Mongabay.co.id

Bersih Laut, Cara Kaka Slank, Ridho dan EcoNusa Menata Ekosistem di Maluku

 

Ekspedisi Maluku EcoNusa, yang berlangsung sejak 8-18 November 2020, pada beberapa desa di Provinsi Maluku, tidak saja berkisah pada penyaluran bantuan paket kesehatan COVID-19, dan pertanian. Lebih dari itu, soal sampah laut (marine debrise), bersih bawah laut dan bersih pantai.

Menggunakan Kapal Kurabesi Explorer, tim mengarungi pulau-pulau terpencil dan masyarakat pesisir. Sepanjang perjalanan, ditemukan banyak sekali sampah laut berserakan di Laut Maluku.

Melihat kondisi itu, EcoNusa yang konsen memberi dukungan bagi pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, di wilayah Maluku dan Papua, mengajak sejumlah LSM, Kelompok Pemuda, Pecinta Lingkungan serta dua personil dari grup musik Slank, Akhadi Wira Satriaji (Kaka) dan Mohammad Ridwan Hafiedz alias Ridho, menjaring sampah yang berserakan di laut.

Kaka dan Ridho bersama sejumlah elemen masyarakat juga melakukan bersih bawah laut dan pantai, di beberapa desa yang disinggahi, seperti di Desa Ameth, Kecamatan Nusa Laut, dan Pulau Rhun dan Pulau Ay, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah.

Menurut Kaka, sejauh ini sektor bahari Indonesia masih baik dan terjaga. Sejak 2010 hingga sekarang pun, ia masih menyelam di Indonesia, dan belum habis mengeksplorasi seluruh Indonesia.

“Indonesia menurut gue, wisata baharinya terbaik banget. Pokoknya the best deh. Gue ngga pernah mau diving di luar negeri, seperti Malaysia. Meskipun Negeri Jiran itu dekat dan bagus, tapi gua ngga mau. Kalau ditanya mana bagian Indonesia yang bagus, maka jawabannya bagus-bagus semua,” kata Kaka.

baca : Ini Cara Indonesia Bersihkan Sampah Plastik di Laut

 

Kaka dan Ridho Slank dalam Ekspedisi Maluku EcoNusa di Pulau Run, Provinsi Maluku dengan berbagai kegiatan seperti bersih sampah laut. Foto : Instagram Kaka Slank

 

Ia mengatakan, kalau bicara mengenai fenomena sampah, terutama sampah plastik, tidak bisa dihindari, karena semua produk dibungkus plastik. Lihat saja di warung-warung, hampir sebagian besar kemasannya menggunakan saset, seperti sirup, mie instan dan lain-lain.

Yang perlu dilakukan saat ini, sambung Kaka, adalah pengetahuan tentang memilah sampah. Di Desa Pulau Rhun misalnya, saat bersih sampah di pesisir pantai, kantong-kantong atau karung yang digunakan buat angkut sampah di pantai, sudah disertai tulisan.

“Kemarin gue bawa plastik saset. Gue kumpul dan memilahnya. Nah, saat di tempat pembuangan sampah, mereka langsung memilah. Ada yang langsung dibakar, ada yang disimpan untuk daur ulang. Makanya, jadi minim sekali yang terbuang,” ujar Kaka.

Saat bersih pantai juga, ada fenomena yang didapatkan di Ekspedisi Maluku Econusa. Dimana, pada beberapa desa ada talud penahan ombak yang akan cenderung digunakan masyarakat membuang sampah karena tidak terlihat orang.

Di beberapa desa juga, kata Kaka, ada motor pengangkut sampah, peralatannya, dan TPA, tetapi pemakaiannya belum efektif karena memang belum ada pengelolanya. “Tapi sebetulnya, kalau saya lihat dari jumlah sampah laut yang di produksi, sangat sedikit. Makanya, belum tentu itu milik warga di desa-desa setempat. Karena bisa jadi, sampah-sampah itu terbawa arus dari sungai,” katanya.

Pasalnya, setelah keliling dari satu pulau ke pulau lain, paling tinggi sebuah desa hanya memiliki satu atau dua warung. Bersih sampah laut dan pantai, kata Kaka, sebenarnya bisa dilakukan secara santai, sambil cerita atau ngerumpi. “Dan menurut gue, harus dibuat tempat-tempat sampah di pesisir pantai,” ajak Kaka.

Menurutnya, di Maluku sejauh ini sampah plastiknya masih dalam kategori standar. Beda dengan di Plores bagian utara, yang dari jarak satu kilometer, sudah ditemukan sekitar 10 pampers.

