Mongabay.co.id

Cerita Ruwindrijarto dan Kepakan Sayap Kupu-kupu di Pagerharjo

 

Beberapa waktu lalu dalam sebuah acara di Desa Pagerharjo, Samigaluh, Kulon Progo, A. Ruwindrijarto menjelaskan tentang persoalan ruang hidup dan membangun kemandirian ekonomi yang selaras alam dan adat. Pesertanya berasal dari berbagai daerah seperti Yogyakarta, Tambrauw, Jayapura, dan Maumere.

Untuk tema yang lumayan berat itu, Ruwi biasa dia kerap dipanggil, menjelaskan dengan gaya bahasa sederhana. Beberapa kali dia mengutip metafora chaos theory dari Edward Norton Lorenz, matematikawan dan meteorologi terkenal.

Teorinya menyebutkan bahwa “kepakan sayap kupu-kupu di Brazil dapat menyebabkan tornado di Texas.” Premisnya menyebutkan bahwa semua yang ada di muka bumi ini saling berkaitan.

Mengapa dia suka metafora itu? Ruwi beralasan, dia kerap merasa kesulitan menerjemahkan strategi besar ke dalam langkah detil. Menurutnya perubahan kecil di suatu tempat akan dapat menghasilkan perubahan besar di tempat lain.

”Soalnya saya punya kesulitan dalam menyusun sebuah strategi yang utuh. Biasanya kita sepakat tujuan akhir. Tapi strategi ke sana, langkah-langkahnya, kita selalu kesulitan menyusunnya dengan rapi.”

Jawaban itu menjadi pembelaannya bahwa dalam mencapai sesuatu dia lebih memilih segera saja melakukan aksi.

“Saya tidak bisa memandang lebih dari dua langkah ke depan. Saya hanya bisa berpikir satu langkah. Mungkin dari langkah satu ini akan mengetahui langkah keduanya apa, langkah ketiganya apa, dan setelah langkah ketiganya ditemukan mungkin bisa ditemukan langkah keempatnya,” ujarnya merendah.

Baca juga: Hidup Mati Ranger untuk Hutan Leuser

 

A Ruwindrijarto. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Selepas lulus SMA di Semarang pada 1989, Ruwi kuliah di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Di tahun yang sama, dia memilih beraktivitas di Lawalata, unit kegiatan mahasiswa pecinta alam IPB. Lulus pada 1996, bersama-sama dengan beberapa rekannya, dia mendirikan Yayasan Telapak Indonesia.

Awalnya organisasi dimaksudkan sebagai sebuah kelompok aktivis yang fokus pada kajian alam dan kegiatan luar ruang. Wadah bagi mereka untuk bisa melakukan kegiatan yang sama seperti tatkala masih berstatus mahasiswa, seperti mendaki gunung, memanjat tebing, menjelajah hutan, dan mengamati kehidupan satwa liar.

Lambat laun ia berubah, yaitu mengembangkan kampanye dan investigasi hutan. Mereka melakukan pemantauan destruktif, termasuk penebangan liar.

Investigasi Telapak dengan mitra mereka di Taman Nasional Tanjung Puting (Kalimantan Tengah) dan Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh) pada 1999 menemukan bukti foto dan video, penjarahan kayu dilakukan di taman nasional bahkan di depan mata petugas.

Laporan mereka berjudul The Final Cut mengguncang masyarakat lingkungan dunia, termasuk negara-negara donor dan mendapat sorotan media baik nasional maupun internasional.

Pada 2006, Telapak mulai menggeser fokus kegiatan kepada kemandirian petani dan nelayan lewat kewirausahaan sosial. Membentuk koperasi menjadi salah satu cara menggapai tujuan itu. Tidak saja yang melulu pada pengelolaan hutan dan lahan, tapi juga di pesisir.

Seperti yang dilakukan di Desa Les dan Serangan di Bali, dimana Telapak dan mitranya terjun untuk mendorong masyarakat meninggalkan praktik penggunaan sianida dalam menangkap ikan hias dan pengambilan karang. Hasilnya ada kelompok nelayan yang melakukan konservasi terumbu karang, budi daya kuda laut dan ikan karang, serta ekowisata bahari.

