga.

“Untuk Desa Labbo ini berhasil masuk dalam skema Dana Desa, cuma di Campaga ini tak bisa didorong karena kelurahan sehingga tidak memiliki Dana Desa, makanya kita coba dorong ke kabupaten,” jelas Adam.

Peluang untuk mendapat dukungan pembiayaan dari pemerintah daerah sangat besar karena Pemda Bantaeng sendiri memiliki peraturan bupati terkait imbal jasa lingkungan air. Apalagi hutan Campaga berkontribusi terhadap 15% pasokan air PDAM Bantaeng.

“PDAM sebenarnya sudah bersedia memberi kompensasi hanya masih perlu dibicarakan mekanismenya seperti apa,” tambah Adam.

 

Exit mobile version