Mongabay.co.id

Kawasan Hutan untuk Food Estate, Pegiat Lingkungan: Peluang Deforestasi Sangat Terbuka

Alih fungsi hutan tidak hanya menyebabkan terjadinya bencana mulai banjir, longsor, hingga kekeringan, tetapi juga mengganggu ekosistem lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Terbitnya Peraturan Menteri [Permen] Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate menjadi sorotan sejumlah pegiat lingkungan. Program ini dinilai berpotensi mendorong laju deforestasi di Indonesia, terutama hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Permen ini ditandatangi Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 26 Oktober 2020 lalu.

Baca: Was-was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan

 

Alih fungsi hutan tidak hanya menyebabkan terjadinya bencana banjir, longsor, hingga kekeringan, tetapi juga mengganggu ekosistem lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Uli Arta Siagian, Direktur Genesis Bengkulu mengatakan, pengalaman selama ini menunjukkan, pelepasan kawasan hutan sering berujung pada kerusakan lingkungan hidup.

Satu contoh kegagalan program ambisius pemerintah untuk ketahanan pangan adalah Proyek Lahan Gambut [PLG] Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah, hingga Program Merauke Integrated Food and Energy Estate [MIFEE] di Papua.

“Permen tersebut sangat berpotensi mempercepat laju deforestasi dan merusak lingkungan hidup,” kata Uli kepada Mongabay Indonesia, Selasa [17/11/2020].

Kegagalan proyek-proyek food estate tentu menimbulkan banyak kerugian bagi negara. Contoh, proyek PLG yang menyedot APBN hingga Rp1,6 triliun. Bahkan, di wilayah proyek PLG yang direncanakan menjadi lumbung pangan, kini justru sebagian wilayah berganti menjadi perkebunan sawit.

“Tak hanya itu, Permen tersebut juga dinilai memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia,” kata Uli.

Permen ini mendorong kawasan hutan menjadi tempat food estate atau kawasan lumbung pangan nasional.

“Kegiatan penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dalam mendukung ketahanan pangan melalui mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan atau penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan [KHKP] sebagaimana dimaksud Pasal 2 ditetapkan oleh Menteri berdasarkan permohonan,” demikian bunyi Pasal 3 Ayat 1 Permen yang diunduh Mongabay Indonesia dari situs KLHK, Senin [16/11/2020].

Adapun kawasan hutan yang dapat diusulkan, yakni kawasan hutan lindung, dan/atau kawasan hutan produksi.

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Sedangkan hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

“Penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dengan mekanisme penetapan KHKP sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf b, dilakukan pada: a. Kawasan Hutan Lindung; dan/atau b. Kawasan Hutan Produksi,” lanjut Pasal 19 Ayat 1.

Namun sebagaimana ditulis pada Pasal 19 Ayat 2, kawasan hutan lindung dimaksud pada ayat 1 huruf a itu, yakni yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca: Pelibatan Petani dalam Proyek Food Estate d Kalteng Tak Jelas

 

Nasib petani harus diperhatikan agar kondisi pertanian Indonesia stabil. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dominasi korporasi

Wahyu Perdana, Manajer Kempanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi menegaskan, Permen P.24 menjadi varian perizinan baru di kawasan hutan, sehingga akan mendorong dominasi korporasi.

“Dengan demikian, laju penebangan hutan alam akan menjadi konsekuensi logis Permen ini,” kata dia kepada Mongabay Indonesia.

Wahyu juga menilai, food estate atau lumbung pangan ini merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi. “Food estate merupakan konsep pertanian tanpa petani,” tuturnya.

Walhi Nasional juga mengingatkan Permen P.24 berpotensi meminggirkan rakyat dan menambah potensi konflik. “Pendekatan korporasi dalam skala luas, terlebih dalam konteks P.24 yang tidak memasukkan skema pengelolaan rakyat, justru memperpanjang ancaman potensi konflik,” kata Wahyu.

Menurutnya, paska diundangkannya UU Cipta Kerja, dan munculnya aturan seperti P.24 tentu akan makin mempercepat eksploitasi lingkungan hidup dan deforestasi di Indonesia.

