Mongabay.co.id

Belajar dari Dusun Sungai Palas, Manusia dan Harimau Hidup Tak Saling Ganggu [1]

Harimau sumatera. Foto: Asep Ayat

 

 

 

Berbagi ruang hidup antara manusia dan satwa bisa terlihat di Dusun Sungai Palas, Jambi, kampung yang berdampingan dengan ekosistem Taman Nasional Berbak-Sembilang. Turun menurun, warga di sana memiliki hubungan unik dengan  harimau Sumatera. Hubungan itu pula yang mereka yakini mampu memperkecil konflik masyarakat dengan harimau, termasuk saat  taman nasional  kebakaran medio 2015 dan 2019.

Saat kebakaran hutan melanda Taman Nasional Berbak-Sembilang, beberapa harimau keluar dari hutan. Mereka berupaya menyelamatkan diri dari amukan api antara lain masuk ke pemukiman. Warga Dusun Sungai Palas, menerima dan tak mengganggu harimau, begitu pula harimau, tak menggagu warga.

Yunus, Kepala Dusun Sungai Palas, yang bersebelahan dengan Taman Nasional Berbak-Sembilang mengatakan, baru periode 2015-2019, dia melihat harimau keluar dari taman nasional.

Dia yakin, gerombolan raja hutan yang keluar dari sarang, tak akan mengganggu warga. Dia berani menjamin itu karena sejak mereka keluar sarang mendekati permukiman, tak ada satupun ternak warga hilang atau dimakan harimau.

Sepanjang 2015-2019, katanya, ada sekitar sembilan harimau keluar Taman Nasional Berbak-Sembilang. Tak hanya di tepi dusun, harimau juga melenggang ke permukiman.

“Kita ngeri juga, tapi harus mengerti juga karena habitatnya kan terbakar. Jadi, kita imbau masyarakat baik yang pendatang ataupun yang tinggal di sini jangan ganggu,” katanya.

Dia tak berani jamin, kalau ada warga nekat mengabaikan nasehat itu. Namun dia menilai, sikap tenang masyarakat bisa berbanding lurus dengan keamanan mereka dan hewan ternak. “Bahkan saat menyiram kebakaran malam-malam kabarnya ada warga melihat harimau itu ikut mandi di air yang disemprotkan untuk memadamkan api di gambut.”

Kini, setelah kebakaran hutan dan lahan berlalu, harimau tak lagi menampakkan diri, termasuk mampir ke permukiman mereka.

Soal konflik harimau dengan manusia, sejumlah lembaga yang peduli dengan perlindungan raja hutan ini punya data beragam. Namun, dari berbagai data mengenai jumlah, mereka berkesimpulan kalau laju deforestasi di Taman Nasional Berbak-Sembilang jadi pemicu utama konflik harimau dengan manusia.

Catatan Sumatran Tiger Project, selama 2015, laju deforestasi di Taman Nasional Berbak mencapai 3,947,85 hektar atau 4,08% dari luas hutan primer. Deforestasi 5,142,60 hektar (65,98%) terjadi di hutan sekunder.

Lembaga KKI Warsi di Jambi juga memantau laju kebakaran hutan dan lahan melalui citra satelit landsat. Menurut pantauan pada 2015, kebakaran hutan di Taman Nasional Berbak mencapai 23.747 hektar. Pada 2019, seluas 17.470 hektar Berbak terbakar.

Dari laman Mongabay, sebuah studi memperkirakan deforestasi pada lahan gambut di Jambi pada 2019 mencapai 98,000 hektar. Studi ini oleh Dian Afriyanti dkk dalam jurnal Regional Environmental Change berjudul penelitian Scenarios for Withdrawal of Oil Palm Plantation From Peatlands in Jambi Province, Sumatera, Indonesia.

 

Tim gabungan Taman Nasional Berbak Sembilang sedang melakukan monitoring dalam kawasan terkait lokasi harimau. Foto: Jaka Hendra Baittri/Mongabay Indonesia

 

Berbagi daging

 

Dusun Sungai Palas berada di bawah administrasi Desa Rantau Rasau, Kecamatan Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dusun ini sudah berdiri sebelum izin diberikan pemerintah. Hal ini dengan adanya masjid tua yang masih berdiri dan benteng milik Pangeran Wirokusumo yang sudah roboh ke sungai karena abrasi. Madjid ini diduga telah ada sejak 1817.

Selain itu ada pula temuan gerabah kuno yang oleh Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Busaya (BPCB) Jambi Ario Nugroho disebut dari abad 10 dan 11. Sejak era Hindu-Budha.

“Desa ini berdiri sesuai izin sekitar 1964 atau 1965, tapi sebelum dapat perizinan desa ini sudah ada juga. Jadi, jauh dari tahun itu sudah ada,” kata Abdul Razak, Ketua Masyarakat Peduli Api Dusun Sungai Palas.

Hubungan warga dengan harimau tidak saling menaklukkan. Warga dan harimau punya hubungan khas, bisa terlihat dari tradisi berbagi daging untuk si raja hutan.

“Kalau masyarakat ada yang memotong hewan berkaki empat seperti kambing, sapi atau kerbau harus ada bagian dari lidah, kuping, daging dan hati untuk diberikan pada harimau,” katanya.

Setelah mereka pisahkan, daging lalu diantarkan ke satu lokasi. Masyarakat yang menyembelih hewan ternak, menaruh daging-daging di tengah-tengah antara desa dan hutan. “Tidak pasti tempat meletakkannya. Saran dari mendiang kakek lokasi harus berhimpitan dengan hutan.”

