Mongabay.co.id

Festival Perlindungan Air untuk Mitigasi Krisis Air Bali

 

November kini sudah sudah setengah jalan berlalu, namun kemarau masih pekat di Bali. Hujan kadang muncul, namun volumenya kecil. Para petani menerka-nerka kapan hujan kan datang?

Terutama untuk petani tadah hujan di kepulauan Nusa Penida yang sulit akses air. Mereka mengandalkan air hujan untuk palawija seperti jagung dan ketela. Demikian juga Wayan Sukadana, yang baru saja merintis Nusa Penida Farm dan perkebunan porang. Komoditas yang makin populer namun tidak terbiasa jadi bahan pangan ini memerlukan cukup air untuk tumbuh, terutama bibit muda.

Ketika hujan tiba, bagaimana kita memanfaatkan dan menyimpannya?

Sejumlah inisiatif warga diarsipkan dalam festival perlindungan air di Bali (Bali Water Protection Festival) yang dihelat Yayasan IDEP sepanjang November 2020 ini. Solusi konservasi air berupa praktik dan teknologi tepat guna ini beragam.

Mulai dari hal sederhana seperti praktik hemat air di rumah dan kantor, menyuntikkan air ke tanah dengan sumur imbuhan (recharge well), pembuatan biopori massal di sebuah desa, sampai seni instalasi.

baca : Mungkinkah Bali Nol Penggunaan Air Tanah?

 

Kabeh Jati Garden, sebuah akomodasi di Nusa Penida membuat sumur-sumur besar penampung air hujan karena areanya sulit air bersih. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Wayan Jarmin, petani di Candikuning, Baturiti, Tabanan ini mengajak memanen air hujan untuk berkebun. Ia menabung air hujan.

Sedangkan SD Negeri 1 Bunutin membuat sumur imbuhan untuk menyerapkan air ke dalam tanah dengan lebih cepat. Ada juga Made Bayak, seniman multimedium yang membuat instalasi bertajuk Water Shelter for Future Culture. Made Bayak menggunakan seni untuk mengkampanyekan perlindungan lingkungan seperti Plasticology, dan lainnya.

Puncak festival ini dihelat online pada 28 November dengan partisipasi sejumlah seniman dan musisi lain seperti Gunawarma-band Nosstress, kartunis Putu Dian-Beluluk, dan band The Kelors.

Bali Water Protection Program juga membagi kisah-kisah lain pada webinar pada 6 November 2020. Mulai dari praktik mengubah perilaku keseharian dalam memanfaatkan air sampai mencoba teknologi tepat guna.

Brenda Ritchmond, founder Bali Buda, sebuah toko makanan organik populer di Bali mengajak meluaskan praktik hemat air yang diimplementasikannya. Bali Buda mewajibkan sejumlah kebiasaan untuk pekerjanya. Misalnya matikan air saat memakai sabun dan melatih staf. “Apalagi saat ini makin sering cuci tangan, berapa liter terbuang per detik. Jika melanggar ada sistem warning dari HRD,” sebut perempuan yang juga terlibat dalam kelas-kelas zero waste di masjid bersama komunitasnya.

Praktik lain adalah memperbaiki semua kebocoran. Ia melihat sering ada toilet bocor di bandara, mall, masjid, dan lainnya tapi dibiarkan. “Hindari pemborosan air, misal mencairkan makanan beku, taruh di luar frezer tidak usah direndam banyak air. Ini perlu planning saja,” gugah Brenda.

Berikutnya, gunakan kembali air. Menggunakan ulang grey water, air limbah domestik seperti cuci piring yang masih bisa dimanfaatkan tapi tidak bisa diminum. Ada juga air AC. Praktik kecil tapi bermakna lainnya adalah cuci piring dengan perilaku hemat air, dan pilih peralatan hemat air.