Baca juga: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar

 

Lahan gambut sisa terbakar 2015 lalu yang terletak di eks PLG Satu Juta Hektar Kalimantan Tengah. Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay Indonesia

 

Peraturan Menteri P24 juga dinilai akan memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan Indonesia.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi mengatakan, saat ini sebanyak 33,45 juta hektar atau 26,57% kawasan hutan telah dikapling untuk kepentingan bisnis korporasi. “Dalam waktu 20 tahun belakangan, tercatat lebih dari 26 juta hektar kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan bisnis,” tulis Yaya, panggilan Nur Hidayati, dalam rilisnya, 15 November 2020.

Yaya juga menyorot substansi P.24, yang setidaknya ada 7 persoalan mendasar bermasalah. Pertama, Food Estate adalah usaha pangan skala luas, sehingga pasti memiliki dampak deforestasi signifikan. Kedua, argumentasi yang dimasukkan dalam bagian “menimbang” yang mengaitkannya dengan pandemi COVID-19 tidak tepat.

“Sentralisasi pengelolaan pangan akan menyisakan problem distribusi yang akan memperbesar biaya rantai pasok. Harusnya, persoalan pangan dikembalikan pada petani, tidak disentralisasi, dan harus berbasis diversifikasi pangan. Hal tersebut tentu tidak mungkin dilakukan dengan pendekatan skala luas,” tulis dia.

Ketiga, “pernyataan komitmen” izin lingkungan dijadikan dasar mengeluarkan KHKP tidak tepat. Menurut Yaya menjadi tidak logis jika “pernyataan komitmen” dijadikan dasar, sementara alih fungsi Kawasan hutan langsung dilakukan.

Keempat, KLHS cepat tidak berdasar. Istilah KLHS cepat beberapa kali muncul bukan hanya pada proyek Food Estate tetapi juga pada proyek IKN. Penggunaan KLHS cepat tidak memiliki dasar legal yang cukup, serta rentan menghasilkan kajian tidak akurat.

Kelima, skema perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan di kawasan hutan dengan fungsi produksi yang dapat dikonversi. Sedangkan, hak pengelolaan kawasan hutan untuk ketahanan pangan [KHKP] dilakukan di kawasan hutan fungsi produksi dan lindung. Khusus KHKP, dikedokkan dengan program perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria [Pasal 20 huruf c]. KHKP diberi durasi penguasaan ruang paling lama 20 [dua puluh] tahun dan dapat diperpanjang.

Keenam, hutan-hutan alam yang ditebang diberi kemungkinan insentif tidak membayar kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan [PSDH] dan/atau dana reboisasi.

“Ketujuh, KHKP yang disebutkan dalam P.24 mengancam hutan lindung, lebih jauh lagi mengancam Wilayah Kelola Rakyat. Khususnya, masyarakat adat yang wilayahnya diklaim Negara dalam kawasan hutan,” tegas dia.

 

anaman sawit yang ditanam di area Blok C eks PLG Kalteng. Sawit bukan tanaman asli gambut, perakaran tanaman ini akan membusuk dan tidak akan tumbuh sempurna. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Penjelasan KLHK

Melalui siaran pers, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Sigit Hardwinarto menegaskan, terbitnya Permen P.24 merupakan kebijakan pemerintah memberikan pedoman regulasi penyediaan kawasan hutan, untuk pembangunan food estate.

Food estate merupakan program strategis nasional untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Dengan begitu, tidak bergantung pada negara lain, apalagi pada kondisi pandemi.

Dia menjelaskan pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan food estate menggunakan mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan dan KHKP sesuai Pasal 3 ayat 2, yang hanya dapat diajukan oleh Pemerintah. Dalam hal ini Menteri, Kepala Lembaga, Gubernur, Bupati/Wali Kota atau Kepala Badan Otorita yang ditugaskan khusus oleh Pemerintah.

“Tidak dimaksudkan untuk swasta,” jelas Sigit, pada 16 November 2020.

Dia juga menjelaskan, perubahan peruntukan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi [HPK], sebagaimana Pasal 6 ayat 1. Syaratnya, melewati kajian Tim Terpadu, Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS], dan menyelesaikan UKL UPL dalam rangka perlindungan lingkungan.

Dia juga menyampaikan, kawasan hutan lindung [HL] yang akan digunakan untuk food estate adalah kawasan HL yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu kawasan terbuka/terdegradasi atau sudah tidak ada tegakan hutan.

 

 

Exit mobile version