Mongabay.co.id

Nelayan Teluk Kamsai Hadapi Berbagai Kendala

Perahu nelayan di Teluk Kamsai. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Penghujung Oktober lalu, Oktovianus Rumere, nelayan Demta, Jayapura, Papua, sedang tak melaut. Saat itu, musim angin barat tiba. Ikan tangkapan nelayan tak sebanyak biasa.

Dia duduk santai di rumahnya yang menghadap ke utara. Di hadapannya, Teluk Kamsai, tempat dia dan para nelayan melabuhkan kapal usai melaut. Nama teluk ini juga jadi nama kelompok nelayan yang dia pimpin: Kelompok Nelayan Teluk Kamsai.

Oktovianus jadi ketua kelompok sejak 2011 dengan anggota sekitar 53 orang, nelayan dari berbagai wilayah pesisir Papua, tak khusus Demta.

Teluk Kamsai, terletak di Pusat Distrik Demta, bagian utara Kabupaten Jayapura. Jarak sekitar 46 kilometer dari Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura. Ada tujuh kampung di sana yaitu Ambora, Demta, Muris Besar, Muris Kecil, Yaugabsa, Kamdera, dan Muaif.

Oktovianus menceritakan soal potensi laut di Demta. Tuna, katanya, jenis ikan paling banyak dari Kelompok Nelayan Teluk Kamsai. Dari 24 kapal, hasilkan sekitar tiga ton tuna tiap hari. Ada juga ikan karang seperti bubara dan samandar.

Tuna ukuran besar mereka jual ke pengepul dari Pasar Hamadi, H Fatarudin. Dia membeli tuna Demta untuk ekspor harga Rp25.000 perkilogram.

 

Oktovianus Rumere, Ketua kelompok nelayan Teluk Kamsai. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Untuk tuna berukuran kecil ke pemborong lain yang datang ke Demta, dengan harga tidak jauh berbeda. Ada juga nelayan yang menjual sendiri ke Genyem, Abepura atau Hamadi.

Nelayan Teluk Kamsai biasa pakai perahu kayu. Di teluk ini, berlabuh perahu-perahu kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran. Perahu-perahu itu sudah diwarnai sesuai keinginan pemilik.

Tidak jauh dari rumah Oktovianus, Anden Kayoi, pembuat perahu sedang sibuk membuat perahu. Ada pesanan dari seorang nelayan. Bagian dasar perahu tampak sudah selesai dibentuk. Ada banyak perahu sudah dia buat. Satu perahu minimal bisa rampung dalam dua minggu, tergantung kesediaan keperluan kayu.

Jenis pohon yang dipakai untuk membuat perahu adalah goro. Menebang pohon dan kebutuhan kayu untuk satu perahu perlu sekitar Rp7 juta. Biaya pembuatan sekitar Rp7 juta. Jadi, harga satu perahu sekitar Rp16-Rp17 juta.

Bagi Oktovianus, lebih mudah pakai perahu kayu daripada berbahan viber. Hanya perlu satu mesin untuk menggerakkan perahu kayu, kalau perahu viber perlu dua mesin.

“Kita urus tidak terlalu rumit. Kalau viber pakai dua mesin baru laju cepat. Mala perahu biasa lebih cepat. Pakai viber rasa berat.”

Hanya ada tiga perahu viber digunakan nelayan Teluk Kamsai, bantuan Pemerintah Kabupaten Jayapura. Nelayan juga pernah menerima bantuan enam mesin dan satu kapal.

 

Perajin sedang membuat perahu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Kesulitan es dan bahan bakar

Es dan bahan bakar adalah dua kebutuhan utama nelayan saat melaut. Saat kami berkunjung, listrik di Demta sedang mati. Oktovianus bercerita, ketidakstabilan listrik menyulitkan nelayan karena ketersediaan es berkurang. Padahal, katanya, sekali pergi, satu kapal perlu es sampai 50 batang. Sebatang es biasa mereka beli Rp2.000 saat listrik menyala. Harga naik jadi Rp3.000 saat listrik mati.

Sejak Januari 2020, warga Demta mendapat pasokan listrik dari PLTA Orya. Listrik bisa menyala 24 jam meski masih sering mati.

“Ikan kecil tidak terlalu rumit. Ikan besar, tuna itu. Tuna itu yang bahaya. Kalau tidak diawetkan mutu tidak baik.”

Mutu ikan yang menurun karena kekurangan es menyebabkan harga jual menurun. Tuna biasa Rp25.000 perkilogram bisa turun jadi Rp 22.000. Situasi ini, katanya, makin parah dengan pandemi COVID-19. Nelayan mendapat informasi ekspor ikan berhenti. Harga tuna turun lagi jadi Rp19.000 perkilogram.

“Saat-saat begini tengkulak-tengkulak mainkan harga. Jadi ikan yang tadi harga Rp500.000 bisa turun jadi Rp150.000, kadang-kadang Rp200.000. Jadi, teman-teman di sini kecewa. Penyakit ini menyebabkan harga jatuh.”

Tantangan lain, adalah ketersediaan bahan bakar. Di distrik ini tidak ada SPBU. Nelayan bergantung pada penjual eceran dengan jumlah sangat terbatas. Harga bensin campur Rp11.000 perliter. Sekali jalan, nelayan perlu sekitar 50 liter karena satu perahu bisa sampai 9-12 mil jauh tanpa berhenti.

