Mongabay.co.id

Ancaman Ketika Pulau Kecil dan Pesisir jadi Kebun Sawit

Perkebunan sawit PT GMM, anak usaha Korindo, yang berada di bagian timur Halmahera Selatan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pulau kecil atau kawasan pesisir penuh dengan hamparan kebun sawit terjadi di berbagai penjuru negeri ini. Ruang hidup warga terhimpit. Berbagai masalah pun muncul mendera warga antara lain, krisis air bersih, lahan pertanian tergerus, ekosistem perairan baik sungai dan laut rusak, sampai hama seperti babi hutan masuk kampung dan meludes lahan pertanian warga. Kondisi ini baru segelintir dampak kala pulau-pulau kecil dan pesisir di negeri ini masuk investasi ekstraktif skala besar seperti perkebunan sawit.

Berbagai persoalan ini dibahas dalam diskusi dari Tandan Sawit oleh Sawit Watch dengan tema “Ekspansi Perkebunan Sawit di Wilayah Pesisir Pulau-pulau Kecil Kamis” awal November lalu.

Baca juga: Nasib Pulau-pulau Kecil di Kepri Kala Sawit Datang [1]

Susan Herawati, Sekjen Kolaisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Indonesia mengatakan, masyarakat pesisir dan nelayan ikut terancam serius dari perkebunan sawit skala besar.

Belajar dari kasus dampingan Kiara di Langkat, Sumatera Utara, ekspansi sawit menghancurkan hutan mangrove hingga berdampak pada kehidupan nelayan.

Para pemodal mengganti hutan mangrove di Langkat jadi kebun sawit. Sayangnya, dalam masalah ini Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak berposisi untuk menyelesaikan kasus seperti ini. Padahal, fungsi pesisir dan pulau kecil sangat penting.

Selain itu, katanya, pulau itu memiliki fungsi secara hidrologis. Eksosistem hutan di pulau kecil, katanya, untuk menjaga sistem tata air. Kalau hutan-hutan di pesisir maupun pulau kecil berubah jadi kebun sawit, katanya, bakal memunculkan masalah serius.

Baca juga: Rehabilitasi Mangove Kelompok Tani Nipah Terancam Sawit

Ratno Budi dari Umah Babel mengatakan, Bangka Belitung merupakan kepulauan kecil dengan luas 1,6 juta hektar dan penduduk 1,4 juta orang itu sudah terkapling-kapling dalam berbagai peruntukan industri skala besar.

Sekitar 500.000 hektar konsesi sudah jadi kuasa perusahaan tambang timah dan mineral, dengan rincian, 150.000 hektar izin tambang di laut dan 350.000 hektar di daratan Bangka. Untuk perkebunan sawit , ada 282 .000 hektar, tetapi data resmi pemerintah pada 2019, jadi 173.000 hektar. Di sini, katanya,  ada data tidak sinkron. Meskipun begitu, dengan 173.000 hektar itu saja sudah 10% daratan Bangka beralih jadi perkebunan sawit besar.

Dampaknya, kata Ratno, hutan di pulau kecil jadi korban. Laju deforestasi, degradasi lahan sampai ke konflik agraria terjadi. Lebih parah lagi, perusahaan juga menanam sawit di pesisir pantai. Dari sisi ekologi, katanya, kalau mangrove terbabat bisa menimbulkan dampak lebih besar bagi pesisir dengan abrasi, sampai banjir rob.

Pulau-pulau kecil di Babel, tak hanya terancam, seperti kebun sawit, tambang maupun hutan tanaman industri, mulai marak sekarang pertambakan skala besar.

Munadi Kilkoda, anggota DPRD Halmahera Tengah juga Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, bicara pulau kecil di Malut masuk ekstraktif macam kebun sawit skala besar.

Dia mengatakan, Malut di kelilingi gugusan pulau-pulau kecil tetapi arah pembangunan dan ekspansi lebih ke sektor sumber daya alam.

 

Jalan dari Desa Linau ke Sambau, Lingga. Kedua desa ini sudah ada izin kebun sawit belasan ribu hektar. Foto: Yogi Eka Sahputra /Mongabay Indonesia

 

Sejak 1980, katanya, pulau-pulau di Malut sudah tereksploitasi seperti di Gebe, Obi, Pulau Ge dan lain-lain.

Belakangan, perusahaan sawit juga ekspansi besar-besaran di pulau kecil, Gane, masuk Halmahera Selatan.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Malut, katanya, hampir semua kabupaten ada peruntukan area untuk perkebinan sawit. Dia sebutkan di Gane (Halmahera Selatan), Wasile (Halmahera Timur), dan Banemo (Halmahera Tengah).

Kondisi ini, berbanding terbalik dengan dukungan pemerintah dalam memproteksi lahan untuk masyarakat.

“Kita sudah mendorong supaya pemerintah menggolkan Perda Masyarakat Adat untuk memproteksi ruang masyarakat adat jangan sampai hilang,” katanya.

Dia bilang, memperjuangkan perda untuk masyarakat itu tdak mudah, terlebih menghadapi dinamika politik lokal sampai rintangan dari kepentingan pemodal. Tak heran, Perda Masyarakat Adat yang sudah diusung bertahun-tahun lalu belum ketuk palu juga.

 

Mentawai ‘usir’ sawit

Kala investasi mau masuk pesisir atau pulau-pulau kecil, warga banyak menolak. Sebagian besar mereka harus menghadapi kenyataan pahit. Di Mentawai, Sumatera Barat, punya cerita lain.Kala perusahaan sawit mau masuk, warga kompak melawan, menyusul pemerintah daerah menguatkan dengan tak ingin pulau kecil itu kemasukan investasi sawit.

Rivai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai mengatakan, pada 1995, pernah ada izin sawit di Mentawai dan karena kondisi politik di tanah air maka investasi itu batal.

Pada 2010, ada lagi perusahaan mau masuk tetapi persyaratan izin lokasi tidak ada hingga batal. Pada 2014 dan 2017, lagi-lagi pebisnis tak lelah mencoba, ada lagi ajukan izin kebun sawit 15.000 hektar. Penolakan kuat dari warga, katanya, berhasil menggagalkan mereka masuk.

Luas Mentawai sekitar 600.000 hektar dengan luas daratan 491.000 hektar kawasan hutan atau 82%., sisanya, alokasi penggunaan lain.

Dari 82% kawasan hutan itu, ada 183.000 hektar untuk taman nasional dan 246.000 hektar hutan produksi—228.000 hektar untuk korporasi).

Rivai bilang, ternyata izin usaha pengelolaan kayu ini memberi pelajaran penting kepada warga di Mentawai terutama ancaman deforestasi dan konflik ruang. Dari pengalaman ini, mereka pun kompak menolak rencana investasi perkebunan monokultur seperti sawit masuk.

 

Keterangan foto utama: Perkebunan sawit PT GMM, anak usaha Korindo, yang berada di bagian timur Halmahera Selatan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Pengolahan sagu secara sederhana di Desa Malancan, Siberut Utara, Mentawai. Masyarakat adat di sini, hidup bergantung hutan sekitar. Kehidupan mereka terancam kala pebisnis ekstraktif berusaha masuk. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version