“Melayani tamu juga perlu efisien, kalau tidak minta jangan beri air karena sering tak diminum. Perlu dua pemborosan termasuk cuci gelas,” urainya. Hal penting lain menurutnya adalah menghabiskan makanan, karena diproduksi dengan air.

baca juga : Begini Upaya Konservasi Mencegah Krisis Air di Bali

 

Gunung Batukaru menjadi sumber penyimpan air bagi hamparan kebun dan sawah di sekitarnya.
Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Di sisi lain, ada kebutuhan pada teknologi tepat guna untuk akses air dan menyimpan air hujan. I Gusti Made Rus Alit menyebut sudah 36 tahun terakhir berkeliling ke sejumlah negara mengaplikasikan teknologi sederhana di negara sulit air seperti Afrika dan kepulauan Pasifik. Ia mengajak warga Bali lebih bersyukur dan melakukan mitigasi sebelum air makin sulit. “Bali seperti surga, sungai di desa saya sepanjang tahun ada air karena dekat gunung Batukaru penyimpan air,” sebutnya.

Sementara di Afrika dan negara kepulauan Pasifik sangat tergantung air hujan. “Kalau gali, air payau, mereka menderita kekurangan air tawar,” lanjut pria pendiri Bali Appropriate Technology Institute (BATI) ini.

Ia berkisah, di negara kering, penguapan berkurang karena pohon habis, hujan makin sedikit. Ketika pertama datang ke Afrika, kelaparan hebat melanda Ethiopia. Sedangkan di Gurun Gobi, anak mandi sekali setahun dengan menggali air dari lubang dalam, caranya memasukkan salju lalu dibiarkan mengendap.

“Seolah surga, namun 10 tahun lagi bisa kritis. Karena itu 20 tahun lalu saya balik ke Bali buat BATI. Berbagi ilmu,” sebut Rus. Di antaranya teknologi pipa hidrolik ramp pump, yang bisa menarik air ke bebukitan tanpa listrik. Hanya menggunakan tenaga air.

Menurutnya untuk Bali, paling efisien penampungan air hujan. Curah hujan sekitar 1700 mm/tahun. Jika air hujan yang masuk ke bak satu meter kubik, dalam setahun bak penuh sampai dua kali lipat. Sebagian lagi bisa dirembeskan ke tanah, terserap pohon. Sayangnya, sebagian besar air hujan saat ini lari ke laut dan tidak dipakai. Menurutnya ini pemborosan besar.

Dari pengalamannya, untuk penampungan air hujan dengan volume 10 ribu liter, biaya pembuatan tangki sekitar Rp3,5 juta. Bak dalam tanah atau di atas tanah ini lalu ditutup untuk melindungi agar air tak terlalu kotor, tak ada nyamuk dan lalat bertelur. Untuk menarik air dari bak bawah tanah, ia membuat Pompa Rus yang sederhana tanpa listrik.

perlu dibaca : Riset Menyimpulkan Intrusi Air Laut Meluas di Pesisir Bali, Dimana Saja?

 

Sebuah keran rusak di salah satu penginapan dibiarkan saja sehingga air bersih terus terbuang. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ida Bagus Oka Agastya, co-founder Mahanta Geoscience Potensi mengingatkan Bali perlu segera melakukan konservasi air tanah. Potensi air permukaan sekitar 207 m3/detik dan air tanah 9 m3/detik. Total 216 m3/detik.

Air permukaan diperkirakan potensina dari luas daerah aliran sungai (DAS) dengan luas 5.636 km². Panjang Sungai sekitar 2.776 km dengan jumlah 315 DAS dalam kabuaten/kota.

Untuk jangka panjang, ia merekomendasikan shifting, investasi air tanah, dan pengelolaan sumber air. Manajemen jangka pendek di antaranya pemetaan daerah rawan kerusakan, sumur resepan, merawat sumur imbuhan, biopori, dan mata air (beji).

Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan
 di bawah permukaan tanah
. Air Tanah terbentuk secara alami dari air hujan dan air permukaan yang meresap ke dalam tanah dan atau batuan pada Cekungan Air Tanah (CAT), maka pengelolaannya harus menyesuaikan perilakunya meliputi keterdapatan, penyebaran, ketersediaan, kualitas, serta lingkungan keberadaannya. 
Air Tanah mengalir dari daerah imbuhan (recharge area) menuju daerah lepasan (discharge area) dalam suatu cekungan air tanah di bawah permukaan tanah.

 

Exit mobile version