“Kalau setok habis ya sudah nelayan banyak yang nganggur.”

 

Ikan jualan pedagang di Pasar Demta. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Jalan buruk

Akses dari Demta menuju Jayapura, bisa melalui jalan darat dan laut. Jalan darat lebih murah tetapi sebagian besar dalam kondisi rusak terutama ruas Warombaim, Distrik Nimboran hingga Demta.

Demta, merupakan distrik tua di Papua. Pada zaman pra kolonial, di sinilah pelabuhan keluar masuk para pencari cenderawasih ke Nimboran. Demta sudah menjadi distrik tersendiri pada masa Pemerintah Belanda.

Sebelum ada jalan darat dari Jayapura ke Nimboran, barang-barang keluar masuk melalui Demta. Pada masa Belanda, jalur jalan Demta ke pusat Distrik Nimboran di Genyem dibuka, demikian pula jalur Sentani Genyem hingga terbukalah jalan darat dari Jayapura ke Demta.

Masa orde baru, perusahaan kayu asal Korea PT. You Liem Sari, mendapat izin pengelolaan kayu di Nimboran. Perusahaan ini jadikan Demta pelabuhan untuk mengirim kayu-kayu mereka.

Menurut cerita masyarakat, perusahaan inilah yang menimbun sebagian teluk hingga membentuk dataran agak luas seperti sekarang. You Liem Sari berhenti beroperasi. Bekas-bekas bangunan masih tersisa di kota kecil Demta.

Kini Sinar Mas, yang masih gunakan tempat ini. Satu pelabuhan khusus dibangun untuk mengirimkan keluar minyak-minyak sawit dari perkebunan mereka di Jayapura.

Sayangnya, meski memiliki sejarah panjang, jalur ini minim perhatian. Ruas jalan terutama dari Warombaim menuju Demta, rusak. Di beberapa titik jalan menanjak dan melewati lereng curam hingga rawan kecelakaan. Waktu berkunjung, kami jarang menemui kendaraan di perjalanan, kecuali tangki-tangki pengangkut minyak sawit Sinar Mas dengan jenis ban yang besar dan tinggi.

“Jalan ini juga sekarang kelihatan bagus karena panas. Nanti kalau hujan, sudah hancur lagi. Nelayan-nelayan juga terhambat di situ mulai dari pengadaan bahan bakar.”


Oktovianus bilang, kondisi jalan dan ketersediaan kendaraan juga menjadi kendala bagi nelayan menjual sendiri ikan ke kota. Sewa mobil dari Demta ke Sentani sampai Rp1.000.000, kalau Rp1.500.000 sampai Kota Jayapura. Saat musim hujan datang, kendaraan sulit lewat.

Marta Wouw, perempuan nelayan yang sehari-hari menjual ikan di Pasar Demta. Dia juga mengeluhkan kondisi jalan rusak hingga jarang ada sopir yang mau ke Demta.

Saat ini, angkutan umum berupa bis hanya melayani penumpang dua kali sehari, pada pagi sekitar pukul 07.00 dan siang pukul 14.00. Kalau penumpang penuh, yang lain harus menunda perjalanan.

Ikan segar yang tak laku dijual biasa dibawa pulang untuk bikin asar atau untuk keluarga. Kondisi ini, membuat nelayan merugi karena mereka sudah mengeluarkan biaya besar untuk membeli bahan bakar. Akhirnya. nelayan harus berhenti melaut sampai mendapat cukup uang lagi untuk beli bahan bakar.

“Mama pu permintaah itu saja. Mungkin kalau jalan bagus, mobil-mobil bisa masuk. Jalan demta ini rusak jadi sopir-sopir takut datang ke Demta sini.”

 

Minta perbaikan Jalan Warombaim-Demta

Warga sudah lama minta perbaikan Jalan Warombaim Demta. Bahkan, pernah ada petisi di change.org meminta Pemerintah Papua aspal Jalan Warombaim-Demta.

Yoas Ebe, Sekretaris Distrik Demta mengatakan, status jalan kabupaten atau provinsi menjadi persoalan utama.

 

Teluk Kamsai. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

“Khusus Kalan Nimbokrang-Demta masih tarik menarik tentang status jalan ini. Katanya bukan jalan kabupaten jadi tidak mungkin kabupaten yang keluarkan biaya. Ada juga yang bilang jalan provinsi. Jadi status jalan ngambang.”

Warga Demta pun aksi ke kantor gubernur terkait kondisi jalan ini namun tak ada tindak lanjut. Begitu juga pendekatan dengan Sinar Mas.

“Jawaban dari perusahaan, saya kan bayar pajak mahal, kenapa saya harus lihat jalan lagi? Itu kan tugas pemerintah. Pajak sudah dikasih ke pemerintah untuk itu pemerintah yang memperhatikan jalan,” kata Yoas menirukan jawaban perusahaan.

Upaya terakhir, pemerintah distrik bersama tokoh adat sedang mengajukan permohonan perbaikan langsung ke Kantor Kepresidenan di Jakarta. Dia bilang, ini langkah baru setelah upaya ke pemerintah daerah tidak kunjung mendapat jawaban.

“Harapan saya sudah lama skali karena saya dinas di Demta mulai 1995. Ini sudah cukup lama, kita punya masalah paling besar itu cuma jalan. Harapan kita semua pihak yang terkait pembuatan jalan bisa mendengar.”

 

Perahu nelayan di Teluk Kamsai. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version