Mongabay.co.id

Standard Emisi Kendaraan di Indonesia, Sejauh Apa Penerapannya?

Sebagai salah satu negara yang meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement 2015), Indonesia memiliki komitmen penurunan emisi gas rumah kaca, seperti tersebut dalam The First Nationally Determined Contribution (NDC) yang disampaikan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) bulan November 2016.

NDC dipergunakan sebagai salah satu acuan pelaksanaan komitmen mitigasi perubahan iklim dengan rencana penurunan emisi hingga tahun 2030, yaitu pengurangan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional,

Dalam dokumen NDC transisi Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim, yang dijabarkan dalam proporsi emisi masing-masing sektor, yang meliputi: kehutanan (17,2 persen), energi (11 persen), pertanian (0,32 persen), industri (0,10 persen), dan limbah (0,38 persen).

 

Aturan Emisi Kendaraan

Sebagaimana diketahui, emisi kendaran bermotor mengandung gas karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), volatile hydro carbon (VHC), dan partikel lain yang berdampak negatif pada manusia ataupun lingkungan bila melebihi ambang konsentrasi tertentu.

Dalam upaya mengontrol ambang konsentrasi emisi dari transportasi tersebut, maka diperlukan penggunaan suatu teknologi transportasi yang lebih ramah lingkungan. Uni Eropa merupakan salah satu pelopor standard emisi atau gas buang kendaraan dan sudah diadopsi oleh banyak negara di dunia.

Diawali pada tahun 1990, Uni Eropa mengeluarkan peraturan yang mewajibkan penggunaan katalis untuk mobil bensin, yang sering disebut standard Euro 1.

Ini bertujuan untuk memperkecil kadar bahan pencemar yang dihasilkan kendaraan bermotor. Lalu secara bertahap Uni Eropa memperketat peraturan menjadi standard Euro 2, Euro 3, Euro 4, Euro 5, hingga Euro 6. Secara bertahap Indonesia mengadopsi standard emisi Euro tersebut.

Baca juga: Tekan Emisi Lewat Kendaraan Listrik, Berikut Masukan IESR

 

Kendaraan berbahan bakar fosil memerlukan pengaturan emisi gas buagnya, sektor trasnportasi turut menyumbang polusi dan emisi. Ilustrasi kemacetan yang terjadi di Jakarta. Foto: VasenkaPhotography/Flickr.

 

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 141 Tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru, Indonesia telah mulai mengadopsi standard gas buang Euro 2, meski saat itu masih banyak kendaraan pribadi atau umum yang masih menggunakan standard emisi Euro 1.

Kemudian pada 1 Agustus 2013 Pemerintah Indonesia mulai menerapkan Euro 3 pada kendaraan bermotor roda dua.

Pada tahun 2017, Menteri LHK menerbitkan regulasi baru tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, Dan Kategori O, yang mengacu pada standard gas buang Euro 4, -seperti tertuang dalam Permen LHK Nomor 20 Tahun 2017.

Dalam aturan berikutnya yang relevan, -yaitu Peraturan Pemerintah No 73 Tahun 2019, turut diatur tentang peralihan penerapan pajak barang mewah kendaraan bermotor (Ppn BM).

Jika pada awalnya berdasarkan bentuk kendaraan serta besaran mesin, menjadi berdasarkan tingkat emisi gas buang serta efisiensi penggunaan bahan bakarnya.

Terkait standardd emisi Euro 4 maka pengurangan yang cukup signifikan adalah untuk partikulat (PM) dan nitrogen oksida (NOx) dalam mesin diesel.

Mobil bermesin diesel pada standardd emisi ini memperoleh filter partikel diesel (DPF) yang dapat menangkap 99 persen partikulat. Batas emisi bensin CO: 1,00 g/km; HC: 0,10 g/km; dan NOx: 0,08 g/km. Batas emisi diesel CO: 0,50 g/km; HC+NOx: 0,30 g/km; dan NOx: 0,25 g/km PM: 0,025 g/km.

Baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor Euro 4 Indonesia mulai diterapkan 8 Oktober 2018 untuk mobil berbahan bakar bensin dan 8 April 2021 untuk mobil diesel, meski pada implementasinya penerapan standard emisi Euro 4 mobil berbahan bakar diesel diundur menjadi tahun 2022.

Penundaan itu tertuang dalam surat yang diterbitkan oleh MenLHK Nomor S786/MENLHK-PPKL/SET/PKL.3/5/2020 tertanggal 20 Mei 2020.

Menurut Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Dasrul Chaniago, terdapat tiga pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan tersebut.

Pertama, sejak virus corona menjadi pandemi global, ahli yang mempersiapkan penerapan standard emisi Euro 4 untuk kendaraan berbahan bakar diesel ditarik ke negara masing-masing dan belum tahu kapan kembali ke Indonesia.

Kedua, untuk komponen mesin kendaraan berkapasitas di atas 3,5 ton atau lebih harus diuji ke Jerman. Hal ini pun turut menjadi kendala karena adanya wabah virus corona.

Ketiga, penyebaran COVID-19 di Indonesia juga mengakibatkan penjualan mobil turun drastis sehingga stok mobil diesel Euro 2 diklaim masih banyak.

Baca juga: Perluasan Insentif PPnBM Kendaraan, Akankah Efektif Tekan Emisi Karbon?

 

Ilustrasi uji emisi kendaraan roda empat. Dok: Pertamina

 

Berjalan Meski Agak Terlambat

Jika dibandingkan dengan negara lain, penerapan standard Euro 4 di Indonesia memang agak terlambat. Filipina sudah mulai mengadopsi standard emisi Euro 4 sejak tahun 2016. Sementara Thailand telah memakai standard Euro 4 sejak 2012 dan kini mereka mempersiapkan standard emisi yang lebih ketat dengan mengadopsi standard gas buang Euro 6.

Begitupun dengan Singapura yang sejak 2017 sudah mulai menerapkan standard emisi Euro 6. Di Uni Eropa sendiri, standard Euro 4 sudah ditinggalkan sejak dua belas tahun yang lalu, dan sejak 2012 mereka memperkenalkan Euro 6.

Berbedanya tingkat standard emisi kendaraan di suatu negara dengan negara lain dapat dipahami dikarenakan komitmen pengurangan emisi yang berbeda-beda di tiap negara.

Selain itu, penerapan standard gas buang kendaraan semata-mata bukan hanya masalah teknis, namun juga mencakup permasalahan ekonomi poltik. Alih-alih solusi lingkungan, melainkan juga lebih ke sisi ekonomi, yang memerlukan persetujuan Menteri Keuangan dan Ekonomi.

Penerapan standard gas buang pada mesin kendaraan juga mesti memperhatikan kesiapan penyediaan bahan bakar rendah emisi itu sendiri. Bahan bakar rendah emisi pada umumnya memiliki harga yang lebih tinggi dari pada bahan bakar yang emisinya lebih banyak.

Bagi beberapa negara, Indonesia misalnya, mengganti bahan bakar berharga murah ke yang lebih tinggi tidaklah mudah. Seringkali kenaikan harga bahan bakar minyak di Indonesia menyebabkan inflasi atau membuat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya.

  

Referensi:

[1] PP Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah

[2] PermenLHK Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, Dan Kategori O.

[3] Summary of ASEAN Meeting on Soot-free Transport, Bangkok, Thailand, Oktober 2018

[4] Indonesia’s Nationally Determined Contribution (NDC), November 2016

[5] Standard Emisi Kendaraan Diesel: Wajib Euro 4 Tertahan COVID-19, dilansir dari Bisnis.com, 29 Juni 2020

 

Marlis Kwan,  penulis adalah Analist Fair Business for Environment. 

 

Exit mobile version