Mongabay.co.id

Warga Desa Montorna Berburu Air

 

 

 

 

Maati, sudah usia lanjut. Perempuan ini hidup seorang diri di Desa Montorna, Kecamatan Pasongsongan, Madura, Jawa Timur. Meski sudah kepala tujuh, segala pekerjaan dia lakukan sendiri.

Beban makin berat bagi Maati kala kemarau panjang tiba. Desa ini sering kekurangan pasokan air kala kemarau. Saat kemarau, dia dan warga desa harus berjuang untuk mendapatkan air sekadar buat keperluan sehari-hari, seperti minum, mandi, cuci baju, dan lain-lain.

Terkadang, dia ikut rombongan dengan mobil pick up mencuci baju di sungai desa sebelah. Kadang pula, dia membeli air pakai tangki untuk memenuhi keperluan air dengan Rp250.000 per tangki.

“Je’ ade’ jelurreh aengah, cong, tade’ jelur somberreh. Parcomah make ngebbureh (wong tidak ada jalur air, nak, tidak ada jalur sumber mata air. Percuma meskipun mau bor),” katanya Oktober lalu.

Muhammad Hasan, pria separuh baya yang sehari-harinya bertani dan mengajar anak-anak mengaji mengamini ucapan Maati.

Di sini tidak ada [sumber air], jadi air tidak ada, tidak ada titiknya. Hanya di [dusun] Tanggulun di tenggara yang ada),” katanya.

Masyarakat dusun ini mengambil air ke Dusun Tanggulun Timur, sekitar dua kilometer dari rumahnya. Di sana, mereka diminta ganti biaya listrik untuk pompa air. Dia biasa mengambil lima jeriken berkapasitas 30 liter setiap hari.

Orang-orang berada, membeli air pakai tangki untuk mengisi bak mandi dan sumur mereka. Untuk mencuci baju, warga kadang berombongan ke sumber air lain, seperi di Bung Somber, Desa Lebbeng Barat, Pasongsongan atau Torona, Desa Beragung, Guluk-Guluk), dan Sumber Payung di Kecamatan Ganding.

“Sekarang, di Torono sudah tidak ada karena ini banyak yang dibor),” kata Hasan dalam bahasa Madura.

 

Bantuan droppimh air di Desa Montorna. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Kekeringan seperti itu, katanya, biasa terjadi sejak Oktober sampai hujan tiba.

Sedangkan untuk keperluan pertanian di musim kemarau, seperti tembakau—masyarakat biasa bertani tembakau di musim kemarau—mengandalkan hujan atau sisa air hujan di musim hujan sebelumnya.

Tahun lalu, Hasan sampai membeli tiga tangki air untuk menyiram tembakau. Sumber air sudah mengering di sana.

Selama ini, katanya, tidak ada bantuan air dari pemerintah buat dusun mereka. Baru pada pertengahan Oktober, ada distribusi air dari Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF).

Ludianto, relawan YDSF Sumenep-Pamekasan, bilang, yayasan mereka sejak 2019 distribusi air di desa-desa terdampak kekeringan di Sumenep. Tahun ini, katanya, hanya fokus di Desa Montorna.

“Sudah diusahakan pengeboran, tapi tidak ada sumber air, jadi hanya dropping air. Kalau ada sumber air diusahakan ada pengeboran,” kata relawan yayasan yang berpusat di Surabaya itu.

Ludianto mengambil air di sumber air Bung Somber, Dusun Geluguran, Desa Lebbeng Barat, Pasongsongan. Dia membayar jasa angkutan air Rp300.000 (kapasitas 5.000 liter).

Dia berkoordinasi dengan sang penerima jasa pengangkut air, Abdul Kadir, untuk tahu warga yang benar-benar memerlukan air di Desa Montorna. Air terbagi langsung kepada warga.

 

Kekeringan di Sumenep, warga alami krisis air. Foto: Kominfo Jatim

 

Kadir sejak 2002, jadi penyedia jasa pengangkutan air hingga banyak tahu tempat-tempat warga yang perlu air.

“Bantuan dari BPBD, saya lihat, itu jatuhnya ke per orang. Cuma ke tokoh-tokoh masyarakat, sedangkan di bawahnya tokoh masyarakat kebagian banyak yang gak dapat,” kata Kadir membandingkan bantuan dropping air BPBD dengan YDSF.

Desa Montona, satu dari belasan desa di Sumenep yang alami kekeringan. Data dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Sumenep mengatakan, sampai awal Novemver, kekeringan di kabupaten ii berdampak terhadap 3.747 keluarga.

Wakil Bupati (Wabup) Sumenep, Achmad Fauzi, dalam laman itu mengatakan, setiap kemarau panjang ada sejumlah daerah di Sumenep kena bencana kekeringan. Warga pun kesulitan air bersih untuk keperluan sehari-hari.

Ada 12 desa di lima kecamatan, alami kekeringan, yakni, Desa Buddi, Geleman, Desa Kolo-Kolo (Kecamatan Arjasa), Desa Batuputih, dan Desa Cangkraman (Kecamatan Kangayan), dan Desa Prambanan (Kecamatan Gayam). Lalu, Desa Rosong dan Talaga (Kecamatan Nonggunong) serta Desa Jate, Lombang, Banbaru dan Desa Banmaleng (Kecamatan Giligenting).

Abd Rahman Riadi, Kepala BPBD Sumenep, menerangkan, penyaluran air sesuai sandar prosedur operasi. Pertama, penetapan status kekeringan daerah berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati. Kedua, ada surat permohonan dari desa yang diketahui oleh kecamatan bahwa desa itu mengalami kekeringan hingga turun survei. Ketiga, kerja sama dengan kepala desa karena mereka yang tahu daerah mana saja yang kering.

“Terus terang, saya tidak mau masuk terlalu dalam ya, ngaturngatur ini. Saya nanti anu sendiri, kepala desa protes kepada kita, kan repot juga. ‘Kalau tidak melalui kepala desa, pak, saya tidak mau bertanggung jawab,” kata Rahman.

Menurut dia, pendistribusian air ini tidak boleh ada unsur politik karena kebutuhan air semua sama. Semua masyarakat, katanya, perlu air.

Jatah air di Montorna, kata Rahman, 20 rit per bulan. Secara keseluruhan, jatah air disesuaikan dengan status kekeringan dan jumlah warga.

Desa-desa yang mengajukan bantuan dropping air tersebar di tujuh kecamatan, antara lain, Pasongsongan, Batu Putih, Talango, Saronggi, Bluto, Ambunten, Ganding.

Rahman bilang, mereka bekerjasama dengan Kepala Polisi Resor (Kapolres) Sumenep untuk mengawal pendistribusian air, terutama di daerah daratan rendah.

“Ada sembilan sebenarnya, sembilan kecamatan, yang sudah masuk baru tujuh. Ya tujuh itu yang kami dropping, berarti dua kecamatan masih belum terlalu kering.”

Dia bilang, pembagian air sudah setop sejak akhir Oktober. Namun karena ada masyarakat yang masih minta bantuan air, mereka mengirim lagi meskipun sudah November, seperti di Desa Gaddu Timur, Kecamatan Ganding.

“Batu Putih masih ngirim tapi tinggal sedikit,” katanya saat dihubungi lagi, 17 November.

 

 

 

Sumber mata air di Lebbeng Barat. Mata air ini di banyak digunakan oleh masyarakat setempat dan desa-desa lain yang kekeringan. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia
Pendistribusian Air di Dusun Komis, Desa Montorna. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia
Exit mobile version