Mongabay.co.id

Sungai Deli, Bagaimana Nasibmu Kini?

 

 

 

 

Anak-anak kecil bermain dan berenang di Sungai Deli, siang itu. Mereka tertawa riang. Air sungai kecoklatan dan keruh. Beragam sampah mengapung di permukaan. Anak-anak ini tetap asik. Mereka tak tahu air sungai tempat mereka bermain itu bersih atau tidak.

Agung Rizki, dari Komunitas Peduli Anak dan Sungai Deli (Kopasude), yang konsern dengan upaya dan kampanye penyadaran agar para pihak ikut menjaga Sungai Deli. Sejak dulu, katanya, Sungai Deli memang tempat bermain anak-anak.

Bersama dengan teman-temannya, Agung bangun rumah baca dan memberi edukasi intensif untuk ruang kreativitas anak-anak pinggiran Sungai Deli.

“Anak-anak diberi edukasi. Misal, untuk membuang sampah pada tempatnya, bukan ke sungai, ” kata Agung.

Dengan mengajarkan cinta sungai sejak usia dini, guna membekali mereka jadi generasi yang peka lingkungan hidup. Sungai Deli, tak sekadar tempat bermain anak. Sungai ini juga tempat warga penuhi keperluan sehari-hari seperti mencuci maupun mandi.

Penelitian pada 2002 memperlihatkan, kandungan kromium (Cr) di Sungai Deli melebihi baku mutu. Menurut Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR), konsumsi air yang mengandung Cr dengan konsentrasi tinggi bisa mengakibatkan anemia, masalah lambung dan usus kecil, gangguan sistem reproduksi dan kanker.

 

Bersih-bersih Sungai Deli sekaligus pasang karung pasir untuk bantu tahan luapan sungai kala musim hujan. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Saat musim penghujan tiba, debit air Deli meningkat. Kumpulan sampah dari hulu mengikuti aliran air sungai bahkan masuk ke saluran pembuangan rumah warga. Kalau hujan berkepanjangan, air bisa memenuhi rumah warga di bibir sungai.

Musim hujan, katanya, sampah-sampah kadang membentuk seperti gunung di pinggiran sungai. Belum lagi, warga sekitar buang sampah sembarangan ke sungai.

Anak-anak muda sekitar dan relawan, katanya, berinisiatif membuat tong sampah bekerjasama dengan Balai Wilayah Sungai. Mereka juga ada kegiatan membersihkan sampah di sungai. Kampanye jaga sungai terus Agung dan komunitas suarakan.

Dari laman resmi BPBD Sumatera Utara, pada Maret 2020, Pemerintah Sumatera Utara bersama para pihak menyusuri Sungai Deli sepanjang 30,6 km. Bersama dengan relawan mengangkat 25 ton sampah di sisi kiri kanan bibir sungai. Banyak sekali sampah plastik.

“Kegiatan itu rutin agar mendapat dukungan masyarakat untuk menjaga kebersihan sungai,” kata Riadi Akhir Lubis, Kepala BPBD Sumut.

Data Badan Wilayah Sungai Sumut menyatakan, keadaan sungai dalam waktu 10 tahun terakhir makin parah. Aktivitas ekonomi dan industri di sekitar jalur sungai jadi sumber pencemaran air Sungai Deli. Warga dan pabrik membuang limbah ke sungai.

Kelurahan Kampung Aur, salah satu daerah pemukiman di bibir sungai ini. Warga memanfaatkan sungai untuk keperluan rumah tangga seperti mencuci baju, piring, mandi bahkan kakus.

Pada 2018, Seksi Wilayah I Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel PT Expravet Nasuba. Perusahaan penghasil olahan peternakan dan perikanan ini melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup karena membuang limbah cair ke aliran Sungai Deli.

Berdasarkan Surat Keputusan Walikota Medan No: 660/2013 pemerintah memberikan sanksi administrastif secara paksa kepada perusahaan ini.

Badan Lingkungan Hidup Sumut melaporkan pada 2019 terdapat sekitar 54 industri dan 27 saluran limbah domestik di sepanjang aliran Sungai Deli. Limbah didominasi cat, elektroplanting, industri lapas baja, dan limbah industri makanan.

 

Penyegelan PT. EN dilakukan penyidik Gakkum Wilayah Sumatera di lokasi pengolahan limbah cair. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

***

Sungai Deli dari nama kejayaan Kesultanan Deli . Aliran sungai melewati Kabupaten Deli Serdang hingga Kota Medan sepanjang 73 kilometer. Pemerintah Kolonial Belanda memanfaatkan Sungai Deli sebagai jalur transportasi perdagangan atau distribusi hasil perkebunan dari daerah Sumatera Timur ke Kota Medan.

Buku “Jejak Medan Tempo Doeloe” karya Farizal Nasution menceritakan, pada masa kejayaan Sumatera Timur—sekarang Sumatera Utara– memiliki kekayaan alam berlimpah. Pemerintah mendistribusikan hasil perkebunan melalui Sungai Deli menuju Pelabuhan Belawan. Pelabuhan Belawan sebagai tempat persinggahan atau hilir mudik barang dari dalam dan luar negeri.

 

Ada buaya muara

Selain soal sampah dan banjir, ada ancaman konflik dengan satwa dan manusia di Sungai Deli.

Pada 5 September 2020, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut bersama dengan para pihak menemukan buaya muara di Sungai Deli.

Satwa predator dengan nama latin Crococylus porosus berjenis kelamin jantan sepanjang 162 cm ini dijerat dengan pancingan bebek.

Sejak ada temuan reptil ini, BKSDA menganjurkan kepada warga pinggiran Sungai Deli, Dusun IV, Desa Kedai Durian tidak mandi di sungai.

Fenomena penampakan buaya liar di sungai ini sudah berulang kali. Pada 2018, melalui rekaman video amatir terekam tiga buaya berukuran 1,5–2 meter di bantaran Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun.

Budi, Laskar Bocah Sungai Deli (Labosude) Kampung Aur, Kecamatan Medan Maimun bekerjasama dengan penduduk menemukan buaya dewasa.

“Ini sangat berbahaya, mengingat anak-anak sering mandi di sini,” kata Budi.

 

Keterangan foto utama: Warga di pinggiran Sungai Deli, masih bergantung dari sungai ini untuk kepeluan sehari-hari, antara lain, buat mencuci. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

Aktivitas sehari-hari warga di Sungai Deli. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version