Makanya, sambung Kaka, budaya bersih laut dan pantai harus disosialisasi. Kemudian kesadaran sampah itu harus di mulai dari anak usia dini. “Kalau ke bapak-bapak sama ibu-ibu, rasanya percuma. Karena anaklah yang akan menentukan masa depannya. Minimal dari 100 anak yang kita ajak, ada 10 yang idealis,” ujarnya.

baca juga : Kaka Slank Gak Bisa Jauh dari Laut

 

Kaka Slank memungut dan mengumpulkan sampah di sepanjang pantai di Kampung Ameth, Nusa Laut, Maluku. Foto : EcoNusa/Victor Fidelis

 

Hanya Seremonial

Sementara Ridho mengaku, sampah masih menjadi momok yang mengesalkan. Banyak orang buat kegiatan seremonial tentang bersih-bersih sampah. Namun hari ini bersih, besoknya kotor lagi.

Sisi lain, ada tipikal masyarakat yang sampahnya berserakah di laut, pantai dan darat. Seperti di Pulau Rhun. “Sampahnya ada di laut, pantai, juga di darat. Itu sih, karena kebiasaan masyarakat. Misalnya habis masak mie instan lalu bungkusannya dibuang,” kata Ridho.

Ia mengaku, dari beberapa lokasi laut dan pantai yang dibersihkan, kebanyakan ditemukan adalah pampers. Padahal bersih pantai itu jauh lebih ringan, dibandingkan sungai.

“Di Sungai kalau keselip dalam batu, paling susah ambilnya. Harus ada kesadaran masyarakat. Jadi aktivitas bersih laut dan pantai bukan hanya sekali, tapi harus berkelanjutan, agar kesadaran masyarakat makin tumbuh,” ajak Ridho.

Ia juga menyinggung soal aktivitas penanaman terumbu karang di Pulau Haruku, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Di sana, ungkap Ridho, ada bekas pemboman. Masyarakat boleh mengeksploitasi laut, katanya, tapi harus dilakukan secara bijak dan wajar. Jangan pakai bom atau racun.

“Tadi di Pulau Hatta, kita lakukan diving pada kedalaman 25 meter, tiba-tiba kaget ada bom. Gue baru sekali dengar bom, benar-benar bikin kaget bangat. Bunyinya agak jauh, bagaimana kalau dekat?” ujar Ridho.

Ridho mengaku, lantaran panggilan dari kampung halaman, ia memutuskan untuk mengikuti berbagai rangkaian kegiatan Ekspedesi Maluku EcoNusa.

menarik dibaca : Kertas Unik Berbahan Sampah dan Sagu dari Maluku

 

Ridho dan Kaka Slank (depan jongkok) bersama EcoNusa, Kelompok Pecinta Lingkungan dari Baileo Maluku, Mahasiswa KKN Universita Kristen Maluku (UKIM), Ankatan Muda Gereja Protestan Maluku, dan Masyarakat Desa Ameth,Kecamatan Nusa Laut, Kabupaten Maluku Tengah, saat menggelar beach clean up. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

 

Angkut Sampah Pakai Jaring

CEO EcoNusa, Bustar Maitar mengatakan, selama ini masyarakat atau komunitas di Kepulauan Banda menggunakan jaring sero (banjang) untuk mengumpul sampah plastik, dan hasilnya efektif.

“Tapi EcoNusa bersama komunitas di Banda juga mencoba untuk memperkenalkan jaring dengan bentangan yang lebih luas, sehingga bisa menjaring sampah laut lebih banyak,” katanya.

Meski hasilnya bagus, tetapi perlu evaluasi untuk meningkatkan efektivitas dari penggunaan jaring tersebut. “Kita sudah uji coba dan lumayan bagus hasilnya,” kata Bustar.

Dia mengatakan, setiap pagi pasang surut di laguna Banda dan ditemukan banyak sekali sampah plastik, mulai dari botol, bungkusan, saset dan lainnya yang mengapung di sana. Padahal laguna itu tidak terlalu besar, namun sampahnya lumayan banyak.

Karena itu, perlu kerjasama yang baik dari masyarakat, komunitas dan lainnya, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak membuang sampah di laut. Selain itu, harus sama-sama menyelesaikan sampah yang sudah terlanjur di buang ke laut.