Di kawasan hutan, Telapak dan mitranya mendorong koperasi berbasis masyarakat, seperti Koperasi Wana Lestari Menoreh di Kulon Progo dan Koperasi Hutan Jaya Lestari di Konawe Selatan. Keduanya berhasil mendapat sertifikasi dari Forest Stewart Council (FSC), sehingga kayu mereka dapat diterima pasar Eropa dan berstatus legal.

Di Lampung Tengah, organisasi ini beserta mitranya mendorong Koperasi Giri Mukti Wana Tirta pada 2009 lalu. Pada 2011 koperasi ini memperoleh sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Karena aktivitasnya, bersama rekannya Silverius Oscar Unggul, Ruwi mendapat anugerah The Skoll Award for Social Entrepreneurship tahun 2010 lalu. Dalam sambutan penerimaan penghargaan itu, Ruwi membuka sepenggal kisah saat berusaha membentuk sebuah koperasi di Lamongan, di desa tempat Amrozi, salah satu pelaku bom Bali berasal.

“Kami bertemu dengan orang tua mereka dan menyampaikan akan membentuk sebuah koperasi, mengelola lahan dan hutan, menawarkan cara baru, membuat furnitur, mengekspornya, dan sebagainya. Ini memberi harapan bagi orang tuanya, warga, dan semua orang,” cerita Ruwi.

Dia juga memberi tahu kepada mereka bahwa pihaknya tengah melakukan negosiasi dengan jaringan hotel JW Mariot untuk membeli produk furnitur berkelanjutan dari mereka.

“Orang tuanya lalu menyesal, oh Tuhan, mengapa anak-anakku mengebom hotel Mariot. Kami datang sangat terlambat ke desa itu. Andai kami datang lebih awal, berbicara, mengorganisasi, dan melakukan banyak hal, mungkin hasilnya berbeda. Mungkin tidak ada bom di Bali dan Jakarta.”

Atas dedikasinya dalam membela lingkungan dan memperjuangkan model manajemen pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, Ruwi juga dianugerahi Ramon Magsaysay pada tahun 2012. Saat menerima penghargaan itu di Manila, Ruwi sengaja memakai baju batik dan blangkon, penutup kepala khas Jogja.

Penghargaan yang disebut-sebut sebagai Nobelnya Asia itu juga pernah diberikan kepada tokoh lain seperti pegiat masyarakat adat Abdon Nababan, almarhum penulis Pramoedya Ananta Toer, mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Akira Kurosawa, Mother Teresa, dan Dalai Lama.

 

 

Sejak delapan tahun lalu Ruwi memutuskan untuk tinggal di Pagerharjo. Pilihan untuk pindah bukan datang dengan tiba-tiba. Dia mengaku hasrat untuk kembali ke tempat yang disebut kampungnya itu telah menggebu lama.

“Saya memang selalu ingin pulang kampung. Saya selama ini lahir di luar, sekolah di luar, kerja di luar. Tapi saya selalu menganggap dan memang ini kampung halaman saya,” akunya.

Ruwi juga menjelaskan mengapa dia senang mengadakan acara di desa itu.

“Saya ingin lebih banyak kegiatan-kegiatan dengan model seperti ini. Selain ada uang yang berputar di desa. Akan lebih banyak orang yang terlibat dan mendapat dampak dari kegiatan-kegiatan semacam ini dibanding kalau dilakukan di kota,” ujarnya.

“Apakah Anda punya semacam desa binaan di sini?” tanya saya.

“Tidak ada. Saya justru yang merasa dibina,” kata Ruwi. Dia tidak sedang bercanda. Tidak ada senyum. Saya kira begitu cara Ruwi menghormati desanya.

Pagerharjo terletak di perbukitan Menoreh. Desa ini punya posisi unik, dia berada tepat di segitiga perbatasan wilayah Kabupaten Magelang di sebelah utara dan Kabupaten Purworejo di sebelah barat, dan Kulon Progo di sebelah selatan.

Selain menyajikan keindahan deretan gunung, pengunjung dimanjakan oleh hamparan kebun teh dan hutan rakyat di wilayah Menoreh. Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan propinsi DIY (2019) menyebut luas hutan rakyat di Kulon Progo sebanyak 20.795,60 hektar, sementara luas Hutan Kemasyarakatan 196.80 hektar, dan hutan lindung sebanyak 255,61 hektar.