Kalau harimau masuk ke kebun  dan ada bekas tapak sebagai tanda kehadiran mereka, warga  diam saja. “Kami wajib menutupi agar jangan diketahui. Karena kan bahaya, yang memburu juga banyak.”

Menurut dia, ada hubungan saling menguntungkan kalau warga dan harimau saling menjaga.

“Mereka tidak mengancam kami. Kami tidak mengancam mereka. Ketika ada hama babi kami mohon ia datang,” katanya.

Mengenai konflik warga Dusun Sungai Palas dengan harimau minim, katanya, tidak terbangun dengan instan. Sejarah mereka terbentuk secara natural, dan saling menguntungkan. Masyarakat memberi daging, harimau pun menjaga kebun mereka dan tak mengganggu.

Yunus, Kepala Dusun Sungai Palas mengatakan, masyarakat rutin memberikan daging pada harimau ketika sedekah bumi atau selepas panen raya. Hal itu, katanya, bentuk ungkapan syukur masyarakat yang digelar sekali setahun.

Selamatan parit istilahnya, sedekah bumi setiap tahun mengadakan doa selamat, Jadi, setiap kali ada acara itu, istilahnya datuk (harimau) ini kita hormati juga,” katanya.

Mereka memisahkan daging yang dipotong untuk syukuran. “Setidaknya ada kaki, hati dikit, daging, terus kuping lagi, kemudian dibawa ke tempat habitatnya itu. Di pinggir hutan,” kata Yunus.

Makin ke sini, tradisi ini tak hanya saat sedekah bumi. Kalau ada yang selamatan dengan memotong hewan ternak kapan pun akan berbagi.

 

Lanskap Taman Nasional Berbak. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Habitat terus tergerus

Jambi, salah satu provinsi di Pulau Sumatera, yang memiliki populasi harimau cukup padat, sebagian besar hidup di lahan gambut. Taman Nasional Berbak–Sembilang, salah satu kawasan gambut ‘rumah’ predator puncak rantai makanan ini.

Kawasan ini secara global merupakan lanskap konservasi harimau. Merujuk pada penelitian Zoological Society of London (ZSL) pada 2010, perkiraan kepadatan populasi harimau 1,02 individu per 100 kilometer persegi. Ia meningkat jadi 1,6 individu pada 2018. Kalau melihat wilayah distribusi harimau di lanskap Berbak terbilang cukup sempit dan tumpang tindih.

Dari hasil observasi dengan kamera intai, hanya 30% dari total wilayah Berbak dijelajahi harimau. Si loreng juga masih menghuni kawasan-kawasan yang pernah terbakar.

Yoan Dinata, dari Forum Harimau Kita, pernah jadi Direktur ZSL mengatakan, ada tiga faktor tempat hidup harimau. “Air, satwa mangsa dan wilayah jelajah,” katanya saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu.

Wilayah jelajah untuk distribusi harimau di Berbak yang sempit membuat risiko perburuan harimau makin tinggi. Perburuan, katanya, ancaman utama bagi keberlangsungan harimau Sumatera di Berbak. Merujuk pada data ZSL dalam rentang waktu dari 2010-2012 setidaknya 10 harimau terbunuh di kawasan ini.

Yoan menambahkan, luas wilayah jelajah harimau karena kawasan yang pernah terbakar berubah jadi cekungan-cekungan yang terisi air hingga wilayah mereka terputus.

Selain perburuan, pagar listrik di perkebunan masyarakat, jerat satwa lain dan harimau yang berkonflik dengan masyarakat merupakan faktor lain yang menyebabkan populasi harimau menurun.

Tak hanya ancaman langsung, katanya, raja hutan susut karena gangguan pada habitat, seperti kejahatan pembalakan liar, dan perambahan maupun kebakaran hutan hingga hutan terfragmentasi. Berbagai ancaman itu, katanya, kian hari terus mempersempit wilayah jelajah harimau.

Saat ini, diperkirakan ada 35 harimau di lanskap Berbak–Sembilang. Dari studi yang pegiat pelestari harimau, jumlah ini minimal agar harimau dapat bertahan. Dengan catatan, katanya, kalau kawasan itu memiliki daya tampung sebanyak 70 individu.

Dengan pertimbangan tiga ancaman utama, perburuan, laju deforestasi dan konflik, katanya, para ahli memperkirakan populasi harimau di kawasan tersebut sulit untuk bertahan lama.

Dengan menerapkan metode metapopulasi, harimau di Berbak– Sembilang diprediksi bertahan 7-19 tahun ke depan. Metapopulasi ini metode sekumpulan individu yang disebut subpopulasi berkumpul dalam suatu kawasan karena habitat terputus tetapi masih dapat berinteraksi dengan individu di luar kawasan. Kondisi ini, berarti masing-masing subpopulasi harus saling terhubung terutama kawasan kecil.

Yoan bilang, pembuatan koridor salah satu cara menghubungkan subpopulasi ini. Selain pembuatan koridor, katanya, dispersal alami atau penyebaran harimau antar lanskap secara alami, translokasi, penambahan individu baru dan perlindungan adalah cara yang dapat ditempuh agar harimau di Berbak–Sembilang bertahan.

Selain metapopulasi, kata Yoan, strategi pengamanan habitat dari perambahan, pembalakan, perburuan dan mitigasi konflik telah dilakukan para pegiat konservasi harimau di sini. [Bersambung]

 

Keterangan foto utama: Harimau Sumatera, terancam salah satu oleh kebakaran hutan yang terus melanda hutan-hutan di Indonesia, termasuk di Taman Nasional Berbak-Sembilang, Jambi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version