Banyak sekali sampah-sampah bermerek yang didapatkan di laut. Ia berharap, pemilik perusahaan yang memproduksi barangnya menggunakan kemasan plastisk, baik botol dan saset, bisa membantu komunitas dan masyarakat di Banda, dalam menyelesaikan masalah sampah plastik.

perlu dibaca : Menteri Susi dan Kaka Slank Ajak Jakarta Larang Kantong Plastik Sekali Pakai

 

Sampah plastik banyak ditemukan di sekitar area transplantasi terumbu karang di kedalaman 7 meter di perairan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Foto : EcoNusa/David Herman Jaya

 

Transplantasi Terumbu Karang

Koordinator Tunas Bahari Maluku (TBM), Zainudin Mokan, mengatakan, dari hasil observasi yang dilakukan pada beberapa titik di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, ditemukan hampir sebagian besar terumbu karang mengalami kerusakan. Kondisi itu dampak dari aktivitas masyarakat, seperti menangkap ikan dengan bom.

Menurutnya, transplantasi terumbu karang adalah alternatif untuk menjaga ekosistem laut, termasuk melestarikan kembali terumbu karang yang mulai rusak dan punah.

Dia menyebut, karang yang ditransplantasikan oleh tim EcoNusa dan TBM merupakan jenis Acropora. “Karang jenis ini dapat berkembang dengan baik dalam satu tahun,” katanya.

Memang, durasi pertumbuhannya berlangsung lama dan relatif lambat, sekitar satu cm dalam satu bulan. Ihwal itu, TBM akan melakukan monitoring setiap 3 bulan sekali. Media yang digunakan untuk transplantasi terumbu karang adalah besi dengan berbagai varian seperti segitiga, rumah, kursi, dan meja.

Dia ungkap, saat transplantasi terumbu karang bersama beberapa komunitas dan Tim EcoNusa di Pulau Haruku, ditemukan banyak sekali sampah plastik, yang memang sangat mempengaruhi ekosistem laut dan juga substrat perairan.

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama untuk melindungi laut di Maluku dan Papua. “Harapan kami, aksi ini berkelanjutan dan tidak saja di perkotaan, tapi juga di daerah-daerah terpencil,” pintanya.

Kegiatan transplantasi karang dan bersih sampah di perairan sekitar Haruku ini diikuti oleh 14 orang, termasuk Ridho dari grup musik Slank.

perlu dibaca : Survei CTC : Terumbu Karang Pulau Banda Sehat, Ada 23 Jenis Ikan Bernilai Tinggi

 

Transplantasi terumbu karang di Desa Haruku, Kecamatan Pulau Haruku,Kabupaten Maluku Tengah. Transplantasi terumbuh karang ini merupakan kerjasama Yayasan EcoNusa, Tunas Bahari Maluku dan beberapa komunitas di Provinsi Maluku, Selasa (10/11/2020). Foto : EcoNusa

 

Menanam Mangrove

Teria Salhuteru, Koordinator Komunitas Moluccas Coastal Care (MCC), komunitas yang turut bergabung dalam kegiatan penanaman mangrove di Pulau Haruku, mengaku pihaknya telah turut aktif menjaga lingkungan di pesisir Maluku dengan menanam mangrove sejak 2017. Kawasan Teluk Ambon merupakan titik awal komunitasnya bergerak melakukan upaya konservasi.

“Di Teluk Ambon kita sudah menanam 2.200 mangrove. Kali ini bersama EcoNusa, kita juga akan melakukan tanam mangrove. Sebanyak 520 anakan mangrove jenis rhizophora kita tanam di pesisir Kampung Haruku,” katanya.

Tahun 2019 lalu, gempa bumi menggoncang Maluku dan terjadi kurang lebih 2.000 kali gempa susulan. Banyak daerah dan perkampungan, tak terkecuali wilayah pesisir di Maluku yang terkena dampaknya. Inilah yang mendasari inisiatif komunitas ini melakukan penanaman mangrove.

Dia mengatakan luasan mangrove di Haruku berkurang, padahal mangrove punya fungsi sangat penting dalam melindungi wilayah pesisir dari gelombang tsunami dan abrasi. Sehingga dengan penanaman kembali itu, anakan mangrove baru, bisa menjadi garda utama ekosistem yang mampu melindungi wilayah pesisir.

Penanaman anakan mangrove melewati masa kritis dua pekan dan pihaknya bakal melakukan monitoring setiap 6 bulan. “Kalau mangrove yang ditanam tetap hidup, itu artinya sudah melewati masa kritis dan dapat berkembang biak dengan baik,” katanya.

Untuk melindungi mangrove yang baru ditanam dari lajunya gelombang dan sampah, sambung Teria, pihaknya menyiasati dengan memasang jaring dan kayu nani sebagai penghalang.

“Bulan depan rencananya kita akan tanam lagi 500 anakan di sini di Haruku,” pungkasnya.

 

Exit mobile version