Meski kerap bersinggungan dengan isu-isu lingkungan yang pelik dan dampak skalanya besar, Ruwi masih suka memperhatikan masalah kecil yang dihadapi warga di sekitarnya.

“Kalau di sini, kami punya petak tanaman panili yang harusnya lebih banyak disemprot air tiap hari. Ternyata airnya berkurang karena kemarau panjang. Nah itu contoh masalah yang harus diselesaikan. Lainnya, kita lagi bikin usaha pengolahan kopi.”

Baca juga: Lampng Barat Sebagai Kabupaten Konservasi, Apa Tantangannya?

 

A Ruwindrijato saat berdiskusi dengan para peserta di Pagerharjo, Kulon Progo beberapa waktu lalu. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Di kecamatan dia tinggal, sebuah koperasi yang menghimpun petani hutan dan masyarakat seputar hutan telah dibentuk. Diinisiasi oleh Ruwi bersama mitra dari Yayasan Bina Insani Mandiri (Yabima), mereka awalnya mensosialisasikan community logging.

Warga menyadari ada kebutuhan membentuk sebuah wadah koperasi untuk mengelola hasil hutan yang berkelanjutan. Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) pun berdiri pada 2008. Awalnya hanya beranggotakan 20 orang, kini koperasi serba usaha ini beranggotakan 1.014 orang yang tersebar di 18 desa di Kecamatan Samigaluh, Kalibawang, Girimulyo, dan Nanggulan.

Anggota KWLM adalah petani hutan yang berdomisili di kawasan hutan rakyat perbukitan Menoreh. Total luas kelola hutan rakyat  KWLM saat ini sebesar 800 hektar. Koperasi berhasil memotong jalur distribusi sehingga memberikan harga bagus bagi petani. sekaligus mendorong pengelolaan hutan yang lestari oleh masyarakat. Dari hasil investasi, sekarang KWLM juga sudah memiliki fasilitas sawmill mandiri.

Setiap anggota koperasi ini, wajib menaati aturan menebang pohon yang telah disepakati bersama. Untuk jenis pohon jati, mahoni, dan sonokeling pohon yang boleh ditebang harus berdiameter lebih dari 30 cm.

Sementara sengon harus berdiameter lebih dari 20 cm. Ini adalah salah satu bentuk komitmen anggota dalam melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Saat mendapat hadiah dari Magsaysay, Ruwi mengatur sebagian dari hadiah uang yang dia peroleh dengan warga desa. Bersama koleganya di KWLM dia menempatkan dana itu sebagai social investment, yaitu dana bergulir untuk proyek rintisan pengembangan masyarakat dan usaha sosial.

Ruwi mengaku masih punya kekhawatiran akan keselamatan hutan, sebagaimana dirasakan banyak orang.

“Saya kira banyak sekali orang yang sama, khawatir dengan keselamatan hutan kita, keselamatan sumber daya alam, keselamatan kelompok hutan masyarakat. Seperti kasus Kinipan, itu adalah salah satu yang menunjukkan kita memang masih banyak masalah menghadapi persoalan-persoalan itu.”

Dia mengibaratkan perannya kini ibarat air atau udara yang mengisi ruang kosong. Sehingga dia tidak melihat apakah yang dikerjakan sekarang lebih penting atau berdampak dibanding sebelumnya.

“Sudah banyak yang bagus-bagus, jagoan mengerjakan. Kebetulan mungkin saya secara gravitasi tadi terhanyut lalu mengisi yang masih kosong di sini, misalnya di desa ini, atau di desa-desa lain.”

Saya sempat bertanya apa yang menjadi obsesi pria yang kini membiarkan rambutnya panjang ini. “Harus terus berguna, harus terus punya aktivitas, harus terus berkontribusi kepada perbaikan-perbaikan.”

Bisa jadi gagasan dan “kepak sayap” Ruwi dari Pagerharjo kali ini menyebabkan perubahan sosial dan ekonomi berskala besar laksana tornado.

 

 

Exit mobile version